Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

TRANDING TOPIK

"Sayang....aku bawa kabar gembira....!"

"Wong edan, coba masuk apartemen dulu baru cerita", gerutu Diki.

"Sayang, coba kamu liat,"dari jauh Kim berseru memanggil manggil nama Diki.

"Sayang....aku bawa kabar gembira....!"

Kim menunjukkan postingan di Twitter.

"Pendekar silat Indonesia meringkus empat penjahat dengan tenaga dalam." tulis Twitter lokal.

"Coba liat, berapa ribu view."

Diki dingin saja menanggapi.

"Cepat atau lambat kamu dicari producer film Korea."

"Nggak usah berkhayal terlalu tinggi, kalau jatuh bonyok," kata Diki.

Diki termenung. Dari mana mereka dapat Vidio rekaman itu, perasaan saat mereka berdua dihadang pemalak tidak ada seorang pun tau kecuali polisi dari distrik setempat.

"Di lorong blok itu terpasang 12 kamera cctv milik warga.Empat kamera merekam aksi kita," Kim menjelaskan.

"Tapi kenapa ulasannya bukan kita berdua yang diekspos."

"Kamu kan spesifik sayang, bukan warga sini. Lagi pula gerakan kamu itu unik. Itu yang menarik perhatian mereka."

*****

Malamnya, Diki menyampaikan pesan Jono apakah pagar keliling rumahnya di jogya mau dibuat permanen atau sementara pake kawat berduri.

"Uangnya masih ada kan?" tanya Kim.

"Masih 387 ribu dollar."

"Dibuat permanen aja kalau gitu, tapi jangan terlalu tinggi merusak pemandangan disekitarnya," kata Kim.

Diki nelpon Jono menyampaikan instruksi dari Kim.

"Bibi tadi Vidio call," ujar Diki setelah ia telpon Jono.

"Apa katanya?"

"Kenapa dia nggak diajak...."

"Iya, kenapa bibi nggak diajak?"

Diki garuk garuk kepala.

"Salah lagi. Kupikir kalau ngajak dia ada yang cemburu."

"Siapa yang cemburu?"

"Itu, orang sana yang pake Harley Davidson."

Kim yang baru saja buka pakaian dinas dan belum sempat ganti pakaian rumah, menerjang Diki, menggumulnya diatas sofa hingga terengah engah.

"Sudah,sudah. Aku mau masak," kata Diki.

Kim terkulai lemas di pangkuan Diki hanya mengenakan pakaian dalam. Tiba tiba mata Kim berlinang.

"Aku ingat papa dan mama..." kata Kim terisak.

"Sebenarnya kita tidak punya hak untuk merasa kehilangan, karena hakekatnya kita ini tidak punya siapa siapa. Papa, mama, aku dan yang lain itu mutlak punya Allah. Papa dan mama dipertemukan kemudian kamu ada. Itu semua atas kehendak Allah."

"Agamamu mengajarkan begitu?"

"Itu bagian kecil. Aku tidak tau banyak tentang keyakinan leluhurmu. Atau aliran yang banyak dipakai leluhurmu yaitu Taoisme. Setahuku di dunia ini ada empat ajaran yang datang dari Allah. Dan kitab terakhir merupakan penyempurna dari kitab kitab terdahulu. Semua ada disitu."

Kim termenung. Memang, hakekatnya kita ini tidak punya apa apa dan siapa siapa.

Menjelang senja,Kim membakar dupa dan ditaruhnya dialtar kecil. Disitu ada beraneka buah buahan, minuman dan lain sebagainya. Dilatar belakang tergantung foto papa dan mamanya.

Diki tidak protes meski pun itu bertentangan dengan keyakinannya. Ia tetap berpegang pada prinsip, lakum dinukum waliyadin.

Sepulang dari sarapan di warung Padang dekat jembatan tadi, Diki singgah di mini market beli kentang, wortel, brokoli, dan rempah kemasan. Daging sapi new Zealand sekilo.

"Makan yuk, sop Jawa sudah siap," kata Diki seraya merengkuh bahu Kim dan menuntunnya dari teras samping keruang makan. Kim melingkarkan tangannya di pinggang Diki.

Kim membuka tutup mangkuk kristal tempat sop, mencicipi dengan sendok.

"Hmm....delicious. Aku belum pernah mencicipi sop sedap seperti ini. Kamu jago masak juga rupanya "

"Aku kalau buat sop tidak seenak ini."

"Dengerin, bumbunya bawang putih, merica digiling, kemudian disangrai dan masukkan dalam sayur. Terakhir. Ini resep rahasianya."

Diki tidak melanjutkan membuat Kim menunggu penasaran. Ia berharap bumbu terakhir itu ada disini.

"Apa bumbu terakhirnya....." rengek Kim.

"Bukan bumbu, tapi perasaan cinta."

Kim manyun. Menghentak hentakkan kaki dilantai seperti anak kecil marah karena diledekin.

"Awas nanti malam," ancam Kim.

"Waduh, bisa copot lutut ku kalau sebulan aja disini,"seloroh Diki.

"Biarin !"

Usai makan mereka bercengkerama di teras samping memandang kota Seoul diwaktu malam. Di ujung sana dekat pelabuhan, tampak bianglala berputar dihiasi lampu lampu beraneka warna.

Kim duduk menyandarkan kepala didada Diki. Bagi mereka, ini lebih dari sekedar bulan madu. Sesekali Diki mencium lambut Kim yang harum. Entah shampo apa yang ia pakai, yang jelas bukan shampo sunset seribuan.

"Mungkin kamu benar kalau aku harus mengikhlaskan semuanya karena papa dan mama diambil pemiliknya."

"Ya, harus begitu."

Kim tersenyum mengenang minggu pagi saat musibah itu terjadi yang merenggut nyawa papa dan mamanya.

"Itu pertama kali kami mau ke Busan demi aku yang ingin melihat lihat kota itu."

"Separah apa kecelakaan itu hingga papa dan mama tewas?"

"Aku tidak ingat pasti,"

"Kemudian kamu diasuh oleh pemerintah kota, tinggal di panti asuhan?"

"Betul. Selama SD aku jadi obyek bullying karena aku etnis cina. Gemuk, mata sipit. Tapi aku tidak pernah menangis. Semua kulalui dengan tegar."

Diki mengusap usap rambut kim dan sesekali mencium pipinya.

"Masa SMA, aku mulai tertekan."

"Karena bullying?"

"Bukan. Waktu SMA kungfu aku sudah lumayan matang. Aku bahkan ditakuti."

"Jadi apa yang membuatmu tertekan?"

Kim malu. Menyusupkan kepala di pangkuan Diki.

"Kenapa malu, katakan. Bukankah tidak ada lagi yang berani membully kamu," kata Diki seraya mengangkat wajah Kim.

"Aku sedih karena tidak bisa seperti teman teman cewek. Setiap malam minggu mereka kencan dengan pacarnya. Pesta dansa dan sebagainya. Tapi kemudian aku sadar. Tau diri. Cowok mana yang mau kencan sama cewek gendut dan sipit seperti aku ini. Menginjak kelas tiga SMA berat badanku berangsur angsur turun drastis dan akhirnya ideal. Mataku pun tidak sipit seperti dulu lagi."

"Itu hikmahnya kamu tertekan."

"Tapi tetap saja tidak ada cowok yang mau sama aku. Baik cowok sesama etnis apalagi cowok lokal. Lulus SMA ada tawaran masuk akademi militer bagi anak anak penghuni panti asuhan, aku tidak pikir panjang, kuambil tawaran itu."

"Dan kamu punya pacar."

"Tidak juga. Justru sejak aku pendidikan sampai bertugas, aku hampir tidak pernah dekat dengan cowok. Satu satunya sahabat dekatku adalah Norman."

"Jadi aku adalah......"

"Ya. Kamu adalah cinta pertamaku Diki."

Diki menyesal telah berburuk sangka pada Kim selama ini.

"Kenapa sayang, kok kamu yang menangis?"

"Nggak apa apa."

Diki bangkit, merengkuh pinggang Kim membawanya masuk. Sementara angin laut mulai berhembus kencang membelai apa saja yang ia lalui.

Kim lupa akan ancamannya saat makan malam tadi karena situasi tidak menguntungkan. Diki tampak sedih setelah Kim cerita panjang tentang perjalanan hidup Kim yang keras dan dramatis.

Baru saja mereka berbaring untuk istirahat, telepon Kim berdering. Ia pikir Norman, curhat lagi soal pacarnya.Ternyata bukan. Telpon dari management Golden production house.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel