Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

1 : PENOLAKAN MENYAKITKAN

Senja ini hujan tiada berhenti. Semenjak pulang dari Martha Hall, Nesia memilih untuk berdiam diri di rumah sambil bersiap diri untuk menunggu kedatangan Vino dengan sedikit rasa khawatir karena hujan masih saja turun meski tidak begitu deras.

Yang membuat Nesia khawatir adalah karena malam ini Vino berniat mengajak Nesia ke rumahnya untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Memperkenalkan bahwa Nesia adalah kekasihnya.

“Bang, tapi aku khawatir jika harus ke rumahmu,” kata Nesia tadi pagi dengan nada keberatan ketika Vino mengutarakan niatnya. Ketika itu, Vino sedang menjemput kemudian mengantar Nesia menuju ke tempat kerjanya sebagai pegawai kebersihan di Martha Hall.

“Nes, apa yang membuatmu khawatir?” tanya Vino sedikit tersenyum.

“Aku belum siap jika mereka tidak menerima kehadiranku. Abang tahu, kan, siapa aku dan bagaimana latar belakangku?” tanya Nesia penuh permohonan.

Vino tersenyum.

“Abang tahu. Dan kamu juga tahu, kan, bahwa Abang tak pernah mempermasalahkan apapun mengenai semua itu?” tanya Vino menatap Nesia, mencoba meyakinkan gadis itu bahwa hubungan mereka akan baik-baik saja.

“Aku tahu Abang bisa menerima semuanya. Tapi bagaimana dengan mereka? Bagaimana dengan keluarga Abang?” tanya Nesia.

Vino terdiam sesaat.

“Tapi kita tidak bisa selamanya berhubungan sembunyi-sembunyi seperti ini, kan, Nes? Cepat atau lambat kita harus memberitahu ayah sama ibu bahwa Abang sudah punya gadis yang Abang cintai dan mencintai Abang. Kamu tahu, aku ingin kita segera menikah agar kamu tidak bekerja lagi di sini,” ujar Vino.

Nesia terkejut.

“Apakah menurut Abang pekerjaanku ini hina?” tanya Nesia dengan hati-hati.

“Tidak! Tentu saja tidak begitu. Hanya saja bekerja di sini terlalu berat untukmu. Nanti, setelah kita menikah, Abang tidak akan membiarkanmu berada di sini lagi. Tugas kamu hanya mengurus rumah dan Abang. Selebihnya, biarkan semua tanggung jawab mencari uang ada di tangan Abang.” Vino memberikan harapan besar pada Nesia.

Nesia tersenyum mendengar kalimat yang diucapkan oleh Vino. Kemudian gadis itu mengangguk setuju dengan ajakan Vino untuk menemui orang tuanya.

Namun hingga senja sudah mulai habis dan hari berganti malam, hujan tak juga reda. Pun dengan Vino yang berjanji akan datang, sudah setengah jam berlalu namun laki-laki itu tidak juga menampakkan batang hidungnya.

“Nungguin siapa, Nes?” tanya Tita ketika melihat Nesia duduk dengan gelisah di ruang tamu rumah kontrakan itu.

Nesia tersenyum.

“Nungguin Vino. Kamu tumben pulang lambat, Ta?” tanya Nesia untuk menutupi hatinya yang resah.

Tita tersenyum.

“Iya, tadi ada nyonya Sandra dan bu Dina yang tiba-tiba datang mengajak makan siang,” jawab Tita kemudian meletakkan sepatu kerjanya di rak sepatu.

“Nyonya Sandra? Siapa dia?” tanya Nesia.

“Tantenya bu Dina. Aku masuk dulu, ya?” ujar Tita yang kemudian masuk ke kamarnya yang terletak di bagian belakang.

Nesia kembali gelisah sendirian menunggu hujan reda. Hingga sepuluh menit kemudian, ketika Nesia hampir menyerah menunggu kedatangan Vino, sebuah mobil terlihat memasuki halaman kontrakan ini.

Nesia masih menunggu dan senyumnya tersungging ketika melihat bahwa yang datang adalah Vino, lelaki yang menjalin hubungan dengannya selama dua tahun belakangan ini.

“Maaf, Nes. Hujannya nggak reda-reda, jadi Abang terlambat,” ujar Vino ketika dia tiba di hadapan Nesia yang menyambutnya dengan wajah penuh rasa menyesal karena membuat Vino seperti ini.

“Seharusnya Abang tidak perlu nekat seperti ini kalau hujan. Kan bisa lain hari,” ujar Nesia dengan sabar sambil mengulurkan handuk yang tadi diambilnya begitu Vino tiba.

Lelaki muda itu menerima handuk itu untuk mengeringkan rambutnya yang sedikit basah.

“Nggak apa-apa. Abang sudah janji sama kamu, jadi Abang harus menepatinya. Lagian Abang tak mau menunda lagi,” kata Vino yang menyerahkan kembali handuk kecil itu pada Nesia.

“Nanti kalau Abang sakit bagaimana?” tanya Nesia lagi.

Vino tersenyum. “Laki-laki tidak apa-apa kalau sakit. Kita berangkat sekarang?” tanya Vino yang dijawab dengan anggukan oleh Nesia.

