Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2 : DUA ORANG MISTERIUS

Hujan masih saja turun meski tidak sederas sore tadi. Nesia hanya duduk diam di jok depan, samping Vino yang sedang mengemudi dengan gelisah dan wajah penuh rasa bersalah. Sejujurnya Vino merasa tak enak hati karena ucapan ibunya yang begitu pedas pada Nesia. Tapi Vino juga tak bisa menyalahkan ibunya yang memang selalu memasang targetnya dengan tinggi.

“Andai saja kamu tidak mengatakan bahwa kamu berasal dari panti asuhan, mungkin semua tidak akan berakhir seperti ini, Nes,” ujar Vino dengan suara rendah.

Nesia terdiam. Sakit hati yang dirasakannya malah membuatnya tak bisa menangis. Hatinya kosong.

“Setidaknya aku ingin sebuah hubungan yang tidak dimulai dengan kebohongan, Bang.” Nesia menjawab dengan datar. Tatapan matanya kosong menatap jalanan yang basah dan menguapkan aroma anyir.

“Setidaknya kita bisa sedikit punya waktu untuk menjelaskan pelan-pelan sama ibu,” ujar Vino lagi, seolah menyalahkan kejujuran Nesia.

Nesia menghembuskan napas berat.

“Mungkin memang seharusnya seperti ini, Bang. Kita tidak seharusnya bersama,” ujar Nesia menoleh sekilas pada Vino yang sedang menyetir.

“Nes? Apa maksudmu?” tanya Vino panik.

Nesia menoleh, menatap Vino. Saat ini mobil Vino sudah berhenti di halaman depan kontrakan Nesia.

“Mungkin putus adalah jalan terbaik untuk kita tempuh, Bang,” ujar Nesia dengan suara lirih. Terdengar jelas getaran dalam nada suaranya.

“Nes? Semudah itu kamu bilang putus? Setelah sekian waktu kita bersama?” tanya Vino dengan suara tinggi.

“Tapi keluarga Abang tidak bisa menerima saya.” Nesia menjawab jelas.

“Dan kamu menyerah?” tanya Vino geram.

“Ini bukan soal menyerah atau tetap melangkah. Saya tahu diri untuk tidak terlalu tinggi menggantungkan mimpi, Bang. Saya juga tak mau keberadaan saya mempersulit kehidupan Abang,” ujar Nesia lebih lanjut.

“Tapi kita bisa menghadapi kesulitan ini bersama jika kita mau, Nes?” ujar Vino seakan tak ingin menerima keputusan Nesia.

“Abang pikir aku mau menyerah? Tidak, Bang. Aku juga ingin menjalin hubungan dengan orang yang aku sayangi. Tapi aku juga tak mau menjalin hubungan dengan kebohingan mengenai asal usulku.” Air mata Nesia mulai merebak tak bisa dicegah.

“Nes, Abang minta maaf jika kalimat ibu menyakiti hatimu. Tapi tolong mengertilah, ibu melakukan semua itu karena beliau menyayangi Abang. Beliau ingin yang terbaik buat Abang,” Vino mencoba menengahi ketidakcocokan antara Nesia dengan ibunya.

“Dan yang jelas saya bukan perempuan yang terbaik untuk Abang. Apakah benar seperti itu?” tanya Nesia meatap tajam mata Vino dengan air mata yang mulai mengalir.

Vino menggeleng tegas dan bingung bagaimana menjelaskannya pada Nesia bahwa bukan itu maksud kalimat yang diucapkannya.

“Bukan seperti itu, Nes. Please, jangan salah paham! Abang rasa setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Ibu bersikap seperti itu karena ibu belum mengenal kamu dengan baik, Nes. Kamu juga belum mengenal ibu dengan baik. Jadi Abang rasa ini hanya sebuah kesalahpahaman karena kalian belum saling mengenal dengan baik,” Vino mencoba menjelaskan dengan baik agar Nesia tidak salah paham. Bagaimanapiun, Vino terlanjur menyayangi Nesia karena dia tahu siapa dan bagaimana Nesia.

“Tapi bagaimana saya bisa mengenal ibu dengan baik kalau beliau sudah begitu defensif sama saya, Bang?” tanya Nesia menatap Vino.

Vino diam.

“Apakah kamu tidak bisa bersabar menunggu waktu yang tepat, Nes?” tanya Vino dengan suara memohon.

“Ini bukan masalah kesabaran, Bang. Ini tentang sebuah penerimaan. Apalagi ibu sudah bilang, kan, sampai kapanpun tak akan menerima saya sebagai menantunya?” tanya Nesia dengan pasrah.

“Tapi kita masih tetap bisa berusaha, Nes. Abang sayang sama kamu. Abang nggak mau kehilangan kamu, Nes. Kita sudah menjalin hubungan lama. Apa kamu mau semuanya berakhir begitu saja tanpa perjuangan?” tanya Vino.

“Tapi perjuangan kita tidak mudah, Bang. Dan mungkin saya tak akan sanggup,” ujar Nesia.

“Kamu menyerah?” tanya Vino putus asa.

“Apakah saya punya pilihan lain selain mundur?” tanya Nesia.

Vino diam.

***

“Lho, Nes? Kok tumben berangkatnya pagi banget?” tanya Tita ketika pagi ini dia melihat Nesia sudah siap berangkat bekerja.

Nesia dan Tita memang tinggal di kontrakan yang sama bersama dengan para penghuni yang lain.

“Iya, Ta. Hari ini ada pernikahan di gedung Martha. Kami harus mempersiapkan lebih baik karena ini pernikahan orang kaya dengan seorang model kabarnya,” jawab Nesia.

Padahal Nesia jelas berbohong mengapa harus berangkat pagi. Meski tidak semuanya bohong karena hari ini memang ada pernikahan di gedung tempat Nesia bekerja. Dan Nesia sebagai karyawan tidak tetap gedung itu juga harus berperan aktif di dalam persiapannya.

“Berangkat sendiri? Biasanya dijemput Vino?” tanya Tita.

“Nggak, Ta. Aku buru-buru,” jawab Nesia yang langsung keluar dari tempat kostnya menuju ke jalan raya untuk mencari angkot yang akan membawanya menuju ke gedung Martha Hall.

Sampai di Martha Hall, suasana sudah sangat ramai, meski perhelatan dilakukan nanti siang. Berbagai macam bunga papan ucapan selamat terpajang di depan gedung dan sepanjang jalan menuju arah gedung. Bunga-bunga dan hiasan mewah lainnya sudah terpasang rapi sejak semalam. Kursi juga tersusun rapi sebagai antisipasi karena di dalam gedung sudah tersedia banyak kursi yang rapi.

“Remy dan Dona? Namanya bagus,” gumam Nesia begitu dia turun dari angkot dan berjalan menyusuri jalan ke arah Martha Hall.

Sekilas lalu Nesia juga melihat foto prewedding yang dipajang di beberapa tempat. Dalam hati Nesia mengagumi kecantikan si calon pengantin. Lalu matanya beralih menatap calon pengantin laki-lakinya. Dan Nesia tak heran melihat kalau pengantin perempuannya secantik itu, karena pengantin laki-lakinya juga sangat mempesona.

“Nes, ayo buruan. Nanti Bu Nita marah kalau kita tidak gesit bekerja,” ujar seseorang yang tiba-tiba menyeret tangan Nesia untuk segera memasuki sisi gedung untuk ikut mempersiapkan segala sesuatunya.

“Memangnya bu Nita sudah datang, Nur?” tanya Nesia pada Nurma, teman satu profesi dengannya.

“Sudah sejak subuh tadi beliau sampai di sini,” jawab Nurma.

“Sejak subuh?” tanya Nesia dengan langkah bergegas.

“Ya, makanya kita harus segera bergabung dengan mereka atau kita akan dipecat karena tidak bekerja dengan gesit. Tahu, kan? Bu Nita ingin semuanya berjalan sempurna?” ujar Nurma.

Dan benar saja, begitu mereka tiba di sana, ternyata sudah banyak karyawan Martha Hall yang sudah datang dan memulai pekerjaannya. Sebagai pemilik gedung sekaligus wedding organizer, bu Nita sudah memiliki reputasi bagus dalam melayani klien. Apalagi beberapa waktu lalu, saat briefing, beliau sudah bilang bahwa ini perhelatan istimewa. Makanya semua harus dipersiapkan dengan istimewa.

Setelah meletakkan tas tangannya di kapstok miliknya, Nesia segera bergabung dengan karywawan yang lain untuk mempersiapkan perhelatan hari ini.

“Mereka yang bahagia, tapi kita yang repot, ya, Nur,” bisik Nesia berbisik pada Nurma dengan senyum geli.

“Itu enaknya jadi orang kaya, Nes.” Nurma menjawab santai kemudian ikut bekerja.

“Kita kapan kaya, ya, Nur?” tanya Nesia iseng.

“Mari bermimpi, Nes,” jawab Nurma dengan senyum geli.

Kesibukan terus berlangsung hingga siang dan semuanya selesai. Tamu undangan sepertinya sudah mulai memadati ruangan. Sebelum acara besar dimulai, seluruh karyawan disuruh untuk makan siang dulu karena ketika acara dimulai maka semua akan semakin sibuk.

“Aku ke belakang sebentar, ya. Nur. Kamu makan saja dulu,” ujar Nesia pamit pada Nurma untuk ke belakang.

“Jangan lama-lama. Waktu makan siang kita terbatas,” pesan Nurma.

Nesia mengangguk dan bergegas ke belakang. Setelah usai, dia keluar hendak makan dengan yang lain. Namun, dua orang laki-laki dengan pakaian safari dan menggunakan masker yang menutupi wajah mereka tiba-tiba mencekal Nesia membuat gadis itu panik.

“Pak, apa-apaan ini?” protes Nesia.

“Sebaiknya Anda ikut dengan kami, atau kami akan membunuh Anda di sini?” ancam salah seorang diantara mereka.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel