Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 9

Selang beberapa hari setelah itu, Rendra membawa sejumlah foto yang didapat dari satpam kemarin. Athaya yang melihat foto itu langsung membantingnya dan memasukkannya ke dalam tong sampah. Dia sangat benci. Foto dimana seorang wanita yang tengah tertawa diatas pangkuan lelaki lain yang dia tau ada di club waktu itu.

Sudah dua bulan Athaya mencari tau apa yang istrinya itu lakukan. Sebenarnya Athaya bisa mencarinya lebih cepat, tapi dia ingin mencari tau sendiri dan dia mengingat jelas hari ulang tahun istrinya yang akan jatuh beberapa bulan lagi. Jika memang istrinya benar-benar semakin menjadi, dia akan memberikan kado kejutan ulang tahun bagi istrinya itu berupa surat gugatan cerai dan seorang Athaya adalah aktor terbaik. Dimana dia selalu akan tersenyum dan bersikap biasa disaat bersama istrinya itu walaupun semakin hari semakin hancur hatinya karena menemukan fakta-fakta lain da akhir-akhir ini pun Athaya jarang bisa melihat istrinya itu.

Jelas jarang, istrinya sering berpergian ke luar kota juga negeri dan Athaya tau jelas Narnia pergi bersama siapa. Selama berpergian, Athaya juga tau Narnia membeli apapun double untuk lelaki lebih muda yang dicintainya. Lelaki yang selalu Athaya lihat, di club waktu itu, di foto yang satpam itu kirim dan foto saat di luar negeri oleh orang suruhan Athaya untuk mengikuti mereka.

Pil KB yang selama inipun dibilangnya sudah tidak diminum, itu hanyalah kebohongan belaka. Athaya sering melihat Narnia istrinya itu diam-diam meminum pil KB di dapur sebelum berhubungan. Pil KB yang disimpannya rapat di laci dapur dan sebenarnya yang paling membuat hati Athaya remuk adalah sikap Narnia pada putrinya. Narnia pernah tidak datang ke acara sekolah anaknya dan ternyata Narnia berada di rumah itu sedang bersenang-senang. Gintari yang mencoba tersenyum karena bundanya tidak datang itu lebih membuat Athaya pilu. Apalagi pernah di satu waktu,

"Bunda, Tari ikut ya keluar sama bunda,” pinta Gintari yang sedang disuapi olehnya.

Narnia menghela nafas, "Tari bunda mau pergi sama temen-temen bunda."

"Bunda teman-teman Tari yang lain suka diajak kalau main seperti bunda."

Narnia menyimpan sendok yang dipegangnya dan mengusap wajahnya kasar, "tapi kamu kan beda Tari. Bunda harus menurunkan dan menaikkanmu. Bunda .... "

"Bunda malu dengan Tari yang tidak bisa jalan?," tanya Tari sedih menunduk.

Narnia menghela nafas kembali, "Maaf Tari".

Hanya kata itu tapi Athaya yang mendengarnya dari jauh dan juga Gintari yang mendengar langsung dari ibunya, tau kalau memang Narnia malu dengan keadaan fisik Gintari. Hati Athaya sangat terluka, dadanya sesak, lengannya mencengkram pegangan tangga dengan kuat untuk menahan sakit hati yang dirasakannya. Anak yang selalu dibanggakannya dan sangat dia sayangi diperlakukan seperti itu oleh ibunya sendiri.

Dengan berusaha sekuat mungkin, Athaya meredam segala yang dirasakannya. Bertahan untuk beberapa hari lagi sebelum hari jadi istrinya itu, Athaya harus membuktikan pada Narnia kalau pintu maafnya sudah tertutup dan Athaya ingin Narnia tau dia bisa membalaskan itu semua dengan cara halus namun mampu membuatnya sangat menyesal sudah mengkhianati dirinya juga melukai Gintari.

Ya, Athaya hanya perlu bertahan. Dia tidak peduli dengan uang yang terus dihamburkan istrinya itu bahkan rumah besar yang telah dibeli Narnia menggunakan uangnya. Athaya berjanji di atas kepingan kaca yang retak dan sudah membuatnya berdarah tak kasat mata ini, Narnia akan membayar semua itu fan Athaya tidak pernah main-main.

Dulu sebelum menikah, Narnia adalah anak dari seorang pejabat tinggi yang pada waktu itu sedang tersandung kasus korupsi namun mampu menarik perhatian Athaya karena sosoknya yang manis dan terlihat tulus, tapi nyatanya sosok itu hanya topeng belaka. Rendra mengatakan, Narnia sudah seperti ini semenjak satu tahun menikah, usai melahirkan Gintari namun, Narnia menggila akhir-akhir ini karena pasalnya Athaya sangat sibuk tidak pernah mengecek pengeluaran dan perusahaan Athayapun semakin berkembang pesat sehingga membuatnya sangat sibuk. Narnia salah ketika berpikir semuanya sudah aman, mata elang Rendra tidak akan semudah itu meloloskan apa yang aneh dilihatnya.

Flashback Off

Narnia masih terduduk lemas di pinggiran ranjang setelah mendengar semua yang dikatakan suaminya. Athaya pun mendekat, menyentuh pipi istrinya itu. "Selamat ulang tahun. Aku harap kamu bisa mengemasi barangmu Narnia. Bawa saja mobil dan satu set perhiasan itu, tapi tidak untuk yang lain. Termasuk rumah terkutuk itu. Aku akan menjualnya, Bunga," bisik Athaya di akhir dengan dingin dan dalam membuat seluruh bulu kuduk Narnia meremang. Dia baru melihat Athaya seperti ini padanya.

Cepat Narnia menahan Athaya, memeluk lututnya, "aku mohon jangan ceraikan aku Athaya. Bagaimana dengan Gintari?.”

Athaya tersenyum miring, "dia sudah terbiasa tanpamu dan perlu kamu ketahui aku mempunyai bukti jika kamu berselingkuh dan itu artinya hak asuh anak akan jatuh ke tanganku. Jadi, tenang saja kamu bisa bebas dari tanggung jawabmu mengurus Gintari.”

Athaya melepaskan pegangan tangan Narnia di lutunya dengan pandangan tajam. "Pergilah sebelum matahari terbit. Ingat jangan bawa apapun kecuali baju, mobil dan perhiasan tadi. Kamu akan tau akibatnya jika melanggar itu.”

Narnia benar-benar menangis sambil meraung. Tidak menyangka, suaminya yang selalu manis, lembut dan mengabulkan apapun yang dimintanya bersikap seperti itu padanya. Berharap dapat menarik perhatian Athaya setelah semua kebusukkannya diketahui oleh Athaya, dia memukuli dirinya sendiri, menjambak rambutnya dan berteriak, "Athaya maafkan aku". Narnia tidak tau harus bagaimana. Dia tidak sanggup kehilangan kehidupan mewahnya. Teman-teman yang selama ini selalu bersamanya tidak yakin akan tetap bersamanya setelah ATM berjalannya hilang. Pacar brondongnyapun tidak tau akan menampungnya atau tidak.

Athaya yang sudah sangat dingin karena sakitnya pengkhianatan berkata dengan tenang, “Jangan lagi memberikan drama mu itu padaku karena aku sama sekali tidak iba padamu.” Terus berjalan dengan angkuh dan arogan, Athaya keluar dari kamarnya lalu masuk ke kamar putrinya yang bernuansa kuning karena tak ingin berbalik dan kembali terbutakan cinta. Athaya memandang putri semata wayang yang sangat dicintainya itu untuk mendapatkan keteguhan dan kekutan.

Mengecup kepalanya dengan segenap cinta hingga meneteskan air mata lalu berkata dengan lirih, "maafkan ayah Tari. Sekarang kamu kehilangan bundamu."

Malam itupun hati Athaya benar-benar sangat hancur sehingga dia pun memilih pergi keluar dengan mobilnya. Melaju tak tentu arah dengan kecepatan sangat tinggi, membelah jalanan yang sepi dan merasakan dinginnya angin malam yang menusuk seperti hidupnya saat ini.

Lelaki itu menatap pantulan dirinya di cermin panjang yang ada dihadapannya. Mengancingkan lengan kemejanya dengan wajah arogan. Tak terlihat jika hatinya telah remuk redam dan hancur berkeping-keping. Jas abu pun dipakainya dengan tegak. Terbersit dipikirannya dulu sekali. Ya, dulu sekali, waktu istrinya masih terlihat berperan baik sebagai istri. Bagaimana istrinya selalu membantunya memakaikan jas hingga Athaya dulu begitu ingin itu terjadi selamanya?, tapi setelah semua yang terjadi, saat ini Athaya hanya ingin menegakkan kepalanya.

Membuat istrinya sadar bahwa dia telah salah mempermainkan juga menyakiti hatinya dan dipersidangan perceraian pertamanya hari ini, Athaya akan membuktikan itu. Dengan tampilan baru yang lebih segar, lebih mewah dan ketampanan yang semakin terlihat, istrinya akan sangat menyesal. Athaya memang bukan orang yang senang pamer, tapi membalaskan dendam pada istrinya itu akan dia lakukan secara perlahan. Hal pertama yaitu membuat istrinya tercengang atas perubahannya karena saat ini Athaya tau istrinya itu gila harta.

Kamu salah mempermainkanku, Narnia.

**

Di sudut rumah yang lain, Kanaya sedang memeluk kedua lututnya. Merasakan dingin yang menusuk seperti kesunyian dan juga kesepian yang menyiksanya kini dengan rumah dua lantai yang tak lagi dihiasi oleh suara tawa atau suara lelah suaminya yang mengatakan aku pulang. Mario memberinya waktu untuk mencari rumah dan dia sementara waktu tinggal di luar. Luar?, Ya Kanaya tau pasti dimana itu diluar.

Dengan langkah berat, dirinya yang berbalut kemeja putih lengan panjang milik Mario berjalan menuju kamar mandi. Menyalakan air shower di atas kepala yang akhinya mengguyur rambut, kepala dan seluruh tubuhnya. Menangis dalam air yang turun dari atas kepalanya. Menyembunyikan kesedihannya secara apik walau tak ada yang melihatnya. Kanaya akan merasa begitu menyedihkan jika dia menangis secara terang-terangan di tengah rumah yang menjadi saksi kepergiaan suaminya ini. Seakan rumah itu akan menertawakannya jika dia menangis meraung-raung saat ini. Disaat suaminya mungkin saat ini masih bermesraan bersama wanita lain di kantor, tempat mereka bekerja.

Setidaknya kamu jangan terlihat sedih dihadapannya, Kanaya. Jangan terlihat menyedihkan, ucap pada dirinya sendiri. Hingga sudut hatinya berkata, tapi bagaimana caranya agar kamu terlihat tidak menyedihkan jika hatimu sangat terluka saat ini, Kanaya?. Topeng apa yang akan kamu pakai?.

Kanaya sedang duduk di bangku panjang yang ada di depan ruangan persidangannya hari ini. Tak ada yang bermimpi untuk bisa duduk di bangku itu dan merasakan ruangan yang ada dibelakangnya, kecuali mereka si pencari nafkah. Wajahnya yang tenang tak sejalan dengan tangannya yang sudah dingin. Seerat mungkin dia mencengkram ponsel yang ada di genggaman tangannya. Menahan rasa gugup dan takut jika suaminya lebih berani menyakiti hatinya dengan membawa wanita itu hingga dia melihat suaminya yang berjalan sendirian, tak lama disusul laki-laki yang Kanaya tebak adalah pengacaranya. Kanaya berdiri dengan tegak. Menekan segala sakit hatinya untuk tidak terlihat lemah dihadapan suaminya. Dia tidak ingin suaminya itu menatapnya dengan tatapan mengasihani. Sungguh dia tidak menyukai itu dan benar saja pandangan Mario adalah pandangan mengasihaninya. Sungguh Kanaya membenci itu.

"Kamu datang?," tanyanya pelan.

"Tentu," jawab Kanaya singkat lalu berjalan tegak didepan Mario dengan sepatu hak tinggi hitamnya yang beradu dengan lantai dan menimbulkan irama, menutupi hatinya yang menjerit.

Matanya yang terpejam sangat erat menahan rasa pilu karena satu pertanyaan yang ada di benaknya "Benarkah aku akan bercerai padahal pernikahan ini kusangka akan mengisi kekosonganku sampai ajal menjemput?.”

Di gedung yang sama tapi berbeda ruangan, kedatangannya yang terlambat menarik perhatian berbagai pasang mata terutama wanita yang duduk di baris paling depan. Dia memandang tak percaya, suaminya yang biasa tampan tampak berkali-kali lipat lebih tampan, bahkan berkilau dengan barang-barang mewah yang menempel di tubuhnya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Membawa harum parfum mahal yang tercium ke seluruh penjuru ruangan. Duduk di kursi dengan angkuh dan berwibawa kemudian berkata, "Maaf saya telat.”

Sidangnya sudah berakhir, namun Kanaya masih duduk diam membiarkan Mario keluar terlebih dahulu. Baru setelah Mario keluar dia segera keluar dengan jalan tegak. Tak memperlihatkan hatinya yang benar-benar sudah hancur lebur, hingga dia menyerah dengan harga dirinya sendiri. Berlari ke toilet untuk menangis, tapi saat di lorong, dia mematung. Melihat lelaki yang sudah dikenalnya berbicara dengan genggaman ponsel di tangannya sambil berkata, "Lana aku sudah melewati sidang pertamaku. Apakah aku melakukan hal yang benar?, kulihat dia terluka."

" …. ”

"Maaf aku membuatmu sedih sepertinya. Aku sungguh tidak tau, jujur saja aku menyanyanginya dia tinggal bersamaku sudah beberapa tahun"

" .... "

"Ya, terima kasih. Tolong katakan pada Putri, aku akan menjemputnya disekolah/"

Putri?, apa maksudnya?, Lana adalah seorang janda beranak satu?, batin Kanaya bertanya sendiri. Kanaya memegangi tembok saat merasa tubuhnya akan limbung karena terkejut dengan berbagai kejutan yang suaminya berikan akhir-akhir ini. Tak disangka sesudah menutup teleponnya, Mario berbalik.

"Kanaya,” panggilnya langsung ketika melihat Kanaya yang linglung tak jauh darinya.

Kanaya melangkah mundur dengan pandangan lurus kedepan, tak ingin Mario melihat dan menyadari sesuatu hingga dia pun hampir menabrak pot yang ada dibelakangnya karena tidak melihat.

"Kanaya," panggil Mario lagi dengan tangan yang mengulur.

“Aku mohon pergilah,” usir Kanaya membuat langkahMario terhenti dan hanya melihatnya.

Kanaya pun hanya terus mundur, sudah tidak peduli lagi dengan semuanya. Dia hanya menolak apa yang di dengarkannya tadi dengan menggeleng-gelengkan kepalanya berulang, sambil berujar, "aku tidak mendengarkan apapun.”

Ketika Mario sudah tidak terlihat, Kanaya berbalik dan berjalan dengan cepat. Berjalan terus menerus menggunakan hak tinggi yang terasa sulit hingga akhirnya kaki Kanaya benar-benar lemas dan tak mampu lagi berjalan. Duduk di bangku panjang yang kosong di sebuah lorong sepi dan agak gelap. Mengikuti apa kata tubuhnya. Tidak memaksakannya seperti tadi. Tangisnya pun sudah tidak bisa ditahan lagi. Mengalir dengan sendirinya begitu deras hingga suara seorang masuk ke gendang telinganya.

“Anda sepertinya melalui hal yang serupa dengan yang saya alami,” ucap pria yang dilihat Kanaya berkemeja abu itu.

“Hah?,” tanyanya yang masih belum mengerti.

Pria itu menggeleng. “Sudah lupakan saja.” Dia berdiri dengan arogan dan meninggalkan Kanaya sendiri.

Kanaya yang merasa sudah pusing dengan hidupnya, tidak mengambil pusing. Dia kembali dengan sedihnya, kesepiannya dan kegelapannya. Hanya sendiri. Dia sudah gagal tapi dia ingin bangkit membalas apa yang suaminya lakukan tapi Kanaya tidak tau caranya. Hatinya saja masih patah, lalu bagaimana caranya dia bangkit dan membuat suaminya merasakan apa yang kini dia rasakan?.

**

Kanaya menjalani sidang perceraiannya dengan hati yang hancur berkeping-keping. Dia sudah tidak tau lagi apa yang tersisa dari semua ini?. Tidak ada kebahagiaan sama sekali. Malas rasanya menjalani siding persidangannya, tapi dia tau dia harus melewati itu semua dan saat persidangan berikutnya, diri Kanaya begitu terhempas. Suaminya datang didampingi oleh wanita itu. Wanita yang dia lihat berkimono saat malam hari bersama suaminya, Lana. Suami yang akan menyandang status sebagai mantan suaminya itu berjalan dengan agak salah tingkah didepan Kanaya, tapi beda halnya dengan waniita itu. Dia memang tidak menunjukan wajah antagonis seperti dalam serial Indonesia. Wajahnya sangat datar, tidak memperlihatkan raut bersalah, seperti dia memang kesini sedang menemani temannya melewati sebuah tahapan hidup yang sulit.

Kanayapun akhirnya berdiri tegak memasuki ruang persidangan dengan hati yang sudah remuk tak bersisa. Sementara kaki dan tubuhnya dipaksakan kuat untuk menunjukan pada Mario dan Lana bahwa dia kuat, tapi ternyata tangan dan kakinya terasa bergemetar ketika Kanaya duduk. Berulang kali, dia meremas tangannya agar tidak terlihat dan berkurang, tapi nyatanya percuma karena memang Kanaya sebenarnya tidak kuat menghadapi semua ini sendiri.

Menungu persidangan yang lama, Kanaya melihat wanita bernama Lana itu. Hal pertama yang terlintas adalah Lana sangat jauh berbeda dengannya. Berdandan sangat fashionable. Memakai perhiasan yang cantik dan make up yang menggoda. Tak lupa barang yang menempel di tubuhnya adalah barang-barang bermerek. Jauh berbeda sekali dengannya. Dandanan sederhana dengan dress dibawah lutut berwarna putih gading dan blazer serta flat shoes juga make up natural yang terpoles diwajahnya.

Melihat perbedaan itu, membuat Kanaya tidak sanggup terlalu lama melihatnya. Ada perasaan kalah yang sangat luar biasa membuatnya sedih dan memukulnya begitu keras. Perasaan dimana dia mengakui kenapa suaminya bisa sampai berselingkuh dengan wanita itu.

Keluar pertama tanpa menoleh menjadi pilihan Kanaya saat sidang selesai. Cukup sudah dia menyiksa hatinya sendiri, dia butuh ruang dan udara. Bangku kosong itu pun menjadi pilihannya lagi. Duduk dengan pandangan kosong tanpa air mata, menjerit dalam hati, merutuki dirinya sendiri. Betapa sebagai seorang istri dan wanita Kanaya begitu sangat kurang. Tidak bisa memberikan penampilan yang diinginkan suaminya. Tidak bisa membuat suaminya bangga dan tidak bisa menghadirkan mahluk kecil diantara mereka. Memang bukan kesalahan Kanaya, tapi dia merasa bersalah atas itu semua.

"Mau mendengar ceritaku?," tiba-tiba tanya seorang lelaki yang Kanaya masih ingat. Lelaki yang melihat dan mendengarnya menangis saat persidangan perceraian pertama. Lelaki itu kini memakai kemeja biru. Duduk disisinya dan tanpa persetujuannya, laki-laki itu mulai menceritakan kisah rumah tangganya yang harmonis namun dibalik itu ternyata ada sebuah batu besar yang disembunyikan sebegitu lihai dan rapat oleh istri dari lelaki itu.

Dalam hati, Kanaya bersuara "Ternyata aku tidak sendiri.” Satu suara dalam hatinya itu memang pendek tapi sangat berarti bagi Kanaya.

Kanaya semakin larut dalam cerita laki-laki berkemeja biru, sampai tidak sadar jika dia sudah memandangi lelaki itu sebegitu lama. Lelaki yang bercerita dengan angkuh dan arogan namun Kanaya tau hatinya sama hancur dan patahnya seperti dia.

"Mungkin kamu bisa belajar dari kisah saya," ucap lelaki itu pada akhirnya lalu pergi tanpa pamit kepada Kanaya. Berjalan tegak dengan setelannya yang mahal dari ujung kepala hingga ujung kaki.  Kanaya memandangnya hingga hilang dan tanpa sadar senyum Kanaya untuk pertama kalinya setelah segala yang terjadi pun terbit. Melengkung dengan sederhana namun manis. "Terima kasih. Ceritamu membuatku merasa tidak sendiri.”

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel