Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 4 BANTUAN DARI DIA

Dengan wajah penuh keringat, aku segera berlari menuju gerbang dan beruntungnya gerbang masih terbuka, tanpa pikir panjang aku segera masuk, namun lenganku ditahan oleh seseorang. “Yang telat berdiri disitu.” Aku mengenali suara itu, pasti itu Kak Cindy, kalau dia di satuin sama Kak Vano bagus deh, sama-sama nyebelin.

Aku pasrah mengikuti arahan dari Kak Cindy, terdengar suara Kak Arthur yang sedang menyampaikan agenda kegiatan hari ini. Beberapa anak yang juga telat sudah memasang wajah sedih, beberapa di antaranya justru mengantuk, jangan tanya wajahku yang sudah campur aduk ini, berlari sangat cepat sampai beberapa kali harus mendapatkan hadiah klakson dari para pengendara lain.

Setelah Kak Arthur selesai berbicara, aku simpulkan agenda hari ini adalah pengenalan tentang guru dan mata pelajaran yang akan ditempuh selama 1 tahun ke depan, setelah itu acara akan diserahkan kepada pengurus OSIS.

Lamunanku disadarkan oleh Kak Cindy. “Belum resmi jadi siswi disini tapi udah ngelakuin pelanggaran ya. Sekarang semuanya pakai ini.” Sebuah kertas karton berwarna putih yang telah dilubangi pada kedua sisi bagian atasnya dan diikatkan dengan tali, lengkap dengan tulisan “SAYA SEDANG DALAM MASA HUKUMAN”

“Sekarang semuanya berbaris!” perintah Kak Cindy, aku berada di urutan kedua, karena aku memang hanya telat 1 menit.

“Lo kan yang kemarin masalah sama Vano? Sekarang nyari masalah lagi.” Cibir Kak Cindy, aku harus sabar jika tidak ingin merusak 3 tahun sekolahku disini, jadi aku diam saja, sedangkan Kak Cindy terus menatapku tajam.

“Oke hukuman akan saya infokan nanti dan kalian lakukan saat jam istirahat, jadi tidak ada yang kabur! Apalagi berpura-pura lupa! Berkumpul dilapangan tepat saat bel berbunyi, dengan toleransi waktu 5 menit, lebih dari itu, hukuman kalian akan bertambah.” Jelas Kak Cindy yang membuat bulu kuduk ku merinding, kenapa hari kedua tak lebih baik dari hari kemarin.

“Kembali ke aula, dan jangan lepas karton yang kalian kalungkan sekarang.” Tambahnya.

********

Koridor sudah dipenuhi oleh anak-anak yang sudah tidak sabar menuju ke kantin, kurang lebih sudah 4 jam seluruh peserta MOS duduk di aula, dan aku tentu saja mencoba mencari jalan tercepat agar sampai ke lapangan, jangan lupa soal hukuman dari Kak Cindy, sepertinya hari ini akan jauh lebih melelahkan.

“Aduh!” Aku melihat buku-buku berjatuhan, sepertinya ibu guru itu kesulitan membawa buku yang menumpuk di tangannya, sekarang hati nuraniku berbicara sangat keras untuk menolongnya, sementara pikiranku berharap menang kali ini.

“Boleh saya bantu bu?”

“Ah iya, kamu anak baru ya? Tolong bantu ibu ke ruang guru ya, sedari tadi sulit sekali membawa ini semua.”

“Iya bu, mari saya bantu.” Selamat hati nuraniku menjadi juaranya kali ini.

********

“Telat lagi ya? Kok gak bosen-bosen ya nih anak?” tanya Kak Cindy, saat aku baru saja tiba dengan nafas memburu.

“Maaf kak.” Aku tidak ingin terlalu banyak beralasan dan membuat diri semakin sulit. Kak Cindy terlihat malas melanjutkan pembicaraan denganku, syukurlah.

“Sekarang, kalian berpasang-pasangan, dan akan mengerjakan hukuman, setiap pasangan akan membersihkan gudang, laboratorium, dan ruang ekstrakulikuler. Icha dan Amara akan bawa kalian ke tempat-tempat yang tadi saya sudah sebutkan, waktu kalian membersihkan hanya sampai 1 jam, karena setelah itu kalian harus kembali ke aula. Paham?”

“Paham kak.” Jawab kami serentak.

********

“Hai, gue Sunny.” Aku memperkenalkan diri pada seorang gadis yang terlihat pucat wajahnya.

“Hai juga, salam kenal, gue Yanti.” Dia menjabat tanganku. Setelah ditinggal oleh Kak Icha di ruang ekstrakulikuler futsal ini, aku dan Yanti mencoba merapikan beberapa barang.

“Kok sapunya gak ada ya?” tanyaku, sementara Yanti memilih duduk dipojok ruangan karena ia terlihat lelah.

“Kita cari aja, mungkin ada diruangan lain.” Yanti baru saja akan berdiri, kemudian ku tahan, karena melihat wajahnya yang semakin pucat.

“Lo tunggu sini aja, biar gue yang cari, minum yang banyak Yan, lo kayaknya gak dalam kondisi baik.” Saranku.

“Thank’s Sun, gue baik-baik aja, sorry gak bisa temenin lo.”

Aku menggeleng, mengisyaratkan dia tidak perlu minta maaf. “Bentar ya.” Setelah pamit dengan Yanti, aku segera mencari ruangan terdekat, ternyata ada ruang basket yang pintunya terbuka, dan sepertinya sepi, mungkin disana ada sapu yang bisa dipakai sementara.

Dengan mengetuk pintu dua kali, kemudian aku masuk. “Aaaaaaa…!” aku langsung berteriak dan menutup kedua mataku dengan telapak tangan, bagaimana tidak, jika yang aku lihat seorang cowok sedang berganti pakaian di dalam ruangan basket itu.

“Eh! Stop! Stop!” teriak cowok itu, segera mendekat.

“Eh berhenti! Jaga jarak!” teriakku.

“Apa sih?!” justru dia semakin mendekat, aku mencoba mengintip dan dia masih saja bertelanjang dada.

“IH! Cepet pake baju gak! Atau gue bakal teriak lagi!” teriakku kali ini lebih kencang. Aku melihat pergerakannya memakai baju dan segera menutup mulutku.

“Kamu tau gak yang kamu lakukan tadi itu bisa memancing guru BK ke sini dan mikir kita berbuat yang macam-macam.” Ketus laki-laki itu, dan aku masih saja tertegun dengan tangannya di bibirku.

“Hmpppp…!” maksudku adalah untuk melepaskan tangannya yang menutup mulutku. Tapi jarak kami yang sangat dekat membuat kami justru larut dalam pandangan masing-masing, seperti aku terhanyut dalam bola mata kecoklatannya.

“Ouch!” ringisnya, aku tidak ingin lebih lama lagi disini dan membuat hukumanku bertambah, jalan satu-satunya adalah menggigit tangan Kak Vano, ya laki-laki itu adalah si mata elang.

“Saya cuman mau pinjem sapu.” Ucapku kembali menetralkan keadaan.

“Kalo masuk ke ruangan orang lain pake sopan santun, ketuk dulu, sampai orangnya izinin.” Suara itu menggema ketika aku mengambil sapu berwarna hijau di sudut ruangan.

“Yang pertama, pintunya terbuka biasanya gak ada orang, kalo mau ganti baju tuh ditutup atau kalau bisa dikunci, yang kedua saya udah ketuk pintunya dua kali sebelum saya masuk, dan yang terakhir kalau saran saya kalau ganti baju di kamar mandi aja biar lebih aman.” Setelah berkata seperti itu, sungguh aku merutuki kebodohan ini, sepertinya aku kelewatan, tapi gengsi kalau minta maaf, jadi segera aku berbalik dan meninggalkan ruangan itu, dan baru saja aku keluar dari ruangan, sudah ada Kak Cindy dan kedua temannya, dan aku menghindar dengan cepat, tak ingin mendapat pertanyaan menjebak.

“Permisi kak.”

“Lah kok pergi?! Harusnya kan dia di ruangan futsal?” tanya Kak Cindy.

“Lo udah ajak mereka ke ruangan yang paling kotor itu kan?”

“Udah kok.”

Aku masih mendengar perbincangan mereka, saat aku membalik badan Kak Cindy masuk ke dalam ruangan basket tadi. Semoga Kak Vano tidak berbicara yang membuat semuanya runyam.

********

“Yan lo ke UKS aja ya, muka lo pucet, terus kayaknya lo sesak deh, ini kan banyak debu.” Aku mendekati Yanti yang keadaannya semakin memburuk sejak aku tinggal tadi.

“Jangan Sun, nanti hukuman gue di buat lebih parah, udah gue istirahat disini aja ya.”

“Tapi Yan,”

“Please Sun.” aku mendesah pasrah.

“Heh ini kok pada ngobrol bukannya kerjain hukumannya, nah itu lagi yang satu, duduk-duduk santai aja.” Suara Kak Cindy terdengar semakin menyebalkan dengan gayanya, aku deklarasikan kalau aku kurang menyukai tingkah lakunya sebagai senior dengan jabatan anggota OSIS itu.

“Yanti lagi sakit kak, boleh gak dia ke UKS aja.”

“Gak bisa! Nanti yang ngerjain ini semua siapa?” tanyanya.

“Saya kak.”

“Yakin bisa sendirian?”

“Yakin kak, yang penting Yanti dibawa ke UKS dulu aja.”

“Yauda, waktu lo cuman 20 menit lagi.”

“Makasih kak.” Aku segera membawa Yanti ke ruang UKS, sampai keluar ruangan, aku melihat bayangan Kak Vano yang berjalan mendahului kami, tapi ngapain juga dia ke sini? Gak peduli sama si manusia es dengan mata tajam itu, terserah dia mau ngapain!

********

Waktu tersisa 10 menit lagi sebelum acara kembali dilanjutkan, aku menghela nafas dengan irama detak jantung yang berpacu cepat, tidak sia-sia setiap sabtu dan minggu aku membantu mama membereskan rumah. Tapi masih ada beberapa barang yang belum selesai dirapikan, khususnya barang-barang yang memiliki dimensi besar sehingga aku sulit memindahkannya karena posisinya berantakan.

“Kok ada cewek sih di ruang futsal cowok?” tanya seseorang dari arah pintu, seketika itu juga aku menengok dan melihat segerombolan anak laki-laki berjumlah 7 orang sudah ada dalam ruangan, aku mulai gentar tapi mencoba tenang.

“Maaf kak, saya lagi menjalani hukuman untuk merapikan ruangan ini.”

“Oh anak baru ya? Seragamnya masih bagus banget, gak kayak kita ya, udah buluk.” Salah satu dari mereka melontarkan hal itu, dan yang lainnya tertawa, aku hanya terdiam, ingin segera pergi namun tugasku belum selesai.

“Oh kalo gak sekalian ngurusin kita-kita aja, nah kan kita mau tanding, lo beresin nih baju-baju kita, apa sekalian mau pakein juga ke kita?” pertanyaan kurang ajar barusan membuat aku geram dan ingin sekali menampar mulut laki-laki itu, kurang ajar! Tapi yang lainnya justru ikut menertawakan.

“Permisi, Sunny, hukuman kamu sudah selesai ya, ikut saya.” Suara bariton seseorang justru muncul dari arah pintu, semua mata tertuju langsung ke sana.

“Kok cepet banget sih hukuman nih cewek? Gak jadi seru-seruan deh.” Tanganku sudah mengepal sempurna, emosiku sudah tidak bisa ditahan, namanya pelecehan! Aku maju satu langkah, aku memang perempuan tapi orang tuaku mengajarkanku agar melawan ketika aku direndahkan.

Kak Vano segera berlari ke arahku, menahan tanganku. “Sunny bersama gue sekarang. Kalau kurang ajar sama dia, artinya akan bermasalah sama gue.” Kalimat itu membuat aku tertegun, seperti jantung ini dipaksa berhenti mendadak, ada sesak sekaligus geli diperut, ada rasa yang tidak bisa aku tafsirkan.

Gerombolan laki-laki itu terdiam tidak berkutik, sementara tanganku sudah digandeng oleh Kak Vano menuju pintu, saat melewati ruang basket ia melepaskan genggamannya itu, aku seperti tersihir dengan perilakunya tadi, apakah dia adalah Kak Vano si manusia es dan si mata elang yang selama ini aku rutuki? Dia yang menolongku? Pertanyaan itu membuat aku seperti orang bodoh dihadapannya.

“Jangan muka kepengen gitu, saya hanya gak suka lihat perempuan di kurang ajarin kayak tadi.” Ketusnya.

Fix! dia Kak Vano, lihat saja ucapannya yang tanpa dipikir itu meluncur sangat mulus bagai tak ada saringan.

“Makasih kak tapi, saya bisa selesaiin masalah tadi sendiri, dan saya gak ada kepengen-kepengennya ditolongin sama kakak.” Setelah itu aku pergi, tadinya aku baru aja mau terkagum atas perbuatan baiknya yang mau menolongku, tapi tidak jadi. Mengapa aku selalu bertemu dengan Kak Vano yang sulit ditebak itu sih?! Dan kenapa dia yang nolongin aku tadi? Dengan menghentak-hentakan kaki, aku setengah berlari, melihat jam di pergelangan tanganku yang menunjukkan waktu tersisa tinggal 2 menit lagi. Pintaku hanya satu, tidak ada masalah dari Kak Cindy dan Kak Vano lagi yang sudah membuatku pening, aku akan menceritakan pada Della agar dia mengurungkan niatnya untuk menyukai si aneh itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel