BAB 11 DIMANA SEMUANYA BARU DIMULAI
Sebuah pesan masuk membuat ponselku bergetar, saat aku melihat inisialnya membuat jantung ini ingin menciptakan irama tak beraturan, otak meragukan tapi mengapa hati sangat paham siapa inisial ini, semuanya harus dipastikan.
‘Maaf ya, ini siapa?’
‘Penyuka teh basi.’
Degupan jantung ini lebih kencang saat tahu kebenarannya. “Aduh bagaimana ya ini dia mau ngapain malam-malam gini kayak gak ada kerjaan, keluar.. engga.. keluar.. engga..gausah deh, tapi penasaran banget.” Akhirnya aku memutuskan keluar melalui jendela dan menemukan seseorang diluar pagar.
“Saya kira kamu gak senekat ini.” Ia terkekeh.
“Kakak yang maksa.” Aku jengkel.
“Saya gak maksa, saya kasih kamu pilihan.” Ia membela diri.
“Terserah kakak, saya mau masuk kalau gak ada kepentingan.” Ucapku kesal, bagaimana mungkin dia bisa berucap seperti itu dikala aku sudah memutuskan untuk menemuinya, sampai harus loncat dari jendela kamar, sudah ku katakan bahwa sifat menyebalkannya itu tidak berubah.
“Saya mau ajak kamu jalan-jalan.” Kata-kata itu dengan cepat menyebabkan kejutan di tubuh ini seperti tersengat listrik namun efeknya mampu melumpuhkan tubuh.
“Saya mau izin ke orang tua kamu dulu, jadi sekarang kamu masuk seolah-olah saya baru datang ya.” Ucapnya santai.
“Jalan-jalan?”
“Iya, kayak kamu sama Arthur tadi?”
“Kok kakak tahu?”
“Kenapa? Atau kamu gak mau jalan sama saya?”
“Bukan, bukannya gamau tapi…”
“Yaudah saya pulang.” Dia baru saja akan membalikan badan. Seketika itu aku merasa tidak rela.
“Yauda ini mau masuk, tapi kan bohong sama orang tua dosa kak.” Kataku masih dengan wajah yang aku rasa tak dapat dikondisikan untungnya aku memunggunginya.
“Saya sebenernya gak mau suruh kamu keluar, cuman tadi saya takut aja salah alamat.” Jelasnya.’
“Oh iya kakak dapet alamat saya dari mana?” tanyaku.
“Della, temen sekelas kamu.” Astaga pasti sekarang teleponku sudah bergetar beberapa kali karena Della pasti penasaran.
“Jangan tegang, bilang untuk data OSIS.” Ucapnya sangat kelewat santai, aku langsung lega.
“Cepat masuk, nanti keburu malam.” Aku hanya mengangguk.
*******
“Sunny, mama bingung deh pacar kamu nak Arthur atau nak Vano?” tanya mama saat membuka pintu kamar.
“Pacar? Astaga mama, mereka itu senior-senior aku.” Ucapku menatap kaca dan memastikan wajahku tidak kumel.
“Aduh bahagia deh, kamu direbutin dua cowok sekaligus yang pertama mirip bule yang kedua kayak orang korea. Cucu mama blasteran ya?” Mama sambil senyum-senyum dan seolah-olah sedang menghayal sesuatu yang indah.
“Mama jauh banget deh pemikirannya, udah ya aku mau pergi, janji gak akan pulang malam.” Ucapku mengacungkan jari kelingking dan mama menautkan sambil tersenyum dan memeluk serta mencium puncak kepalaku.
“Hati-hati ya sayang, Mama senang kamu bisa dekat sama siapa aja tapi ingat ya hati manusia cuman 1 jadi kamu harus kasih seutuhnya kepada satu orang saja jangan dibagi-bagi.” Ucap mama tersenyum saat aku sudah sampai diruang tamu, aku paham sangat paham apa yang di katakan mama kata-katanya begitu jelas bahwa aku seperti seseorang yang rakus karena dekat dengan dua laki-laki sekaligus, tapi aku pikir ini bukanlah hal yang berlebihan, hanya berteman.
*******
Aku seperti tidak semangat menapaki kaki di jalanan beraspal pada malam ini, cuacanya dingin suasananya sunyi rasanya aku berada sendirian bingung dan tak tentu arah, seemntara manusia disampingku hanya diam saja, sebenarnya dia mau ajak jalan atau uji nyali sih?
“Beda ya rasanya jalan sama saya dan Arthur?” Ucap seseorang yang sedari tadi berada di sampingku dan sekarang aku tersadar karena siluet kesukaanku nampak sejajar denganku sungguh bahagia, siluet tersebut terbuat dari pantulan sinar lampu jalan.
“Maksudnya apa kak?” Tanyaku tak paham.
“Sama Arthur kamu lebih ceria, sama saya malah gelisah.” Ucapnya sambil menendang kerikil, sedangkan tangannya dimasukan ke dalam kantong celana.
Aku berhenti sejenak terdiam apa memang yang dibicarakan Kak Vano benar? Aku lebih nyaman bersama Kak Arthur ketimbang dia tapi, aku belum bisa memastikan itu melihat punggungnya membuatku merasa nyaman dengan sosok ini, mengapa suasana nyaman harus datang bersamaan dengan dua orang yang berbeda dan bertolak belakang?
“Saya mau ngajak main basket, ke lapangan sekolah gimana?” tanyanya.
“Emang kita masih boleh masuk malam-malam gini?” Tanyaku bingung sekaligus takut.
“Boleh kok, kan satpamnya kenalan saya. Muka kamu langsung pucet? Takut setan ya?” tanyanya sekaligus mengangkat sedikit sudut bibirnya.
“Ngapain saya takut kan setannya ada disamping saya.” Ucapku tanpa berpikir lagi, ya soalnya kan kesal juga.
“Itu apaan disamping kamu?” Tanya kak Vano.
“Apaan sih kak? Jangan nakut-nakutin, saya gak takut.” Aku menantang.
“Kamu tadi bawa temen bajunya putih rambutnya panjang?” Tanyanya lagi sangat dingin, aku merasa seluruh bulu kudukku merinding karenanya.
“Kak saya serius.” Ucapku lagi masih dengan ketakutan, tak ingin melihat kemana-mana selain memandangi Kak Vano dengan wajahnya yang menyebalkan itu.
“Yang terakhir sampai di sekolah, temenan sama si baju putih.” Ucap Kak Vano langsung berlari menuju arah sekolah.
“KAK VANO…!” Mau tidak mau aku berlari sekencang mungkin, sekencang yang aku bisa rasanya ingin berhenti melakukan hal bodoh ini tapi mengapa ini mengasyikkan dan terakhir kali aku bermain kejar-kejaran itu saat SD.
“Lari kamu cepet juga.” Ucapnya bertolak pinggang seperti dia orang yang paling tampan di muka bumi ini, dan aku harus mengakuinya, dengan wajahnya yang habis berlari, sedikit peluh di dahinya, dan wajahnya yang sempurna dibawah sinar bulan, pemandangan ini, akan aku rindukan.
“Kakak ngerjain saya ya?” tanyaku dengan napas tersengal-sengal.
“Biar rileks kamu, kamu tadi tegang kayak mau Ujian Nasional.” Ucapnya sambil mengambil bola basket yang ada di belakang pos satpam.
“Saya latih buat hilangin trauma kamu.” Ucapnya mendekat, aku langsung menghindar menjauh aku teringat bagaimana terakhir kali bola itu membuat dahiku biru.
“Selangkah lagi kakak maju, saya teriak.” Ucapku pelan sambil memejamkan mata, aku tak mendengar suara lain selain nafas seseorang yang masuk ke indera pendengaranku, aku memberanikan diri untuk membuka mata dan aku menemukan sepasang bola mata indah, aku melihatnya tepat seperti ada dimensi lain yang membawaku ingin larut kedalamnya ia semakin dekat namun pandanganku teralihkan saat.
“Jangan liatin saya kayak gitu, nanti naksir” Ucapan itu keluar dari bibirnya membuat semua dimensi itu buyar dan aku yakin pipiku akan merah seperti kepiting rebus.
“Kenapa sih kakak ngerjain saya mulu? Masa Orientasi Siswa kan udah selesai?” Aku kesal dan mencak-mencak.
“Bawel, ayo main.” Ajaknya mendahuluiku ke dekat ring basket.
Selama 3 menit diawal aku ragu mencoba permainan ini apalagi memegang bola basket yang aku yakin beratnya bisa membuat kepalaku membiru apabila dikenai, aku melihat dia mencontohkan beberapa trik tapi ya aku hanya memperhatikannya lalu dia menghela nafas karena aku masih berada di pinggir lapangan tanpa ada keinginan untuk bergabung dengannya, dia datang menghampiri dan menggandeng tanganku menuju dekat ring dan ya aku sekarang berharap ini seperti adegan yang di film-film di mana ia ada di belakangku dan ia memegang kedua tanganku dari belakang melingkarkan di sekitar tubuhku dan bersama-sama menggenggam bola, melontarkannya secara bersamaan lalu bola itu masuk setelah itu kami tertawa bersama saling berpelukan.
“Fokus!” Teriaknya dari bawah ring dan semua khayalan itu buyar, Sunny bodoh mengapa berkhayal begitu menjijikan seolah aku adalah seorang pemain sinetron FTV.
“Saya gak bisa kak, maksa banget.” Ucapku kesal.
“Makanya sekarang kita latihan, coba lempar ke arah ring.” Ucapnya menunjuk ring, dengan lemas dan setengah hati aku mengambil bola basket dan melemparkannya, percobaan pertama gagal, kedua juga, dan aku menjadi sangat optimis dipercobaan ketiga kata orang kalau yang ketiga gak berhasil mending ga usah sama sekali, dan ya percobaan ketiga... juga gagal jadi aku kesal dan memajukan bibir lalu melangkah pergi ke arah pinggir lapangan.
“Kenapa nyerah?” tanyanya.
“Tiga kali percobaan saya rasa cukup.”
“Orang bodoh yang bilang gitu, Albert Einstein mencoba ratusan bahkan ribuan kali sampai dia berhasil.” Ucapnya sarkastik.
“Dan masalahnya saya bukan Einstein yang IQ-nya di atas rata-rata.” Aku kesal masih memunggunginya.
“Saya janji gak akan nyerah ngajarin kamu, saya harap kamu juga gak nyerah sama ini.” ucapnya lebih dingin dari biasanya, kenapa aku harus bisa basket sih? Emang itu syarat kenaikan kelas apa?
“Saya anak jurnalis, bukan basket!”
“Cuman biar kamu gak trauma sama benda bulat ini.”
“Satu kali percobaan lagi dan terakhir.” Akhirnya aku mencoba mengalahkan rasa keputusasaan ini, aku berbalik dan menerima lemparan bola basket darinya.
“The last.” Aku bersuara kecil dan menutup mata sejenak, lalu aku melemparkan bola basket dan ternyata… Bola itu tidak masuk, bagus bukan, aku kesal dan menunduk.
“Sekali lagi, tapi bersama kita lihat siapa yang masuk.” Ucapnya disampingku dan memberikan satu bola basket dan tangan satunya memegang bola basket untuk dirinya sendiri.
“1..2...3..” Ucapnya dan kami melemparkan bersama, bola miliknya meleset tapi, bola milikku masuk dan untuk pertama kalinya dalam hidupku keberuntungan dalam hal bola basket datang, aku yakin ini disebabkan aku terus memperhatikan cara Kak Vano melempar. “Yeah!” Aku berteriak dan menonjok satu kepalan tangan ke udara, tapi kalian bisa tebak ya aku jatuh dan tepat bokong ini mendarat sangat tidak baik di lapangan, dan aku menatap tajam orang yang sedang berdiri sambil menahan tawa dan tersenyum, mengapa di lihat dari bawah senyumnya cukup manis, ya hanya cukup manis untuk saat ini.
Tiba-tiba si pemilik senyum itu duduk disampingku menatap kedepan dan kemudian menidurkan tubuhnya di lapangan, aku yang melihat perilakunya ikut melakukan hal yang sama.
Kami sama-sama terdiam selama 5 menit dan terus menatap kedepan sampai. “Selamat.” Ucapnya singkat tapi tetap menatap lurus ke arah langit.
“Untuk?” Aku menatapnya dari samping, semuanya terasa pas malam ini.
“Mencetak poin pertama diring basket sekolah.” Jawabnya.
“Itu karena beruntung aja.” Aku membantah dan ia hanya mengangkat sedikit sudut bibirnya.
“Kali ini beruntung, lain kali seharusnya enggak.” Ucapnya lagi sambil terus memandang bintang yang paling terang malam ini.
“Kakak sering kesini pas malam hari?” tanyaku melihat ia masih memandang bintang yang sama.
“Kalau lagi banyak pikiran aja.” Jawabnya singkat, sama sekali tidak ada perubahan sikap.
“Sekarang lagi banyak pikiran?”
“Lumayan.”
“Mikirin apa?”
“Pasti maunya saya jawab, mikirin kamu.” Aku langsung tidak terima dan menatapnya kesal.
“Apaan sih!”
“Bercanda, serius banget. Mikirin besok, kan besok acara OSIS sama murid baru.” Aku mencoba menetralkan perasaan yang baru saja dibuat kesal, jadi aku memilih diam.
“Coba deh kamu jangan liatin saya terus, kamu liat ke bintang yang paling terang” ucapnya sambil masih memejamkan mata, mengapa dia suka sekali berbicara sambil memejamkan mata? Dan kenapa dia selalu berhasil memergokiku yang sedang mengamatinya.
“Dia hebat, karena walaupun dia kecil tapi dia cukup terang untuk terlihat dari sini.” Ucapnya mulai tersenyum walaupun sedikit.
“Saya selalu berharap jadi seperti bintang itu, makanya dalam hidup saya fokus untuk mengejar impian.” Ucapnya lagi tanpa diminta, ternyata ia juga suka berbicara.
“Gak perlu pamer bahwa dia bintang, cukup menunjukan sinarnya, semua orang tahu dia lah bintang yang paling terang.” Kali ini ia membuka mata, aku hanya bisa tersenyum, saat tenang seperti ini, aku suka mendengarkan dia lebih banyak berbicara.
“Kamu kok diem aja?”
“Baru kali ini lihat kakak banyak bicara.”
“Emang biasanya gimana?”
“Lebih banyak ngeselin sih.” Kali ini dia yang menatapku.
“Kamu kesel sama saya?”
“Banget!”
“Kok masih mau diajak jalan?”
“Dipaksa.”
“Engga dipaksa juga mau.”
“Terserah!” dia terkekeh.
“Ayo pulang.” Ucapnya tiba-tiba duduk dan bersiap berdiri, dan aku mengikutinya. Malam ini aku belajar untuk menjadi pendengar yang baik, walau tetap saja jika kami bertemu hanya ada adu argumen, tapi aku sangat menyukai momen ini, bagiku saat dia bercerita, aku ingin sekali mendengarkan, semuanya tampak menarik sekarang, bagaimana dia melangkah di depanku, dia yang pendiam, dia yang punya sikap dingin sekaligus mampu menghangatkan tanpa bisa ditebak.
