Perceraian Akhtar-Raya
Raya mendapat telepon dari Andi, adik dari mendiang suaminya. Andi saat ini sedang berada di Surabaya. Raya bertemu dengan Andi membawa serta Ramzan sepulang sekolah.
Andi adalah cinta pertama Raya semasa SMA. Namun sayang Andi lebih memilih menikah dengan sahabatnya sendiri, Nila. Namun sayang, setelah dua tahun mereka menikah, Nila dinyatakan terkena kanker payudara. Dua tahun berjuang, Nila meninggal dunia. Andi memilih menyendiri dan tinggal di Singapura untuk melanjutkan bisnisnya di sana.
Andi juga mendengar kabar, bahwa Raya menikah dengan Akhtar yang seorang tentara. Andi merasa ingin memiliki Raya kembali. Andi segera pulang ke Indonesia dan mencari Raya.
"Raya, aku langsung saja ya, tanpa basa-basi." Raya mengangguk. "Aku mau, kamu tinggalkan tentara itu dan kembalilah padaku. Kita bangun rumah tangga kita dengan anak-anak kamu, bersamaku."
Tawaran yang menggiurkan bagi Raya. Selama ini hanya Raya yang memiliki rasa cinta pada Akhtar. Sedangkan Akhtar tidak pernah, bahkan Akhtar tidak pernah menyentuh Raya sama sekali, meskipun mereka tinggal serumah dan tidur sekamar. Hebat sekali bukan. Raya juga selalu menggoda Akhtar dengan memakai lingerie super sexy pun, Akhtar tidak tergoda. Luar biasa Akhtar.
"Aku pikirkan dulu Ndi." Andi mengangguk.
“Lebih baik hidup dengan orang yang sama-sama mempunyai rasa cinta, Raya.”
❤❤❤
"Kenapa sih, papa selalu gitu, nggak pernah belain aku. Aku tahu kalau Aila selalu jadi prioritasnya papa." Vebby memulai sesi luapan amarahnya saat di kamar. "Ma?" Vebby mengamati Raya yang sedang termenung. "Mama kenapa sih tahan banget hidup sama papa? Aku udah nggak tahan Ma,” rengek Vebby.
"Om Andi, ngajakin mama nikah Veb. Om Andi yang di Singapura itu, gimana?" Vebby mengangguk antusias.
"Om Andi yang saudaranya almarhum papaku, Ma?” Raya mengangguk. ‘Terima aja Ma. Lagian Mama nggak capek apa kalau papa nggak pernah sayang sama kita?" bujuk Vebby, Raya mengangguk. Raya menemui Akhtar yang berjalan bersama Aila. Raya berdiri di depan Akhtar. Menatap nyalang Akhtar yang tampak bahagia.
Aku mau ajuin cerai, kenapa dia biasa aja. Nggak takut kehilangan aku apa? Batin Vebby.
"Aku minta cerai Mas."
"Oke. Saya kabulkan gugatan cerai kamu. Saya yang akan urus semuanya, secepat mungkin," jelas Akhtar, lalu dia mengajak Aila masuk.
Beneran kampret Akhtar. Batin Raya.
“Nanti, Ai tinggal sama papa ya di sini, mau ‘kan?” tanya Akhtar di depan pintu kamar Aila.
“Mau Pah, asalkan nggak ada iblis di sini.” Akhtar sangat senang mendengarnya.
❤❤❤
Akhtar sibuk mengurus perceraian dirinya dan Raya beberapa minggu ini. Hubungan Aila dan Azlan juga merenggang, tapi itu memberikan hal baik untuk Aila, dia perlu memantapkan hatinya. Aila masih tetap menginap di rumah dinas Akhtar setiap weekend saja menginap dirumah dinas Akhtar. Aila dan Azlan sudah sepakat akan mengundurkan hari pernikahannya setelah sidang perceraian antara Akhtar dan Raya.
Kemarin sudah diputuskan oleh hakim, bahwa Akhtar dan Raya resmi bercerai. Aila bersorak dalam hati, bahkan dia dan kedua abangnya sampai menggelar pesta kecil-kecilan, yang terdiri dari mereka bertiga saja yang sangat bersyukur akhirnya Akhtar terlepas dari dua ular berbisa.
Akhtar dilanda bimbang. Hari ini dia harus berangkat ke Solo meninggalkan Aila yang tengah sakit di rumah dinasnya. Dan kebetulan juga hari ini Raya akan pindah bersama kedua anaknya. Hari yang dinantikan oleh Akhtar akhirnya tiba, sayangnya dia harus meninggalkan Aila sekarang juga. Akhtar duduk di tepi kasur, mengganti kompres untuk anak semata wayangnya.
"Ai, nggak papa kok Pah, Papah berangkat aja. Ada bang Hafizh yang bisa Ai mintai tolong, ada bang Habib juga." Akhtar mengangguk lalu memeluk tubuh Aila dan mencium keningnya. Berat rasanya Akhtar harus meninggalkan Aila sendirian bersama Raya, perasaan dia mendadak tidak enak, tapi tugasnya harus tetap dilaksanakan.
"Pulang kerja Hafizh, kalian pergi ke dokter ya, Sayang. Papa yang akan menelponnya." Aila mengangguk lalu memeluk Akhtar erat. Berdoa pada Allah agar Akhtar di lindungi oleh Sang Pencipta.
Vebby yang melihat Aila sakit, terlihat bahagia. Dia merencanakan pembalasan untuk Aila. Membalaskan semua rasa sakit hatinya selama ini. Vebby mulai menghasut Raya untuk ikut menyiksa Aila hari ini. Kesempatan bagi keduanya, Akhtar akan berangkat ke Solo sampai tiga hari ke depan. Mereka bebas hari ini.
“Ayo Ma, kita balasin dendam kita sama si Aila itu. Malas banget harus dia yang disayang.” Raya mengangguk setuju, lalu berpura-pura menyiapkan barang-barang mereka ke depan rumah dinas, sebelum Akhtar pergi.
Setelah dirasa Akhtar sudah benar-benar pergi. Vebby kemudian bergegas ke kamar Aila. Dia menarik Aila dari selimutnya dan menyeret tubuh lemas Aila ke kamar mandi. Mengambil air di gayung dan menyiramnya pada tubuh lemah Aila. Aila gelagapan, dia menggigil kedinginan.
Vebby mengambil kembali satu gayung air dingin dan menyiramkannya ke tubuh Aila kembali. Tubuh Aila menggigil, mencoba memeluk tubuhnya sendiri agar lebih hangat. Vebby tertawa melihatnya. Aila bukan dalam keadaan yang baik saat ini untuk membalas perlakuan Vebby padanya. Sejak kemarin tubuhnya memang kurang fit, ditambah dengan kegiatan Aila yang memang sibuk di kampus, hingga waktu istirahatnya berkurang.
Vebby menarik lengan Aila dan mensejajarkan dengan dirinya yang berdiri. Aila lebih tinggi dari dirinya. Dia mencengkram kerudung yang Aila gunakan.
"Gara-gara kamu, Mamaku menderita. Dan gara-gara kamu juga, Papa nggak pernah memperhatikan aku," teriaknya di depan wajah Aila. Satu tamparan mampir di wajah Aila.
Aila masih diam saja menerima penyiksaan dari Vebby. Meskipun pipinya memanas, tapi Aila masih diam saja tidak ingin membalasnya. Untuk berdiri saja tenaganya sudah tidak kuat.
Raya datang dan menyeret tubuh Aila keluar dari kamar mandi. Raya mendorong tubuh Aila ke lantai, hingga kepalanya membentur tempat tidur. Aila menggigit bibir bawahnya menahan sakit kepala yang menderanya. Dia merasa lelah.
Berkali-kali Aila menerima tamparan dari Vebby dan Raya. Vebby kalap, dia memukul hidung mancung Aila dengan menggunakan jam weker. Hingga hidung Aila mengeluarkan darah. Tangan Vebby bergetar melihat darah segar keluar dari hidung mancung Aila tidak berhenti.
"Ayo Vebby, kita tinggalkan dia sekarang saja." Raya menyeret Vebby agar segera keluar dari rumah Akhtar, sebelum ada yang melihat mereka menganiaya Aila.
Aila menangis merasakan sakit di wajahnya. Baju Aila basah semua. Dia bergegas berganti baju kering. Kepalanya terasa pusing, hidungnya belum juga berhenti mengeluarkan darah segar.
Aila berjalan gontai menuju rumah dinas Hafizh yang berhadapan dengan rumah dinas Azlan yang sama sepinya. Dia menangis di teras rumah Hafizh, karena merasakan sakit di semua badannya. Aila menyembunyikan wajah di antara lututnya. Dia menangis tersedu-sedu.
Maaa, Ai sakit. Batinnya menangis.
***
Azlan baru saja selesai mengantarkan Akhtar, calon mertuanya ke bandara. Dia pulang karena Akhtar memintanya untuk mengantarkan Aila ke rumah sakit lebih dulu, selain agar lebih mendekatkan keduanya. Azlan melihat ada seorang wanita duduk di depan rumah dinas Hafizh dengan menangis. Azlan menghampirinya.
"Permisi, Anda mencari siapa ya? Danki sedang tidak ada di rumahnya," tanya Azlan sesopan mungkin.
Aila berhenti menangis, dia mendongakkan wajahnya dan melihat Azlan di depannya. Azlan membulatkan matanya melihat wajah Aila yang mengerikan, darah segar tak henti-hentinya mengalir dari hidungnya. Azlan berjongkok menyamakan dirinya dengan Aila.
"Astaghfirullah haladzim Aila. Apa yang terjadi sama kamu? Cerita sama saya." Azlan memegang bahu Aila.
"Tolong saya ...."
Aila pingsan di dekapan Azlan. Azlan mengusap pipi Aila yang memerah dan memanggil nama Aila berkali-kali, tapi tak ada jawaban darinya. Aila pingsan.
"Lettu Azlan?" Hafizh datang dan melihat Azlan berjongkok di teras rumahnya. Hafizh memang sengaja pulang lebih dulu karena ingin melihat keadaan Aila.
"Siap. Maaf Danki, tolong saya." Azlan sedikit mundur dan menggendong tubuh lemas Aila.
Hafizh mendekat dan melihat Aila yang pingsan. "Dek, Ya Allah. Biar saya yang menggendong, kamu siapkan mobilnya." Azlan mengangguk dan membukakan pintu belakang untuk Hafizh yang menggendong Aila.
Mereka sudah tiba di rumah sakit. Hafizh membawa Aila ke ruang IGD. Keduanya menunggu Aila yang sedang diperiksa dokter di dalam. Azlan melihat betapa khawatirnya Hafizh saat menunggu Aila.
"Maaf Danki. Mohon ijin bertanya." Hafizh mengangguk. "Sebenarnya hubungan kapten dengan Aila apa?"
Hafizh mengembuskan napas beratnya. "Aila adalah adik sepupu saya. Papa saya adalah kakak dari Om Akhtar." Azlan mengangguk paham. "Saya juga tahu kamu adalah calon suami Aila." Azlan menatap Hafizh yang terlihat tidak tenang.
Satu orang lelaki masih menggunakan seragam PDL AL dengan baret biru bersama seorang pria paruh baya yang menggandeng tangan seorang perempuan paruh baya, mereka mendekat. Bersamaan dengan Dokter yang keluar dari ruang IGD.
"Bagaimana keadaan anak saya Dokter?" Hasan maju lebih dulu. Azlan dibuat bingung saat Hasan menyebut Aila anak.
Anaknya tuh yang mana sih? Danki anaknya, lah Aila juga anaknya? Gue anak sapa?
"Kondisi pasien lemah, patah tulang hidung yang dialami, mengakibatkan darah segar terus mengalir. Tapi, sekarang sudah berhenti.” Dokter itu menjeda kalimatnya sejenak, “Maaf, apakah pasien mengalami penyiksaan? Saya menemukan beberapa luka memar di kedua pipi dan kening pasien?"
Mereka semua saling tatap. Hafizh memandang Azlan yang sama diamnya mendengarkan penjelasan dokter. “Az?”
“Saya tidak tahu pasti, saya hanya menemukannya menangis dan tiba-tiba pingsan di rumah Kapten.”
Hasan menahan amarah karena penjelasan dokter di depannya. Selama ini yang di ceritakan Aila ketika bertelepon dengannya hanyalah rasa bahagianya ketika perceraian Akhtar dengan Raya. Tapi bagaimana luka memar itu ada?
"Bisa lakukan visum Dokter?" Dokter itu mengangguk.
"Baik Pak." Dokter masuk kembali.
"Dimana Akhtar?" tanya Hasan menahan amarah.
"Mohon ijin. Komandan dalam perjalanan menuju Solo," jelas Azlan.
Hasan mengamati wajah Azlan yang terlihat tenang bagaikan patung. Dia memandang lelaki itu tajam. "Siapa kamu?"
"Siap. Saya Azlan calon suami Aila." Hasan masih melihatnya dengan intens. Hasan tertawa mengejek saat kalimat calon suami Aila diucapkan oleh Azlan.
“Hafizh, telepon Akhtar sekarang. Bagaimanapun caranya, dia harus ada di sini sekarang juga, atau Aila, akan papa bawa.” Ancam Hasan, Azlan memandang ngeri lelaki di depannya.
Jika Aila dia bawa, lantas Azlan akan menikah dengan siapa? Azlan gelisah di tempat duduknya. Habib yang sedari tadi diam bak patung selamat datang, menertawakan lelaki itu dalam hatinya.
“Siap Pa.”
***
