Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 2 MASALAH BARU

“Van, maksud lo apa nyuruh mereka berdua nyari guru-guru? Lo ngehukum tapi gak segitunya juga.” Ucap Kak Arthur saat menemukan Kak Devano yang sedang menerangkan visi dan misi sekolah, kemudian ia menatap aku dan Della dengan mata yang sedikit tajam tapi tidak separah tadi.

“Kita ngomong dibelakang, gak enak sama anak-anak lain.” Kak Devano mengucapkan hal itu dengan perlahan namun sangat tegas.

“Saya tinggal sebentar ya.” Pamit Kak Devano kepada sekitar 10 anak yang sedang mendengarkannya tadi.

“Gue ngelakuin itu biar mereka lebih menghargai acara ini aja dan harusnya mereka mendengarkan dengan baik saat penyebutan ketua kelompok, supaya masalah gak panjang.” Ucap Kak Devano.

“Maksud lo bener tapi cara lo yang gue gak tolerir.” ucap Kak Arthur sedikit kesal tapi, anehnya Kak Devano sama sekali tidak terpancing emosi.

“Kita selesaiin di ruang OSIS.” ucap Kak Devano santai lalu kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda sedangkan Kak Arthur memendam kekesalan.

“Lo berdua ikut kelompok gue aja.” ucap Kak Arthur.

“Gapapa Kak, kita balik ke kelompok awal aja sama Kak Devano. Makasih banyak ya kak.” Sepanjang perjalanan menuju ke aula utama lagi, aku memang sempat bertanya apakah Kak Arthur punya daftar nama ketua kelompok beserta anggotanya, dan benar ternyata aku dan Della adalah kelompok Kak Devano, pantas saja ia kesal dengan kami.

Tanpa menunggu jawaban Kak Arthur, aku menarik tangan Della untuk duduk di lingkaran kelompok dan Kak Arthur memaksakan senyumnya walaupun aku tau dia sedang meredam kekesalan.

********

“Akhirnya istirahat juga ya, Sun. Eh iya tadi Kak Vano keren ya pas ngejelasin, definisi cowok dingin tapi cakep banget.” Tiba-tiba Della seperti kerasukan setan cinta dan pandangannya menjadi berbinar saat melihat Kak Devano.

“Tahu darimana panggilan Kak Devano itu Vano?” tanyaku spontan.

“Ya nebak aja, lagian mau panggilan apa aja tetep ganteng.”

“Tadi perasaan sebel sekarang jadi cinta?” tanyaku.

“Gatau nih hatiku.” Della masih menatap si mata elang itu dengan terkesima.

“Sekarang saya ingin kalian mencari sampah di sekitar lapangan ini, 1 kantong plastik sampah ini untuk 2 orang. Kalian boleh memilih teman kalian, dalam waktu 7 menit semuanya sudah harus selesai. Ada pertanyaan?” suara baritonnya kembali menggema di telingaku. Ia melihat kami satu persatu dan saat dia yakin kami mengerti dia mulai meninggalkan kami dan duduk di bawah pohon.

“Tuh kan Sun, apa aku bilang dia tuh cool banget ya.” Della berbinar saat melihat Kak Vano

“Apa Dell? Kul? Kulkas maksudnya?” tanyaku sambil mulai meninggalkannya.

“Ish... Sunny tuh gak peka!” ucap Della kesal.

Aku dan Della sudah selesai mengumpulkan sampah tapi perasaanku tak enak karena melihat sampah milik kami tak sebanyak yang lain, entah karena kami kurang semangat atau memang semua sampahnya sudah diambil semua.

“Bagus, untuk sekarang pekerjaan kalian selesai dan boleh istirahat tapi setelah 10 menit harus kembali ke lapangan ini.” Suara bariton itu lagi, aku dan Della akan melangkah tapi ada sesuatu yang menahan.

“Kalian berdua, yang rambutnya dikuncir ke sini sebentar.” Aku dan Della saling melirik kemudian mendekati pemilik suara tadi, dengan langkah ragu-ragu.

“Ada apa ya kak?” tanyaku sopan.

“Sampah kalian kok dikit banget? Kalian gak kerja? Atau males-malesan?” tanya suara itu tapi dengan nada dingin.

“Kami kerja kak, tapi emang dapetnya segitu doang.” Ucapku masih berusaha tenang, tak terpancing emosi.

“Bohong! Sekarang kalian keliling lapangan tujuh kali sebagai hukuman, saya gak terima penolakan.” Ucapnya lalu pergi begitu saja dengan memasang headset di telinga.

“Sun, kok dia dewasa banget ya. Fix! Aku jatuh cinta nih.” Aku menyadari dari tadi sepertinya Della tak berhenti memandangi cowok dingin tadi. Sedangkan aku sudah sangat geram dengan perlakuan Kak Vano, ya namanya terlalu panjang, benar juga kata Della mungkin itu benar nama panggilannya atau lebih baik panggilannya aku dapat ganti dengan manusia menyebalkan atau si mata elang.

“Dia ngehukum kita dan kamu bilang dia dewasa? Kayaknya kamu di guna-guna, Del!” ucapku langsung bersiap berlari.

“Loh emang kita di hukum ya Sun?” tanya Della menggaruk tengkuknya, sedangkan aku memilih meninggalkannya.

Baru 3 putaran kenapa kakiku terasa ingin terlepas dari tubuh ini, ap aini akibat aku tidak pernah menyukai pelajaran olah raga?

“Aduh aku capek nih Sun, udah gak kuat izin aja yuk ke UKS bilang kaki kita keram.” Ucap Della dengan keringat yang membasahi seluruh wajahnya.

“Memang kamu berani izinnya? Lagian kalo dia tahu kita bohong bisa habis kita.” Ucapku mengingatkan sambil kembali mengatur nafas.

“Kalo gak dicoba kan gak tau.” Ucapnya sambil menunggu si cowok dingin itu datang, karena melihat kami yang tiba-tiba berhenti.

“Kak Vano, kakiku kram kayaknya gak bisa lanjutin hukuman deh ketarik gitu uratnya.” Ucap Della duduk di lapangan, anak itu selalu aja punya segudang akal.

“Oh, yauda ke UKS aja.” Ucapnya datar tak membantu sama sekali, aku memiliki inisiatif untuk menolong Della yang sedang sakit ralat pura-pura sakit. Aku baru saja akan memapah ketika suara bariton itu menahanku kembali.

“Keramnya gak janjian kan? Berarti yang satunya bisa tetap ngelanjutin hukuman, kamu sama petugas UKS aja sebentar lagi mereka ke sini, biar saya bantu hubungi.” Singkat padat dan jelas menyakitkan.

“Good job Della, pulang nanti ketemuan digerbang.” Aku berbisik di telinganya dan dia hanya cengengesan tidak jelas. Melanjutkan lari keliling lapangan di teriknya matahari kali ini sungguh perjuangan, saat aku menjalankan hukuman dan dengan nyaman cowok dingin itu hanya duduk mendengarkan lagu di bawah pohon? Dunia tak adil.

“Ayo semuanya kembali ke lapangan.” terdengar teriakan lantang dari sudut lapangan.

“Tadi dalam tugas pertama kalian cukup menjalankannya dengan baik, hanya mungkin beberapa siswi tidak bertanggung jawab atas tugasnya. Tapi, tidak masalah sekarang kalian akan melakukan permainan basket dengan tim.” Ucapnya tegas tapi tolong garis bawahi 'hanya mungkin beberapa siswi tidak bertanggung jawab atas tugasnya' maksudnya dia menyindirku?

Oh mungkin menyindir Della? Lebih cocok kami berdua ya terimakasih banyak atas pemberitahuannya.

“Sekarang pembagian timnya mudah, berhitung 1 dan 2 lalu nomor 1 menjadi tim 1 dan nomor 2 menjadi timm 2, mulai berhitung.” Kami semua mulai berhitung dalam hati aku berkata. 'Basket? Passing saja aku tidak bisa ini di suruh bermain?' Sudahlah Sunny nikmatilah nasibmu yang memang tidak baik hari ini.

“Baik, saya akan menjadi wasit.” Bola dilempar dan peluit dibunyikan tanda permainan dimulai. Aku berusaha dengan segala kemampuan terbaikku untuk merebut bola menggiringnya ke ring lawan apalah daya tenagaku sudah terpakai habis saat menjalankan hukuman, semuanya berputar dan mulai gelap.

"Sunny awas!" ucap salah seorang temanku dan terakhir kali aku melihat bola datang dengan kecepatan tinggi ke arahku.

*******

Aku berusaha membuka kedua mata walaupun berat, kepalaku masih pusing seperti ditusuk ribuan jarum.

“Sun, akhirnya kamu sadar juga. Aku panik dan ngerasa bersalah nih.” Wajah Della masih begitu buram.

“Pusing Del, kok aku bisa di UKS ya?” tanyaku, karena terakhir yang ku ingat bola basket ingin menghantamku.

“Kak Vano yang bawa kamu ke sini.” Ucap Della datar.

“Ha?! Kak Vano? Pakai apa bawanya?” sontak pertanyaan itu hinggap, aku sangat menjauhkan pemikiran tentang dia menggendongku.

“Pakai gerobak, Sun. Ucap Della kesal.

“Ha? Seriusan kamu? Emang muat gerobaknya masuk UKS?” ucapku makin bingung,

“Sunny sahabatku yang tidak sombong serta rajin menabung, kamu itu digendong paham? Di gendong!” tegasnya sambil tersenyum memaksa.

“Ah seriusan kamu, dia gendong aku? Bercanda ah kamu Del.” Aku tak percaya dengan apa yang ku dengar.

“Terserah, fix aku cemburu!” ucapnya memalingkan muka.

“Cemburu? Aku melirik ke dia aja enggak kok kamu bisa cemburu sama aku?” tanyaku makin tak mengerti ini rumit.

“Eh tapi kok aku gak lebam deh.” Aku baru menyadari kepalaku sama sekali tidak ada benjolan.

“Ya kan bolanya ditepis Kak Vano. Segitu sigapnya dia nolongin kamu.” Della masih dengan wajah cemberutnya.

“Kok kamu tahu kronologisnya?” tanyaku bingung.

“Anak-anak pada heboh, katanya kalian udah kayak drama-drama di TV.”

“Idih!” ketusku mengelak.

“Tau ah Sunny curang, hari ini menang banyak.” Ia langsung pergi meninggalkanku.

“Seharusnya aku yang marah kan?” tanyaku berpikir keras.

*******

Setelah keadaanku membaik, aku berterimakasih kepada kakak penjaga UKS, setidaknya ada satu hal yang aku syukur, penjaga UKS di sekolah ini adalah Kak Nia, dan dia sangat ramah.

Langkah kakiku masih sangat kecil, kepalaku masih agak pusing walau sudah dikompres dan diberi teh hangat serta istirahat sebentar.

Sampai aku melihat seseorang sedang membawa buku di tangannya, dengan berani aku menghentikan langkahnya, dan betapa bodohnya aku yang belum merangkai kata apapun, sebenarnya mengapa aku menghentikannya sekarang? Ayolah Sunny, berhenti mempermalukan diri sendiri di depan dia.

“Kak tunggu!” dengan mengumpulkan keberanian dan menarik napas sedalam-dalamnya aku mulai merangkai kata dengan cepat, walau daya otakku sepertinya tidak bisa diajak bekerja sama.

“Saya tidak punya banyak waktu saya harus ke kelas.” Dia berlalu dan meninggalkanku begitu saja cowok macam apa itu? Sejenis apa dia? Dengan memasang muka tidak tahu malu dan kembali mengumpulkan beribu keberanian aku menghadangnya di tangga ketika dia ingin naik.

“Kak saya minta waktunya sebentar aja, saya cuman peng--- “ ucapanku terputus.

“Maaf kamu mengurangi waktu saya 1 menit 7 detik saya harus ke kelas.” Ucapnya kembali ingin melangkah.

“Saya minta waktunya sebentar saja kak, saya janji.” Aku kembali menghadangnya, dan mengatupkan tanganku di depan dada.

“2 menit 8 detik itu waktu kamu bicara dari sekarang.” Dia pasrah, aku tersenyum menang.

“Kak saya ingin.. ingin.. bilang..” Kenapa dengan mulutku?! Tak berbicara selancar aku saat biasanya, dia menatap jam tangannya lalu menatapku mulai bosan tidak peduli.

“2 menit pas, 8 detik lagi.” Masih dengan tatapan mata menunggu bersiap meninggalkanku.

“Terimakasih karena waktu saya pingsan di lapangan, kakak mau menolong saya dan menggendong ke UKS, maaf jadi merepotkan kakak juga. Maaf juga soal kejadian Kak Arthur.” Ucapku sangat cepat, bahkan aku tidak yakin apakah terdengar jelas, nafasku memburu.

“17 detik, kamu kelebihan 9 detik.” Dengan muka sinis ia pergi menuju lantai atas.

“Dia ngitungin menitnya sampai ke detik? Astaga! Kenapa ada manusia kayak gitu sih?!” Aku mengusap wajah kasar sambil berjalan cepat menuju kelas sambil berharap dia tidak mendengar ucapan terakhirku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel