Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 1 MATA ELANG

Terik sinar matahari pagi ini, membuatku sejujurnya hanya ingin duduk santai di koridor sekolah, sayangnya tidak mungkin bisa. Ini adalah hari pertama aku masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA). Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling lapangan, mengamati hal-hal yang sekiranya menarik, sambil menunggu upacara dimulai. Mata ini berhenti pada seorang laki-laki yang membawa bola basket di tangannya, ini kali pertama aku menatap lawan jenis dengan begitu intens, entah apa alasannya, tak lama bel pertama berbunyi, semua anak merapatkan barisan dengan sikap bersiap untuk upacara, aku berdiri di barisan tengah karena postur tubuhku yang memang tidak terlalu tinggi. Aku terus memperhatikan pembina upacara sampai ketika aku mulai tak fokus dan tak mengerti kemana arah pidatonya aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan karena resah dengan keringat yang membasahi wajah.

Sampai aku berhenti pada satu titik dan terus menatapnya ada yang tak biasa dalam dirinya ada sesuatu yang membuatku tersenyum hanya dengan melihat wajahnya. Melihatnya dari kejauhan entah mengapa membuatku tak fokus dan hanya terus menatapnya.

“Sunny, kamu ngeliatin siapa? Kok senyum-senyum gak jelas?”

“Engga kok Del, kamu salah lihat kali. Aku kan lagi merhatiin pembina upacara.”

Sunny, nama pemberian orang tuaku yang sangat menikmati sinar matahari ketika menjelang pagi dan sore hari. Mungkin kebanyakan orang mencintai hujan tapi bagiku sinar mataharilah yang lebih menarik.

********

Aku berjalan melintasi koridor sekolah, melihat seberapa luas dan fasilitas apa saja yang ada didalamnya.

‘Bugh.’

Seseorang menabrakku dan dia sedang membawa beberapa buku.

“Sorry.” Itulah ucapan pertama yang aku keluarkan sedangkan dia hanya menatapku rendah dan segera membereskan semua bukunya lalu pergi. Jangan tanya perasaanku saat ini, kesan pertama masuk sekolah ini mengapa harus bertemu senior semengerikan itu, matanya menatap terlalu tajam serasa ingin membunuh mangsa, berbeda sekali ketika aku menatap tingkahnya yang tadi membawa bola basket dan berjalan di sepanjang koridor lantai 2 saat upacara berlangsung.

“Tadi kamu kemana aja Sun? Sekarang kita harus ketemu ketua kelompok kita.” Della menatapku panik dan bingung.

“Oh iya, tadi aku dari toilet.”

“Eh iya kamu yang ngobrol berduaan, ketua kelompok kamu siapa?” tanya seorang senior yang memang cantik.

“Aduh tadi siapa ya Sun?” Della berbisik dan aku segera panik.

“Kalian gak tau ketua kalian dan ngobrol aja disitu? Jadi murid disini aja belum resmi tapi sudah bertingkah?!” Dengan memakai almamater berwarna abu-abu, senior berambut panjang bergelombang itu mendekat pada aku dan Della, rahangnya mengeras mengartikan dia marah pada kami, aku diam tak berkutik.

“Biar gue aja yang urus, Cin.” Ucap seseorang yang tidak asing, ya dia orang yang tadi aku tabrak yang tatapannya seperti ingin membunuh.

“Terserah kamu aja Van.” Senior perempuan itu sikapnya jadi berbeda 180 derajat, senior ini menyebalkan kenapa di setiap sekolah masih memakai prinsip senioritas?

“Kalian tahu siapa ketua kelompok kalian?” tanya laki-laki itu, Della melirikku lalu mukanya tampak ketakutan dan kemudian dia kembali ke arah pria di depan kami. Aku dan Della justru sedang menatap arah yang sama, ke arah bed nama yang ada pada almamater itu “Devano Christian”

“Yang pasti dia kakak kelas kami.” Ucapku karena setelah beberapa menit dalam keheningan, sungguh aku membenci berada dalam keheningan sejenak dan di balasnya dengan tatapan sangar tapi tenang.

“Kalian bawa buku dan pen?”

“Bawa kak.” Ucap kami bersamaan.

“Saya minta kalian untuk mengumpulkan seluruh tanda tangan beserta nama guru yang ada di sekolah ini!” ucapnya sambil dengan mata lurus memandang ke arah kami dan ketika mendengar hukuman itu aku dan Della mendengus lega mungkin terlalu keras sampai dia kembali menyipitkan mata.

“Dan kalian harus memperkenalkan diri, memberitahu alasan kalian di hukum. Satu lagi, itu semua harus direkam dan serahkan ke saya 30 menit lagi.” Tegasnya dengan cepat seperti kata-kata itu sudah menjadi mantra sehingga ia terlihat seperti sedang tidak berpikir saat mengucapkannya.

“Kakak gak salah ya kasih waktu 30 menit? 1 jam aja kak.” Ucap Della memohon.

“Atau saya tambah sama tanda tangan seluruh murid di sekolah ini?” tanya kak Vano.

“Iya kak kita bakal kerjain.” Ucapku langsung menarik Della pergi.

“Aduh salah aku juga sih gak dengerin pas pembagian kelompok tadi.” ucap Della menghentakan kaki kesal.

“Udahlah Del jalanin aja, lagian aku bingung kok dia ngurusin hukuman buat kita sih? Emang dia ketua kelompok kita ya?” tanyaku bingung, di balas Della dengan menaikan kedua bahunya.

“Kayaknya dia dendam kesumat sama aku nih, sekolahku disini pasti gak tenang.” Ucapku berfikir dan menghela nafas.

“Dendam? Emang kamu apain dia?” tanya Della penasaran.

“Aku tadi gak senagaja nabrak dia pas dia lagi bawa buku banyak banget, aku udah minta maaf eh dia malah liatin aku kayak ngeliat ayam goreng.” Aku jadi jengkel sendiri tapi mataku tak berhenti melirik siapa tahu ada guru lewat.

“Di sekolah ini guru pada di mana ya? Apa gak ada guru di sini?” tanyaku yang kebingungan mencari di setiap sudut tapi tidak menemukannya.

“Iya perasaan kita udah muter-muter dari lantai 1 sampai 4 tapi tetep aja gak ada.”

Aku dan Della merasa lelah, masalahnya gedung sekolahan ini betul-betul besar, sungguh tega senior menyebalkan itu memberikan hukuman seperti ini.

“Kalian nyari siapa?” sebuah suara bariton mengagetkan kami, aku ragu saat ingin membalikan badan, takutnya si mata elang itu.

“Kalian murid baru kan? Ngapain ke lantai kelas senior?” tanya suara itu lagi.

Aku dan Della berpegangan tangan dan mengumpulkan beribu keberanian untuk membalikan badan.

“Eh iya kak, kita lagi nyari guru.” ucap Della tergagap sambil bernapas lega bukan si mata elang yang menghampiri kami.

“Nyari guru? Buat apa?” tanyanya kebingungan.

“Tadi itu disuruh Kak Devano.” Ucap Della dengan cepat dan membuat ekspresi muka kakak kelas di depan kami bingung, aku spontan menginjak kaki Della.

“Aw…!” Della sedikit meringis.

“Maksudnya gini kak, tadi kita salah, soalnya gak tahu siapa ketua kelompok kita jadi Kak Devano kasih kita hukuman.” Jelasku agar kami tidak mendapat masalah kedua dari si mata tajam.

“Kalian di suruh nyari guru?” tanya ia lagi.

“Bukan itu doang kak, kita disuruh minta tanda tangan sama nama terus harus direkam pas kita ngenalin diri sama kasih tahu alasan kita di hukum.” Della seperti tidak ada rem di mulutnya, harusnya dia berpikir kalau ini akan menimbulkan masalah baru, aku dengan wajah panik sambil melebarkan mata kearah Della agar sahabatku ini berhenti berbicara, namun sepertinya Della justru semakin lancar berbicara.

“Vano harus ditegur, kok ngerjain adik kelas keterlaluan.” Aku melihat di bed nama almamaternya tertulis Arthur Erlangga, nama yang bagus pikirku.

“Ayo ikut gue ke bawah.” ucap Kak Arthur lebih dulu berjalan menuruni tangga, sedangkan aku sudah menepuk jidat, takut jika ini akan menjadi keributan.

“Kita selamat Sun, ada penolong yang dikirim Tuhan.” Bisik Della, aku hanya mengernyit bingung sekaligus kesal.

“Kak emang gurunya pada kemana?” tanya Della penasaran.

“Hari ini guru-guru di liburkan, makanya kalian mau cari kemana aja pasti gak ada.” ucapnya terkekeh.

“Makasih ya kak, untung ada kakak kalau engga sampe botak kita nyarinya” Della lagi-lagi terus berceloteh sementara aku memikirkan masalah tak berujung setelah ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel