PROLOG
Anak perempuan berumur enam tahun itu sedang bersiap dengan sepedanya yang berwarna kuning, dengan rambut yang terurai panjang dengan pita berwarna kuning di rambutnya, ia sangat suka menyusuri kompleks rumahnya terutama saat pagi hari seperti ini, biasanya ia tidak main terlalu jauh, dan mamanya selalu menemani.
“Sayang, ini kayaknya mau hujan deh, main sepedanya jangan lama-lama ya.” Seorang wanita berumur kurang lebih tiga puluh tahun itu sedang membawa keranjang belanja.
“Iya Ma.” Sunny tersenyum, setidaknya ia senang masih bisa bermain sepeda walau hanya sebentar saja, ia selalu saja cemberut ketika melihat ke langit dan menemukan warnanya berubah menjadi abu-abu.
“Yuk sayang.”
Sepanjang jalan Rahma selalu dibuat tersenyum dengan tingkah atau celotehan Sunny, anak perempuannya itu memberikan sukacita tak terkira bagi pernikahannya dengan Indra. Sunny lahir tepat saat matahari bergerak naik menuju ke tahtanya, sama seperti matahari yang menjadi sumber cahaya utama bagi makhluk di bumi begitupun arti kehadiran Sunny dalam hidup kedua orang tuanya, karakternya yang periang membuat suasana lebih hidup. Walau masih duduk dibangku taman kanak-kanak, Sunny sudah pandai berbicara dengan lancar, kosakatanya juga cukup banyak, itu karena ia suka membaca dongeng.
“Sun, mama belanja dulu ya di Bang Ojak, kamu main sepedanya di sekitar taman itu ya, jangan jauh-jauh.”
“Oke Mama.” Sunny mengacungkan ibu jarinya.
Taman ini selalu menjadi tempat kesukaan Sunny untuk bermain sepeda, jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah, dan taman ini ada dibelakang Sekolah Dasar yang nantinya menjadi sekolah Sunny nanti. Tak butuh waktu lama hujan deras mengguyur Jakarta, dan Sunny yang panik ingin segera berteduh dibawah pohon besar.
“Aaa…!” suara decitan ban, sebuah kucing membuat Sunny menekan rem mendadak membuat tubuhnya tidak seimbang, dan akhirnya terjatuh, lututnya berdarah, dengan segera ia bangkit berdiri dengan rasa perih yang menjalar dan tubuh yang menggigil, ia berusaha keras menuntun sepedanya ia melihat kakinya terluka dan darah segar mengalir sampai menyatu dengan permukaan tanah. Aroma darah bercampur dengan aroma khas hujan yang turun deras memberikan sensasi yang aneh dalam diri anak perempuan ini.
“Mama…” Lirih Sunny, ia menunggu mamanya untuk datang menjemput.
Angin yang berhembus cukup kencang membuat Sunny makin ketakutan, sambil memeluk dirinya sendiri, ia berusaha menutupi lukanya dari tetesan air hujan. Melihat sekeliling sepi, membuat Sunny semakin memeluk lututnya, mencoba menghangatkan diri.
Tak jauh dari sana ada seorang anak laki-laki memakai seragam sekolah dasar dan membawa payung biru laut memperhatikan anak perempuan itu sambil sesekali melirik ke kiri dan ke kanan, hatinya gelisah seakan berdebat antara menolong atau membiarkan, sungguh dilema.
Akhirnya dengan Langkah pelan, anak laki-laki itu mendekati Sunny.
“Kenapa?” tanya anak laki-laki itu, sebenarnya ia sudah tahu apa yang terjadi.
Sunny melihat ke arah suara itu datang, dan matanya mengerjap, memastikan siapa yang sedang mengajaknya berbicara, ia menjadi waspada karena ia selalu diingatkan oleh mamanya untuk berhati-hati dengan orang asing.
Dengan suara bergetar Sunny menjawab. “Ini luka dan berdarah.” Sunny itu menunjuk bagian lukanya, tanpa meminta izin, anak laki-laki itu mengeluarkan sapu tangan berwarna biru laut dan mulai mengikat cukup erat tepat pada luka dilutut Sunny, dia meringis menahan rasa sakit bercampur kaget dan bingung karena tindakan spontan ini.
“Agar darahnya berhenti.” Jelasnya singkat.
Anak laki-laki itu seakan sadar bahwa kejanggalan terjadi di antara mereka, ia bersiap berdiri dan membalikan badan ke arah sekolah sampai suara lembut yang samar dengan suara hujan menahannya.
“Terimakasih, kamu baik!” senyuman lebar menghiasi wajah Sunny, tetapi sayang anak laki-laki itu tidak melihat senyum termanis dari sang pemilik luka.
Langkah anak laki-laki itu sempat terhenti hanya sebentar, Sunny berharap bisa melihat wajah orang yang menolongnya sekali lagi, tapi nyatanya tidak. Anak laki-laki itu terus berjalan tanpa membalas ucapan terimakasih dari seseorang yang ia tolong tadi, hari ini ia berterima kasih pada hujan karena mempertemukannya dengan anak perempuan yang ia tolong tadi entah mengapa itu membuat harinya bahagia dan merasa menjadi penyelamat, seketika ia kembali terbayang saat manik matanya dan manik mata anak perempuan tadi bertemu, warnanya coklat pekat sungguh ia menyukai warna itu. Hujan hari ini lebih terasa indah.
“Kenapa ya dengan dia? Padahal aku ingin berkenalan dan menjadi teman.” Sunny mengerucutkan bibir mungilnya, di detik berikutnya ia tersadar saat melihat sapu tangan berwarna biru tua yang terikat di lututnya.
"Ah iya gimana cara aku mengembalikan ini ya?" tanyanya menggaruk tengkuknya.
Hari ini Sunny bingung apakah dia harus membenci hujan karena menghalanginya bermain sepeda atau harus mulai menyukainya karena berkat hujan ia dapat bertemu dengan teman baru? Walaupun ia belum sempat berkenalan, tapi ia sudah dibantu.
"Kapan ya hujannya reda? Aku ingin pulang. Aku tidak suka saat hujan, tidak enak jadi tidak bisa bermain sepeda.” Ia seperti berbicara dengan hujan yang masih saja turun dengan begitu deras.
“Kenapa ya Tuhan ciptain hujan? Kenapa gak sinar matahari terus aja, biar aku bisa main sepeda.” Ia menatap kesal kepada hujan.
Seketika itu muncul bayangan Rahma datang dengan payung dan wajah yang sangat panik. “Sunny!” teriak Rahma saat melihat anak semata wayangnya terduduk di bawah pohon besar dengan penampilan yang sudah acak-acakan terkena hujan.
“Kamu kenapa? Kok ada sapu tangan? Kamu jatuh ya? Maafin mama ya sayang, tadi mama harus cari pinjaman payung dulu.” Rahma segera memeluk Sunny yang sudah menggigil.
“Gapapa ma, tadi Sunny ditolong sama kakak baik, dia pake baju putih merah sama bawa payung biru.” Ucapan Sunny yang sangat menggemaskan membuat perasaan Rahma yang tadinya bercampur aduk dengan khawatir dan rasa bersalah, runtuh begitu saja.
“Itu anak SD, Sunny, terus kemana kakak yang udah nolongin kamu?” Rahma mencari kesana dan kemari tapi tak menemukan siapa-siapa.
“Udah pergi, Sunny bilang makasih tapi dia diem aja, mungkin takut sama Sunny ya, Ma?” dengan wajah bersalahnya Sunny menatap mamanya, dan itu membuat Rahma menggeleng cepat.
“Kamu itu cantik dan lucu, masa dia takut, yang ada dia terlalu terpesona tahu gak?” Rahma segera mencolek ujung hidung Sunny, sedangkan yang dipuji hanya bisa terkekeh.
“Kita pulang ya, langsung mandi pakai air hangat.” Rahma menggendong Sunny dan segera menuntun sepeda kuning milik anak perempuannya itu.
“Ma, Sunny bisa ketemu kakak baik hati itu lagi gak?”
“Untuk apa?”
“Balikin ini?”
“Mudah-mudahan Tuhan mempertemukan kita dengan dia lagi ya, biar Mama juga bisa bilang terimakasih banyak.” Rahma tersenyum.
“Amin.” Sunny mengangguk antusias.
“Hebat nih anak Mama gak nangis ya padahal habis jatuh.”
“Kan aku pemberani.” Rahma kembali mencium pipi Sunny yang bulat dan berisi.
“Sunny harus ingat ya, perempuan itu memang harus lembut perilaku dan tutur katanya, tapi bukan berarti dia lemah, dia justru harus lebih kuat dan mandiri.”
Sunny hanya bisa mengangguk, ia masih belum bisa mencerna ucapan mamanya, dalam hati ia justru terbayang oleh anak laki-laki yang menolongnya tadi.