Keduanya berangkat ke rumah Vino meski hujan belum juga reda. Sepanjang perjalanan, Nesia lebih banyak diam. Pikirannya berkecamuk oleh banyak hal yang mengganggu pikirannya. Bahkan beberapa pertanyaan Vino tidak dia jawab karena dia sedang melamun.

Jantung Nesia yang sejak tadi tidak tenang, kini semakin berdegup semakin kencang ketika mobil yang dikendarai Vino memasuki halaman rumah Vino yang cukup besar. Ketika hendak turun, Nesia ragu. Dia takut akan ditolak oleh keluarga Vino meskipun laki-laki itu berusaha meyakinkan dirinya bahwa keluarganya pasti akan baik-baik saja dengan keadaannya.

“Masuk, yuk!” ajak Vino mengulurkan tangannya pada Nesia.

Sejenak, Nesia ragu. Namun, beberapa saat kemudian dia menyambut uluran tangan Vino dan mengikuti langkah lelaki itu memasuki rumahnya.

“Tunggu di sini sebentar, ya?” kata Vino menyuruh Nesia menunggu di ruang tamu kemudian dia masuk, mungkin mencari orang tuanya.

Benar saja, tak berapa lama kemudian Vino datang lagi. Kali ini dengan seorang perempuan setengah baya yang berwajah kurang ramah. Bahkan menatap Nesia dengan sorot mata meneliti. Seketika Nesia berdiri dan mengangguk pada perempuan itu dengan senyum yang disetel ramah.

“Kenalin, Bu. Ini Nesia, teman dekatku yang kemarin aku bilang sama Ibu. Dan Nes, ini ibuku,” Vino memperkenalkan kedua perempuan itu.

“Selamat malam, Tante,” ucap Nesia mengangguk dan mengulurkan tangannya hendak meminta menjabat tangan ibunya Vino.

Namun naas, uluran tangan Nesia sama sekali tidak bersambut. Perempuan itu membiarkan tangan Nesia menggantung, sehingga Nesia menjadi canggung dan menarik kembali tangannya dengan malu. Sementara Vino yang melihat kecanggungan ini segera mendekati Nesia dan mengajaknya duduk.

“Jadi kamu yang namanya Nesia?” seorang perempuan dengan pakaian yang cukup rapi, menatap Nesia yang menunduk dengan canggung karena merasa diintimidasi.

Nesia mengangguk dengan jantung yang menggelepar tak karuan.

“Orang tuamu berasal dari mana? Atau sedang bekerja di mana? Perusahaan? Memiliki usaha sendiri? Atau … mungkin orang biasa atau malah seorang buruh?” tanya bu Tuti, perempuan yang sejak tadi mengintimidasi Nesia itu dengan sinis.

“Bu, mengapa bertanya seperti itu?” tanya Vino, laki-laki yang duduk di dekat Nesia dengan canggung juga.

“Vin, apa ibu salah bertanya? Selama ini kamu selalu memujinya bahwa dia perempuan yang cantik dan berbudi pekerti, kan?” bu Tuti menatap tajam mata Vino.

“Tapi, Bu?” Vino hendak mencegah kalimat selanjutnya.

“Saya yatim piatu, Bu,” kata Nesia mendongak, menatap mata bu Tuti dengan keberanian yang mengejutkan.

Jangankan bu Tuti, bahkan Vino juga terkejut mendengar jawaban spontan Nesia yang diucapkan tanpa ragu sama sekali itu.

“Nes?” seru Vino menatap Nesia.

“Yatim piatu?” tanya bu Tuti dengan mata melebar.

Nesia mengangguk.

“Ya, saya yatim piatu yang sejak kecil tinggal di panti asuhan.” Nesia menjawab dengan tegas dan penuh rasa percaya diri.

“Nes?” Vino kembali berseru hendak mencegah Nesia bicara lebih lanjut.

Gadis itu menoleh, menatap Vino dengan senyum yang menyejukkan, membuat Vino langsung diserang rasa bersalah yang luar biasa.

“Tidak apa-apa, Bang. Aku tidak ingin berbohong karena sesuatu yang dimulai dengan kebohongan tidak akan berlangsung baik,” kata Nesia dengan lembut.

Bu Tuti mencibir kalimat Nesia.

“Vin? Jadi ini perempuan yang selalu kamu bilang cantik dan baik itu? Yang ternyata tidak lebih dari seorang anak yatim piatu yang tidak jelas asal usulnya?” tanya bu Tuti dengan sinis.

“Bu? Tapi Nesia baik,” sergah Vino.

“Memangnya kenapa kalau dia baik? Kamu keberatan dengan omongan Ibu? Dengar, ya, Vin. Sekali-sekali Ibu tidak akan pernah menerima perempuan yang tak jelas asal usulnya ini sebagai menantu Ibu. Titik!” tegas bu Tuti kemudian bergegas masuk kembali ke dalam, meninggalkan Vino dan Nesia yang terhempas seketika oleh penghinaan bu Tuti.

Ya, ketakutan Nesia selama ini menjadi kenyataan. Pikiran Nesia seketika kosong, seolah kehilangan orientasinya.

“Nes? Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Vino ketika dilihatnya Nesia termangu.

Gadis itu masih terdiam.

“Nes? Jawab Abang, Nes!”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel