BAB 5 HARI YANG BURUK ATAU AWAL YANG BAIK?
Menjelang siang hari, acara MOS hari kedua dilanjutkan oleh para pengurus OSIS, bagian ini yang paling tidak aku sukai. “Asik bisa lihat Kak Vano lama-lama.” Ucap Della tersenyum penuh harap.
“Kesurupan pesona Kak Vano ya?” tanyaku pada Della.
“Bukan kesurupan lagi tapi udah kepelet.” Aku menunjukan reaksi yang bingung dengan sikap Della.
“Aku sih kasih tahu aja kalau dia tuh dingin, kayak kulkas, terus bisa galak dalam waktu bersamaan, ya kayak yang tadi aku ceritain.” Aku memang sudah bercerita semuanya pada Della.
“Ya itu kan sama kamu, belum tentu sama aku.” Balas Della.
“Terserah kamu, yang penting aku udah bilang.” Sunny memilih meninggalkan Della, dan segera berjalan menuju lapangan.
“Selamat siang semuanya, karena sekarang sudah memasuki sesi OSIS maka kalian semua diminta untuk mengeluarkan atribut yang telah diinformasikan sebelumnya, anggota OSIS akan mengecek kelengkapan kalian.” Kak Arthur kembali menjadi pemimpin acara.
“Mati aku!” Aku menepuk jidat ketika mencari name tag yang telah ku buat semalam, mengapa bisa hilang? Aku mencoba mencari ke sekeliling tempat aku berdiri, tapi tidak ada, aku yakin sekali sudah aku buat semalam dan sudah aku masukan kedalam tas.
“Kenapa Sun?” tanya Della ikut panik.
“Nametag-ku…” Lirihku.
“Kok bisa? kan tadi ada di tas kamu?” tanya Della mencoba membantuku mencari.
“Gatau, tadi juga masih ada kok.” Suaraku bergetar.
“Yauda coba dicari dulu mungkin jatuh. Nanti aku bantu cari juga.” Aku menggenggam tangan Della, dia sahabatku yang baik.
“Makasih Del.”
“Sama-sama sahabat kesayangan.” Balas Della, aku mencoba menenangkan dir, walau hatiku bergejolak.
Rasanya air mataku ini ingin meluncur, sudah campur aduk perasaan hari ini, apakah tidak bisa Tuhan memberikan sedikit jeda agar aku tidak terus menerus terkena hukuman?
“Kuncir rambut sudah sesuai warna, atribut seragam sudah, sepatu dan kaos kaki aman, eh… bentar nametag-nya mana?” tanya seorang senior yang memeriksaku.
“Saya sudah bawa kak tadi, tapi gatau gimana tiba-tiba hilang, saya minta waktu cari disekitar sekolah ya kak.” Pintaku, mungkin saja itu terjatuh.
“Yauda 5 menit ya.” Beruntunglah senior itu baik, aku segera berlari sambil terus mataku meneliti.
Sudah lebih dari 5 menit tapi nihil, aku tidak menemukan nametag-ku. Segera aku kembali ke barisan. “Udah ketemu?” tanya senior tadi, aku menggeleng.
“Yauda maju kedepan ya, gabung sama yang lain.” Saat aku melangkah kedepan mata Kak Cindy menatap tajam ke arahku, disampingnya ada dua temannya, dan disebelah Kak Arthur ada Kak Vano yang menatapku dingin.
“Baik yang tidak memakai atribut, silakan ke pinggir lapangan. Kalian tidak bisa mengikuti kegiatan bermain bersama kelompok.” Rasanya aku sedih sekali, padahal sepertinya games yang sudah disiapkan menarik.
“Astaga gak bosen ya nih anak kerjaannya dihukum terus, bikin masalah terus.” Kak Cindy sepertinya betul-betul tidak menyukaiku, sama seperti diriku sekarang.
Hanya ada 5 anak yang tidak memakai atribut lengkap, termasuk aku. Tak lama aku melihat Kak Vano dibalut almamater dengan tangan yang dimasukan ke saku celananya berjalan ke arah kami, aku merasa ada sesuatu yang buruk yang ingin dia sampaikan pada kami semua.
“Oke kalian sudah dengar kan, kalo kalian gak bisa ikut main games, nah sekarang kalian harus kerja bakti, seperti biasa hukuman ini akan membuat kalian betul-betul jera.” Tatapan mata Kak Vano terlihat santai namun aku yakin menyimpan kelicikan.
“Mari kita membuat kalian semua sehat, naik turun tangga mengelilingi setiap lantai di gedung sekolah, lakukan berulang selama 3 kali. Setelahnya kembali ke tempat ini, yang tercepat boleh bergabung di acara spesial yang sudah disiapkan oleh pengurus OSIS. Sekarang kalian berbaris, ingat tidak boleh curang untuk saling mendahului.” Aku begitu semangat, acara spesial, aku selalu menunggu masa-masa SMA yang menurutku akan menjadi masa yang terbaik, aku yakin bisa menyelesaikan hukuman lebih cepat, aku ingin menikmati games bersama Della dan teman-teman lain.
“Dimulai dari sekarang…” perintah Kak Vano langsung membuatku berlari dengan ritme sedang.
Aku sudah memasuki lantai kedua, namun langkahku dihentikan oleh Kak Cindy dan kedua temannya. “Gimana enak dihukum berkali-kali? Makanya kalo masih jadi murid baru jangan sok deket-deket sama kakak kelas.” Kak Cindy menghalangi jalanku sementara anak-anak lain dipersilakan untuk melanjutkan hukuman.
“Permisi kak.” Aku tidak ingin memperbanyak masalah yang sudah sangat banyak ini.
“Eh… tunggu dong, buru-buru banget, gue gak pengen liat lo ikut acara terakhir.”
“Sebenarnya kakak kenapa sih gak suka sama saya? Emangnya saya pernah merugikan kakak?” tanyaku, aku pikir ini adalah sebuah langkah berani yang harus aku ambil, paling tidak aku harus tahu alasan mengapa Kak Cindy tidak suka terhadapku.
“Karena lo suka cari perhatian!” balas Kak Cindy.
“Cari perhatian ke siapa?” tanyaku mendadak bingung.
“Ya Arthur, terus Vano, siapa lagi cowok OSIS yang lo mau deketin?!” tegas Kak Cindy.
Setelah ucapannya, aku baru menyadari bahwa dia sepertinya telah salah paham, aku sama sekali tidak ada maksud mencari perhatian pada siapapun, tujuanku hanya bersekolah layaknya siswi lainnya, tidak lebih.
“Kakak salah paham, saya aja gak pernah ngobrol lebih sama mereka, paling mereka hanya ngomong kalau saya dihukum, itu pun cuman kasih perintah hukuman aja kak. Maaf ya kak, tapi tujuan saya bersekolah disini cuman menuntut ilmu, saya permisi.” Aku segera mencari celah dan berlari.
“Elo! Gue belum selesai bicara! Sunny!” teriak Kak Cindy yang tidak aku pedulikan sama sekali.
*********
Sedikit lagi aku bisa menyelesaikan hukuman ini, sampai aku menyadari bahwa…
“Aw…” aku terjatuh dengan bokong langsung menyentuh lantai. Di lantai itu terlihat ada sebuah genangan air dengan busa sabun, mengapa petugas kebersihan sekolah tidak melihat hal ini. Bisa saja membahayakan guru yang sudah lanjut usia.
Dengan rasa sakit yang mulai menjalar, aku mencoba bangkir berdiri, syukurlah rokku hanya basah sedikit, hampir sekali lagi aku terjatuh, dengan mencoba menyeimbangkan diri aku bertahan agar tetap dalam posisi berdiri. Sampai sebuah tangan melingkar erat di pinggangku, tangan kokoh itu membimbing tubuhku menjauhi genangan mengerikan itu.
“Kak Vano?” tanyaku saat melihatnya mengalungkan lenganku di kedua bahunya, setelahnya kami duduk di kursi kayu di koridor.
“Makasih kak.”
“Lain kali hati-hati.” Dia menatapku dan sedetik kemudian ia melebarkan matanya, sementara aku merasa ada cairan hangat yang mengalir dari hidungku.
“Sunny?!” dia segera menuntunku ke UKS, sedangkan aku merasa lemas, tapi tidak ingin merepotkan Kak Vano lagi dengan pingsan, aku berusaha bertahan.
Setelah tiba di UKS, Kak Vano terlihat jengkel karena tak menemukan satupun pengurus UKS. Dia berdecak kesal, kemudian segera menuntunku ke kursi, memintaku agar duduk dengan posisi tegak dan wajah menatap ke depan, ia menjepit hidungku di bawah jembatan bertulang, sedangkan tangan lainnya sudah mencari tissue. “Saya ke kantin sebentar untuk ambil es.” Segera kutahan tangannya, aku tak ingin membuat dirinya semakin repot.
“Gak perlu kak, saya gapapa, saya balik ke lapangan ya.”
“Gak.” Dia segera melepaskan cekalan tanganku. Singkat, padat, dan jelas, itulah Kak Vano.
Beberapa menit kemudian dia kembali, dan meletakkan es yang sudah dibungkus plastik tipis ke atas jembatan hidungku, aku berusaha membersihkan darah mimisan ku dengan tissue.
Setelah beberapa saat, darah berhenti, dan aku merasa lebih baik. “Maaf ya kak, saya ngerepotin terus.” Aku betul-betul merasa banyak berhutang padanya, entah mengapa semesta selalu mengantarkan dia menjadi penolongku.
“Memang.” Dia membalasku.
“Gak ikhlas?” tanyaku kemudian tak ada yang mengeluarkan suara, sampai adanya suara berisik dari luar, sepertinya anak-anak sedang sibuk mengikuti acara spesial itu, dan aku disini hanya bisa terdiam, aku sebetulnya ingin sekali ikut, tapi tidak bisa, aku tidak ingin tumbang ditengah jalan.
“Sudah ya.” Kata Kak Kak Vano seperti mengisyaratkan dia harus pergi, sepertinya dia ingin mengikuti acara tersebut, aku mengangguk. “Sekali lagi terimakasih kak, maaf saya memang selalu merepotkan.” Dia tidak menjawab, kemudian ia bersiap pergi dari UKS, sebelum menutup pintu ia menatapku. “Paling suka warna apa?”
“Maksudnya?” tanyaku.
“Jawab aja, jangan buat jadi makin repot.” Aku langsung kesal.
“Kuning.”
“Oke.” Dia kemudian menutup pintu.
Tak sadar air mataku menetes, mengapa dua hari ini begitu buruk, apakah memang masa SMA seperti ini? Senioritas yang tinggi akan memperburuk pergaulan, dan membuat senior dapat semena-mena, entah mengapa Sunny menyesali memilih SMA favorite ini. Baru dua hari saja banyak ujian yang datang, bagaimana cara bertahan 3 tahun disini?
Pintu UKS kembali terbuka, aku segera menghapus sisa air mata. “Masih sakit?” tanya Kak Vano, ia kembali, aku menggeleng. Ditangannya ada nametag-ku dan sebuah papan, ia juga membawa sebuah kaleng yang aku pikir berisi cat.
“Ketemu di tempat sampah belakang sekolah.” Ketika ia mengerti arti pandanganku, siapa yang tega melakukan ini? Apa mungkin Kak Cindy? Tapi aku tidak punya bukti.
“Nih.” Ia memberikan nametag-ku, kemudian aku tersenyum, aku segera mengalungkannya, setidaknya aku bisa memakainya sekarang, tidak sia-sia aku buat dari jam 7 malam sampai tengah malam.
“Bagus.” Pujinya, untuk pertama kalinya aku melihat dia mengeluarkan kata-kata positif, memang nametag ini aku hias sebaik mungkin.
“Makasih.” Kemudian dia mengangguk.
“Kamu masih bisa ikutan kok, yah mungkin gak serame didepan.” Kak Vano menunjuk ke arah lapangan.
“Caranya?”
“Didepan itu acara spesialnya, setiap anak mencelupkan tangannya ke cat ini kemudian ditempelkan pada papan besar yang sudah siapkan, nantinya itu akan disimpan di manding kampus sampai angkatan kalian lulus.” Aku bersemangat mendengarkannya.
Kak Vano menyerahkan papan dan juga kaleng cat yang sudah dibuka, warnanya kuning, ternyata tadi dia menanyakan warna kesukaanku untuk ini. Aku pun melakukan semua seperti arahannya, dan cetakan telapak tanganku sudah jadi di atas papan itu. “Tulis nama.” Dia memberikan spidol. Aku segera menuliskan namaku, kemudian tersenyum ke arahnya.
“Cuci tangan.” Aku mengangguk, entah aku merasa dia begitu baik saat ini, dia seperti tahu membuat hariku yang tadinya akan menjadi hari paling buruk, segera dipatahkan oleh tingkahnya yang sangat mengagumkan dan membuat darah berdesir.
Setelah kembali dari toilet, aku tidak melihatnya lagi di UKS, semua peralatannya sudah diambil, termasuk papan yang sudah ada cetakan telapak tanganku dan juga ada namaku, bahkan aku memberikan tanda tanganku disana.
“Kok?” tanyaku bingung, namun tak lama terdengar suara pintu terbuka.
“Sunny, kamu gapapa?” Della muncul dengan membawa tasku.
“Kamu tahu aku disini?” tanyaku.
“Kak Vano tadi bilang katanya lihat kamu di UKS sendiri, terus aku disuruh nemenin, sekalian kalo mau pulang bawain tas kamu.” Aku langsung mengangkat salah satu sudut bibirku.
“Terus dia ada bawa kayak papan gitu gak? Isinya cetakan telapak tanganku?” kemudian Della menggeleng bingung.
“Kalian habis ngapain sih? Kok bisa barengan terus?” Della terlihat sebal, walau aku tahu dia hanya bercanda.
“Engga, tadi cuman ada kecelakaan kecil aja, oh iya nih nametag aku ketemu.” Aku menunjukkannya.
“Kok bisa? Dimana?”
“Iya tadi kata Kak Vano ada di tempat sampah belakang sekolah.” Jawabku.
“Siapa yang iseng kayak gitu sih? Kak Cindy sama gengnya?” tanya Della.
“Aku gak punya bukti kalau mereka yang lakuin, Del.” Kemudian Della mengangguk paham.
“Yaudah intinya kamu gapapa, bentar..bentar.. kok itu hidungnya ada bekas darah, kamu mimisan?” tanya Della.
“Udah gapapa, sekarang udah baik-baik aja kok.”
“Sun, pasti kamu kecapean deh, perasaan belum sekolah, udah dapet banyak masalah dari si ratu kejahatan itu.” Ucap Della sinis.
“Ratu kejahatan?” aku terkekeh.
“Kak Cindy?” tanyaku lagi.
“Iya sama dayang-dayang nya.” Tingkah Della membuatku tertawa kecil.
“Udah yuk pulang, kayaknya aku mau langsung tidur, lama-lama aku jadi atlet sekolah disini, sehat-sehat banget hukumannya.” Kemudian Della tertawa, akhirnya kami berjalan beriringan.
Saat sampai di koridor dekat madding, aku langsung berhenti. Della menyadari kemudian menunjukkan raut wajah sedih.
“Sun, tadi aku udah maintain cat buat kamu, tapi gak dikasih, maaf ya.” Della menunjukkan raut wajah bersalah.
“Gapapa, bukan salah kamu. Lihat yuk!”
Dipapan besar itu aku mencari cetakan telapak tangan milikku, tapi tidak ada. “Sun! Kok ada punya kamu?” tanya Della saat melihat di sisi kanan atas.
“Ha? Mana?” tanyaku tak sabar.
“Itu tuh, tapi di papan yang dipaku itu.” Mataku mengikuti arah yang ditunjukan oleh Della, disana terdapat papan yang tadi Kak Vano berikan padaku, dia juga yang meletakkan disana, aku tersenyum, hatiku seperti melambung, entah karena aku cetakan telapak tanganku ada di mading atau karena memikirkan apa yang Kak Vano lakukan, intinya aku merasa ini bukan hari terburuk dalam hidupku.
“Kok bisa sih Sun?” aku masih memandangi papan itu, rupanya dibawah namaku ada gambar matahari yang ukurannya kecil, aku mengingat tidak menggambar itu, tapi matahari itu bagus sekali, apa mungkin Kak Vano yang membuatnya.
“Keajaiban.” Balasku.
“Wah Sun, gak waras nih kamu, kepentok apa gimana?” Della berusaha menyentuh kepalaku.
“Udah yuk balik, entar hujan lagi!” Aku segera menarik tangan Della. Sepanjang jalan, Della bercerita, pikiranku justru berkelana memikirkan mengapa si mata elang dan manusia kulkas itu menjadi pribadi yang hangat dan mengesankan di waktu yang bersamaan, seperti memiliki dua kepribadian, apa yang dia lakukan hari ini seolah ingin bilang bahwa dia tak seburuk dan sejahat yang aku pikirkan, dan aku menjadi senang mengulang semua kejadian yang kami alami bersama, seperti itu awal yang baik antara junior dan senior, aku mulai berpikir apa mungkin? Ah tidak mungkin! Dan jangan pernah! Segera ku tepis semua pemikiran berlebihan barusan. Dan aku masih menganggapnya seseorang menjengkelkan kedua setelah Kak Cindy yang menempati tempat pertama sebagai senior menjengkelkan yang aku temui di sekolah ini.
