Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 7 HUJAN DAN HALTE

Della bercerita panjang lebar tadi, sambil kami mengerjakan tugas pertama yang diberikan oleh Bu Ririn, kami memang memiliki kebiasaan yang sama, tidak suka menunda tugas, mungkin kami memang bukan yang terpintar tapi setidaknya menjadi rajin adalah pilihan. Ketika sambungan telepon terputus, sekarang aku justru larut memikirkan siluet yang selalu saja muncul tanpa aku minta, kenapa dia dengan segala pesonanya membuat aku seperti tertarik ke dalamnya seakan dialah pemeran utamanya, kenapa setiap kali Della membahas tentang dia aku merasa tidak mau melanjutkan topik itu? Seperti ada yang aneh di antara aku dan dia, menatap langit pada malam hari menjadi kebiasaan favoritku akhir-akhir ini membuat pikiran tenang seakan tak ada beban hidup.

Tapi semua berbeda ketika gumpalan awan hitam datang dengan suara gemuruh, aku tidak suka saat seperti ini. Angin menjadi kencang dan titik-titik air mulai turun perlahan entah mengapa aku jadi ingin saat ini berlalu lebih cepat, sebaiknya aku tidur dan berdoa besok akan ada sinar matahari yang jauh lebih baik dari hujan.

Beranjak ke tempat tidur adalah pilihanku sekarang, sepertinya masuk ke alam mimpi jauh lebih menyenangkan, tapi pikiran ini tak bisa diajak kompromi, ia masih ingin memikirkan Kak Vano, memang menyebalkan, aku kembali dilempar kepada waktu dimana MOS hari pertama dan kedua, dimana menurutku dua hari itu adalah hari yang sama sekali tidak menyenangkan. Tapi, apa boleh buat? Hidup harus berjalan maju, tidak bisa kita meminta untuk diam ditempat, berada di zona nyaman, karena setiap masalah yang datang, justru membuat kita jadi dewasa, bukan?

*******

Aku melangkah menuju sekolah dengan melewati jalanan yang sama setiap harinya tapi entah mengapa akhir-akhir ini siluet hitam itu selalu hadir awalnya jauh tapi menjadi dekat semakin dekat sampai. “Jangan melamun, sebentar lagi hujan turun.” Ucap sebuah suara yang aku hafal.

“Kak Vano?!” Aku kaget sampai sedikit berteriak.

“Saya kan udah bilang saya bukan hantu.” Ucapnya kembali sambil tetap berada disampingku dan menatap lurus ke depan, aku bingung harus bagaimana tapi ini aneh aku suka ketika siluet itu berhenti disampingku, aku masih terdiam karena bingung seperti apa harus menjawab dan setelah ia melirik beberapa kali akhirnya dia mendengus lalu melangkah mendahuluiku yang masih terpaku melihat siluet itu makin menjauh.

“Mau tetap berdiri di situ sampai kapan? Kamu masih berhutang waktu sama saya.” Ia masih tetap memunggungiku.

“Hutang?” tanyaku kaget.

“Di tangga.” Jawabnya singkat.

“Oh itu, maaf saya cuman mau minta maaf.” Aku menghela nafas ketika mengingat kejadian itu, aku hanya bingung mengapa sikapnya itu terkadang menyebalkan terkadang sedikit baik.

“Saya gak ikhlas maafin kamu kalau sekarang kamu masih diam disitu dan ngebuang waktu saya lagi.” Penekanan di akhir ucapannya sambil membalikan wajah, aku pun menatap silau wajahnya yang kini terkena sedikit paparan sinar matahari pagi, siluet yang tercipta dari seseorang yang ada dihadapanku, siluet yang akhir-akhir ini selalu muncul membuatku tertarik untuk menikmatinya seperti tenggelam saat setiap gerakan yang timbul karena pencipta siluet itu sendiri.

Walau aku tahu terdengar bunyi guntur beberapa kali, namun langit sebetulnya sangat cerah, aku benar-benar benci hujan, karena merepotkan jika harus ke sekolah dalam keadaan hujan.

“Ayo!” Dia menarik tanganku dan membuatku kaget, aku pun tak bisa berkutik dan hanya mengikutinya sambil tertunduk.

“Kamu jangan bawa perasaan, saya cuman gak mau anak bimbingan saya selama MOS itu telat.” Ia hanya menatap lurus kedepan.

“Maaf merepotkan.” Selalu meminta maaf ketika di dekatnya mungkin adalah hal favoritku saat ini, dia kembali mendengus saat aku berkata maaf.

Siluet yang tadi berhenti di sampingku lalu berjalan mendahuluiku dan sekarang kembali dan membawaku ikut ke dalamnya masuk ke dalam dunia siluet yang diciptakannya bersama matahari, detik ini aku dan dia berjalan bersama beriringan.

Waktu terasa lama saat di antara kami tak ada yang berbicara, tak ada yang mengutarakan alasan mengapa sampai saat ini tangan kami masih tergandeng satu dengan yang lainnya, tak ada yang memberikan alasan mengapa saat ini kami bersama.

Akhirnya tetesan air jatuh persis di atas kepalaku awalnya intensitasnya sedikit dan aku tak sadar sampai ia menyadarkanku dengan menarikku ke halte di bawah pohon, aku bingung dan ragu tetapi saat dia menatapku seakan meyakinkanku untuk mengikutinya, sepertinya ini awal yang baik untuk mengenal cowok dingin ini sebagai teman tetapi saat aku melihat jam tanganku ini adalah awal yang buruk untuk hari keduaku di sekolah, sambil melirik ke sana kemari cemas aku bingung harus berbuat apa?

“Takut telat? Saya telat gara-gara kamu.” Ia memilih menatap hujan yang bertambah deras, aku hanya mendengus mendengar ucapannya lagipula tak ada yang menyuruhnya untuk menungguku.

“Duluan aja kak.”

“Masa hari kedua anak baru udah gak masuk?”

“Ya nanti saya izin telat.”

“Payah, usaha dulu dong.” Dia justru meremehkan ku, aku mencibir perbuatannya dan memajukan bibirku karena kesal dengan apa yang dia katakan, dia justru terdiam dan menatap lurus kedepan.

Aku bukan si penyuka keheningan, pada dasarnya aku suka berbicara, dan dia sepertinya kebalikan dari itu. “Kapan berhenti ya kak?” ucapku sambil menatap ke depan, ia menjawab dengan menaikan kedua bahu dan aku membalasnya dengan mendengus.

“Kenapa ya harus ada hujan, kita jadi ribet mau kemana-mana enakan kalau ada sinar matahari suasananya jadi hangat.” Kata-kata itu langsung meluncur tanpa aku dapat kendalikan.

“Bawel.” Ketusnya sambil tetap menatap kedepan dan tentu dalam hati aku mengutuk karena pernah berpikir ini adalah awal yang baik untuk sebuah pertemanan, kami sama-sama terdiam sampai.

“Kalau gak ada hujan…” Dia menggantung kata-katanya dan aku mulai penasaran apa ucapan selanjutnya.

“Saya dan kamu juga semua orang gak bisa hidup.” Lanjutnya singkat dan membuat rasa penasaranku terjawab.

“Kekeringan dimana-mana, saya bersyukur banget kalau hujan turun.” Ia menyelesaikan pernyataannya.

“Saya tahu kak, tapi sekarang liat deh kita jadi gak bisa ke sekolah dan bakal telat juga.” ucapku mendengus sebal.

“Kamu gak bisa menilai sesuatu karena sebuah alasan.” Dia mulai menatapku dan aku masih tak berani balas menatapnya karena takut hal itu timbul lagi setiap menatap manik matanya dia akan memutuskan kontak mata kami terlalu cepat aku lelah.

“Kalau hujannya gak berhenti gimana?” tanyaku melihat hujan yang semakin deras.

“Saya gak tahu, mungkin kita tunggu kendaraan umum lewat?” dia seperti memberi saran.

“Kalau gak ada kendaraan yang lewat?” tanyaku lagi.

“Saya gak bisa kasih kepastian, mungkin kita sampai di sekolah telat banget.”

“Kok tumben sih kakak gak naik sepeda?”

“Rusak.”

“Kok gak diperbaiki?” astaga aku kenapa jadi cerewet sih? Padahal aku sudah berjanji untuk tak ingin tahu apa-apa tentang dia.

“Sedang diperbaiki.”

“Oh…” aku ber-oh ria.

“Maaf gara-gara saya kakak ikutan telat, coba tadi saya gak diem aja di sana.” Ucapku menunjuk tempat aku terdiam menikmati siluet tadi.

“Saya yang mau nungguin kamu ga usah minta maaf.” Ia masih menatapku.

“Kita udah telat 10 menit dari jam masuk sekolah” Aku menatap sedih hujan yang masih setia turun dengan begitu deras.

“Ini, biasanya saya tenang kalau makan ini.” Ia memberikan sebungkus permen green tea.

“Maaf kak, bukannya nolak tapi saya gak suka green tea rasanya tuh kayak teh yang udah busuk gitu.” Aku memang tidak suka itu, dan langsung saja aku menutup hidung dan memejamkan mata membayangkan rasa permen itu aku jadi merinding.

“Saya gak maksa untuk kamu coba.” Ucapnya santai, setelah berpikir akhirnya aku menyimpan permen itu di dalam kantong baju dan aku menoleh mendapati dia sedang memakan permen itu sambil memejamkan mata seperti sebelumnya aku kembali memperhatikan wajahnya melihat setiap detailnya ada magnet yang membuatku seperti tertarik begitu kuat untuk menikmati pemandangan di depanku saat ini aku berusaha memejamkan mata menajamkan indera penciuman ku dan akhirnya semakin mencari darimana aroma ini berasal sampai akhirnya aku menemukannya ini aroma tubuh Kak Vano aromanya seperti green tea tapi samar karena aroma hujan yang bercampur dengan aroma khas tanah yang lembab, mungkin ini karena tadi ia memakan permen green tea atau mungkin ia memakai sabun beraroma green tea, aku sibuk dengan pikiranku sendiri dan juga ia yang mungkin sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Sudah puas liatin saya? Saya berasa ganteng di liatin begini.” Ucapnya masih dengan mata terpejam dan menghirup aroma khas hujan dalam-dalam,

“Kakak terlalu percaya diri!” Aku menahan senyum, jantungku berdetak lebih cepat mengetahui ia sadar dengan apa yang aku lakukan, hal yang kusukai akhir-akhir ini melihat wajahnya dari dekat.

“Saya hanya bicara fakta.” Ia mulai membuka mata, didetik yang sama aku lidahku kelu dan aku hanya bisa terdiam, tak dapat membalas ucapannya karena memang itu adanya.

“Saya bener kan?” Tanya nya dengan nada paling datar namun aku tahu dia lagi mengejekku, karena dia menatapku dengan sudut bibir yang terangkat sedikit, tak tahu harus bagaimana aku hanya tertunduk menatap sepatu hitamku yang sepertinya tak menarik untuk aku perhatikan beda hal nya dengan siluet dan mungkin sekarang pemilik siluet itu.

“Sudah jam 7 kak, pasti jam pertama sudah dimulai gimana ini? Kendaraan umum gak ada yang lewat.” Aku semakin cemas, memang disaat seperti ini aku seperti tidak tahu diri, dimana aku yang membuat kami berdua telat, tapi aku juga yang mendesak agar Kak Vano mencari jalan keluar.

“Saya cuman punya ini, dan ini juga.” ucapnya menunjukan kantong plastik sampah berukuran besar dan juga sebuah jaket berwarna biru dongker.

“Kantong plastik sampah? Untuk?” tanyaku.

“Ada gunting?” tanyanya, aku memang selalu siap sedia ATK (Alat Tulis Kantor) di tasku langsung memberikannya dan melihat dia menggunting dia bagian kiri dan kanan seperti setengah lingkaran.

“Plastik sisa MOS, pake ini sama jaket saya. Mungkin bisa sampai sekolah jam 7.10 kalau kamu jalan cepat.” Ucapnya menjelaskan sepertinya paham aku kebingungan, tanpa aba-aba dia langsung memakaikan ku jaketnya serta plastik sampah yang berbentuk dress tanpa lengan.

“Kakak gimana?” tanyaku mulai khawatir.

“Saya gampang, kalau kamu kan murid baru kalo telat bisa kena masalah.” Aku benar- benar tersanjung untuk apa yang dia lakukan saat ini padaku, kupu-kupu berterbangan di perutku menari indah seperti siluet kesukaanku tak menyadarinya aku mulai menarik kedua sudut bibirku sambil memilin bagian bawah plastik ini selama beberapa detik kami terdiam dengan aku yang tersenyum dan mungkin Kak Vano yang menatap ke arah hujan.

“Mau di sini sampai kapan?” tanya nya tegas dan aku tersentak.

Aku mengangguk. “Makasih kak.” Setelahnya aku berlari, berharap ada keajaiban hujan berhenti secara tiba-tiba, walau dengan perasaan khawatir, senyum mengembang di kedua sudut bibirku, terimakasih penolongku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel