BAB 12 FEELING THE RAIN
Sekolah terlihat ramai dengan anak-anak yang membawa beberapa tas, terlihat panitia juga hilir mudik membawa kertas, sedangkan aku disini mematung karena Della belum datang, sementara aku belum akrab dengan anak-anak kelas. Jadi aku memilih menunggu Della di dekat pos satpam.
“Mau dibantuin bawa ke bis?” tanya seseorang, kemudian aku terdiam setelahnya.
“Masih pagi udah bengong, kesambet yang semalam baru tahu rasa.”
“Gak usah! Makasih.” ketusku, justru dia tersenyum kemudian melangkah pergi, terbuat dari apa hati orang itu, niat bantuin atau ngeledek sih?
“Ngapain Kak Vano?” tanya Della yang baru saja tiba dengan tas besarnya.
“Del? Itu mau pindahan?” tanyaku yang tak fokus dengan pertanyaannya tadi.
“Ya ini kan persiapan makanan di kamar, kalau tiba-tiba lapar di malam hari?”
“Tapi gak kayak mau buka warung juga kali, Del.”
“Terserah, awas aja minta.” Della berlalu masuk menuju bis, sementara aku teringat bahwa memang malam hari jika suasana dingin akan lebih lapar, aku menyesali mengatakan itu pada Della.
“Del, tunggu!”
********
“Selamat pagi semua.” Sapa Kak Arthur yang berdiri di podium paling depan.
“Sudah siap untuk ke puncak?!” tanyanya seolah membangkitkan semangat, semua anak riuh gembira karena adanya acara keluar sekolah ini dengan berbagai alasan. ‘Jadi gak ikut pelajaran matematika dan fisika deh kita.’ Begitu kata teman-teman sekelasku, beberapa kulihat masih menguap, bagaimana tidak, kami berkumpul Pk 06.00 dan itu masih terlalu dini.
Setelah pembagian sarapan dan kami naik ke bus masing-masing. “Dell, bus kamu di mana?” tanyaku saat melihat Della kebingungan. “Tadi sih aku bareng Kak Arthur.” Dia menjawab dan saat itu aku merasa iri. “Oh begitu, tadi aku liat Kak Arthur ada di bus terakhir.” Aku menunjuk ke arah bus paling belakang.
“Yauda aku langsung ke bis belakang ya, kamu dimana?” Dia berbalik dan bertanya.
“Ini di bis satu.” Jawabku menunjuk bis disebelahku.
“Pasangan kita ketuker Sun.” Ucapnya mendengus sebal.
“Ayo Dell, busnya udah mau jalan!” Vivi memanggil Della, ia salah satu teman kelasku, Della langsung berlari, tapi aku belum sempat bertanya maksud dari perkataannya.
“Busnya udah mau jalan, kamu mau tetap disitu?” Tanya sebuah suara bariton yang menggelitik telingaku, ketika aku berbalik, aku menemukan Kak Vano dengan berbagai perlengkapan ditangannya.
“Eh… iya kak maaf..” Tak terhitung lagi berapa ucapan maaf terlontar. Aku segera naik ke bus, beruntungnya masih ada tempat kosong, dan belum ada yang menempati, sepertinya akan menjadi perjalanan yang membosankan tanpa Della dan tanpa siapapun, mungkin tidur adalah jalan yang terbaik.
Tak lama aku melihat Kak Vano naik dengan tas punggungnya, dia kelihatan mencari tempat duduk. Aku mulai merasa kerja jantungku semakin cepat, saat matanya berhenti di tempat duduk disampingku. “Ini masih kosong?” Dengan tubuhnya yang cukup tinggi aku yakin hanya sebatas bahunya saja.
“Ma..masih kok kak” Rasa itu datang lagi gugup, satu rasa berjuta makna, aku melihat sekeliling, tempat duduk lain memang sudah penuh.
“Gausah gugup, tempat duduk lain penuh.” Sepertinya tanpa aku bertanya dia sudah tahu pertanyaan yang sedari tadi berputar di kepalaku.
Kak Cindy yang bertugas membacakan nama-nama peserta segera berjalan menuju ke bagian depan bus dekat dengan pengemudi untuk mengambil mic dan mulai memanggil secara urut nama-nama peserta. Ketika giliranku, dia menatap heran, lebih tepatnya ke arah aku dan Kak Vano, aku hanya menunduk dan diam setelahnya.
“Suka baca novel?” Tanyanya saat melihat novel di tanganku.
“Suka kak.” Seketika tanganku dingin perasaan aneh menyerang seluruh nadiku. Kemudian dia diam, sedangkan aku mengingat kata-kata yang semalam sudah aku rangkai.
“Kak Vano, saya mau balikin jaket waktu itu.” Aku mengeluarkan jaket zipper biru dongker miliknya.
“Makasih udah dicuciin.” Ucapnya saat mencium aroma pelembut pakaian.
“Wanginya khas cewek, saya malu pakainya.” Ucapnya menarik sedikit sudut bibirnya dalam hatiku berteriak gembira seorang Vano sedikit menarik sudut bibirnya karena seorang Sunny dan nada bicaranya sungguh lembut.
“Maaf kak.” Ucapku menunduk seakan baru tersadar kalau aku tak memikirkan bahwa tidak mungkin cowok se cool dia mau memakai jaket dengan aroma pelembut pakaian khas wanita.
“Kamu minta maaf mulu, seolah-olah saya ini paling benar.” Ia mendengus lalu mengembalikan jaketnya ke dalam pangkuanku.
“Simpan dulu aja, saya udah bawa jaket nanti malah tambah berat bawaan saya.” Ucapnya dengan lugas, astaga cowok ini berakata tanpa dipikir terlalu jujur.
Setelah 20 menit kami melakukan perjalanan suasana di bus satu sangat ramai khas anak sekolahan ada yang bergosip, seru bermain game online, ada juga yang tidur. Aku melihat ke arah jendela ada titik-titik air muncul pertanda hujan aku memakai jaket kak Vano karena memang itu yang aku punya, aku memang tak membawa jaket tebal, pikirku Puncak tidak akan terlalu dingin, tapi aku salah. Jadi aku memeluk diriku sendiri berusaha menghangatkannya, melihat ke kiri Kak Vano tertidur dengan headset di telinganya.
Dorongan yang darimana datangnya ini mengantarkanku untuk menikmati pemandangan itu beberapa menit ini adalah momen favoritku saat ini melihatnya yang tertidur terbawa alam mimpi membuatku ingin masuk ke dalamnya menemaninya menjelajah alam mimpi, aku memang seperti terhipnotis setiap melihat Kak Vano dalam keadaan terdiam dan sedekat ini.
“Sudah ngeliatin saya nya?” Tiba-tiba kak Vano bersuara membuatku kaget setengah mati dan bingung tindakan apa yang harus kulakukan jadilah aku menetralisir jantungku menghadap ke punggung kursi didepanku.
“Saya sih senang kamu liatin saya, kalau kebablasan paling jadi suka sama saya.” Suara bariton itu terdengar lagi, dan membuat jantungku kembali berdetak bahkan lebih kencang membuat darah yang naik ke otak semakin sedikit ditambah oksigen yang semakin menipis.
“Nafasnya kayak abis lari maraton?” Dia berucap lagi seperti sangat mengetahui keadaanku, selama ini ku tahan untuk tidak melirik ke arahnya sampai sekarang rasa penasaran tak terbendung jadilah aku meliriknya dan dia masih memejamkan mata, aku sedikit bernafas lega karena jikalau ia membuka mata dan aku melihat tepat ke matanya yang tajam dan menyelidik pastilah aku sudah lebih parah dari sekarang.
“Tugas biologi kemarin udah selesai?” Tanyanya setelah kejadian tadi.
“Tugas yang mana ya kak?” tanyaku bingung mengapa dia tiba-tiba bertanya hal itu, dan kenapa aku selalu terlihat bodoh saat didekatnya?
“Yang kemarin di lapangan.” Dia mulai membuka matanya dan menatap ke jendela.
“Oh itu kak, udah selesai kok makasih kak untuk bantuannya.” Ucapku mencoba menarik kedua sudut bibirku, ia tak menjawab justru sepertinya tertarik dengan hal disampingku.
“Saya telat nikmatin hujannya.” Dia menatap serius guyuran hujan yang deras.
“Belom kak, sekarang itu masih hujan kok.” Ucapku terkekeh.
“Beda Sun, kalau kamu gak nikmatin dari awal.” Dia menjelaskan, aneh kupu-kupu di perutku berterbangan lagi setelah mendengar dia memanggil sepenggal namaku jarang aku dengar.
“Kayak kamu nonton film yang udah ditengah-tengah, gatau gimana awalnya. Gak asik.” Dia menjelaskan lagi, aku yang bingung hanya mengangguk- angguk saja.
“Sama kayak hujan, kamu belum lihat bagaimana awalnya mula-mulai setitik dua titik jatuh sebagai pemanasan dan pertanda, ia baik karena tak langsung mengguyur tapi memberikan pertanda agar setiap orang bersiap akan kedatangannya dan lama-lama mereka jatuh dalam jumlah banyak lalu semakin lama deras.” Dia menjelaskan proses jatuhnya hujan tanpa tatapannya teralihkan.
“Gara-gara kamu saya gak bisa liat hujan dari awal.” Dia akhirnya melepas pandangannya dan menatap tajam ke arahku secara tiba-tiba dan aku yang belum ada persiapan sedikit kaget tapi tetap mata kami bertemu, tenggorokanku tercekat bingung harus berkata apa sementara mata coklatnya memandangku dengan intens seolah menelisik jauh.
“Gara-gara saya?” Tanyaku mendapat kekuatan dari dalam diriku.
“Iya, saya takut kalau buka mata, kamu gak liatin saya kayak tadi lagi.” Ucapnya tersenyum sedikit lebih lebar, bukan hanya mengangkat satu sudut bibir tapi ini keduanya.
“Jangan minta maaf, itu bukan kesalahan. Saya senang kamu perhatiin saya.” Ucapnya kembali ke posisi awal dan menatap ke arah samping ku dengan hujan yang setia menjadi pemandangannya.
Lagi-lagi dia ingin memperpendek umurku dengan berkata seperti tadi? Sekarang tubuhku semakin dingin bukan karena udara tapi karena pengaruh cowok dingin disampingku. Aku perlahan mulai menikmati setiap guyuran hujan setiap hembusan angin dan tentu aroma khas hujan, terlalu egois jika dengan cepat aku menyatakan suka. Suka terhadap hujan maksudku. Kenapa terasa seperti semalam tidak terjadi apa-apa diantara kami semuanya menjadi kaku seperti semula, tapi memangnya ada apa diantara kami? Dan seperti aku katakan, dia mampu membuatku melambung tinggi dan jatuh kemudian, seperti yang ia lakukan saat ini. Bagaimana dia tidak kembali tertidur, tapi memandangi jendela yang ada disampingku.
Saat aku perhatikan lagi, dia kembali memejamkan mata, akhirnya aku menyentuh jendela yang ada disampingku, walau terhalang kaca aku bisa merasakan dinginnya udara, titik-titik hujan juga membawa embun, sensasi baru yang tak pernah aku sukai sebelumnya.
“Suka baca novel apa?” tanya Kak Vano.
“Roman 90-an.” Jawabku, memang suka dibilang klasik dan kuno khususnya oleh Della, tapi itu sebuah hiburan, dan kita bisa menjelajah dunia hanya dengan sebuah buku. Lalu Kak Vano mengangguk.
“Kakak suka denger lagu?”
“Suka.”
“Genre apa?”
“Musik lama, sering dikatain kuno sama teman-teman.” Aku mengangguk juga kemudian tersenyum, ternyata sama.
“Kuno gak selamanya buruk.” Balasku.
Dia terkekeh. “Bagi sebagian orang dianggap gak ngikutin tren dan basi.”
“Tapi beberapa orang perlu nostalgia, kadang kita juga harus ingat masa lalu, bagian yang pernah ada dan melekat dalam diri ini.” Balasku tanpa menyadari kata-kata itu keluar begitu saja, saat tanganku masih menyentuh kaca jendela nan dingin.
“Saya suka sih kamu jadi bawel.” Dan kemudian aku menatap jengkel ke arahnya, lebih tepatnya menatap dengan penuh amarah, kemudian dia tertawa, untuk pertama kalinya aku mendengar tawanya yang membuat darah berdesir, aku sudah yakin, bahwa ini lebih dari sekedar rasa kagum dan penasaran, dan itu akan terus bertambah seiring kami terus disandingkan oleh takdir, wajah Della yang tiba-tiba muncul di bayanganku membuat aku menghentikan senyumanku, sementara Kak Vano masih saja tersenyum dan menutup matanya.
