Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Seribu Kurang Seratus

Bab 3 Seribu Kurang Seratus

"About her that is different, about her who always succeeds to make me smile."

- Eza Harudi -

Jam masuk kelas tinggal beberapa menit lagi. Belum juga Eza sampai ke kelasnya, beberapa siswi datang mencegat. Dilihat dari satu garis di dasi mereka, nampaknya anak-anak kelas satu. Belakangan mereka sering berkerumun dan membicarakan Eza. Bisik-bisik tapi berisik, diam-diam tapi jelas.

Bila diingat-ingat hal itu dimulai ketika masa orientasi siswa selesai. Sebagai ketua OSIS ia mendapat banyak sorotan. Padahal Eza tidak melakukan apapun. Tidak berakting marah saat peserta didik tidak membawa salah satu persyaratan. Tidak menebar senyum saat adik-adik kelasnya menyapa. 'Pagi kakak!' Tidak. Ia benar-benar hanya diam. Tapi dengan itu saja Eza bisa terkenal. Wajah tampannya adalah pesona yang mutlak.

"Kak, kita mau masuk OSIS, pendaftarannya masih dibuka, kan?" seorang gadis berponi mendominasi empat siswi yang sekarang mengerubungi Eza.

"Masih sampai sabtu ini," jawaban seadanya.

"Ini kak, formulirnya kasih ke kakak aja, kan?"

"Formulir dikumpulkan di sekretariat, ya!"

"Kalau titip di kakak aja, boleh kan? Boleh ya?"

Eza mendengus seraya mengangkat salah satu alisnya. "Ya udah, mana formulirnya?"

"Oh ya kak? Ada nomor yang bisa dihubungi ga, kali aja ada hal yang mau ditanyakan tentang OSIS, gitu!"

"Kamu bisa hubungi nomor contact person yang tertera di pamflet OSIS." Hal macam ini bukan satu-dua dia alami, sering, tapi Eza menanggapinya dingin.

"Udah ya, aku ke kelas dulu, permisi!"

Eza tidak bisa bahkan tidak mau berhadapan dengan siswi-siswi macam begini. Berisik. Senyumnya mengisyaratkan banyak arti. Juga... agresif. Sedikit info saja, remaja tanggung seusia Eza tidak begitu suka wanita yang agresif. Kecuali dia adalah pasangannya.

"Dadah kakak ketua OSIS ganteng!"

Mereka melambaikan tangan ketika Eza beringsut pergi menuju kelas. Eza membalasnya dengan bibir melengkung ke atas. Tak sadar hal itu membuat ke empat siswi tadi berteriak histeris. Terpesona.

Belum juga langkah kaki Eza genap meninggalkan mereka, ada satu siswi lagi yang membuatnya terhenti. Ia muncul secara tiba-tiba di belokan jalan. Tangan kanannya sedang mengeluarkan sesuatu dari dalam saku rok abu-abunya. Sedetik kemudian muncul gemerincing saat tangannya mengeluarkan koin dari sana. Koin tercecer seperti saweran.

Gadis itu kalang kabut. Ia menyapu koin tercecer dengan pandangannya. Beberapa koin menggelinding dekat kaki Eza. Gadis itu mendekat. Salah satu kakinya menginjak koin itu, melompat ke hadapan Eza.

Eza tercenung melihat gadis itu seperti sedang atraksi. Gadis itu tidak memperdulikan mata Eza yang melotot karena kaget dengan lompatannya. Gadis itu kemudian memungut koin-koinnya. Satu persatu sampai yang terakhir berada diantara kaki Eza.

"Gomen ne (maaf), bisa mundur satu langkah?" katanya sambil mendongak ke arah Eza.

Eza terkesiap. Pertama, karena gadis itu berada diantara kakinya, kedua karena merasa isi perutnya naik sampai ke kepala. Tidak hanya itu, wajah Eza memanas seolah ada kembang api yang meledak di kedua pipinya.

Eza mundur seperti perintah si gadis. Koin terakhir berhasil ia kumpulkan. Gadis itu langsung berdiri. Semburat senyum muncul dari wajah orientalnya.

"Seribu kurang seratus, bukan seribu namanya, kan?"

Hah, dia mengoceh apa?

Eza bergeming. Masih belum sadar dari kejadian tadi. Dia laki-laki normal, seorang gadis berada di kedua kakinya dengan kepala mendongak membuat ia berimajinasi. Imajinasi yang membuat Eza gelagapan.

Seolah tak berdosa gadis tadi melewati bahu Eza. Ia berjalan seperti sedang menari. Berjingkrak-jingkrak girang.

Sedetik kemudian Eza mencocokkan gadis itu dengan desas desus yang sedang beredar. Ia bisa menarik garis merahnya, gadis itu adalah si murid baru.

Eza masih saja mematung di posisinya, mengedip seperti orang konyol. Dadanya tiba-tiba saja berdegup keras, nyaris limbung karena detakan memburu. Eza menarik napas panjang-panjang, menstabilkan keadaan tubuh yang tidak biasa itu.

Ah... mulai gila kamu Za?

***

Senyuman gadis itu tidak bisa Eza lupakan. Setiap saat mampir di otaknya, sekedar lewat atau bermain-main cukup lama.

Tanpa sadar bibir Eza melengkung ke atas begitu ingatannya kembali pada kalimat unik si gadis, 'Seribu kurang seratus, bukan seribu namanya.' Eza cekikikan di tempatnya bila ingat hal tersebut.

Gadis itu, yang membuatnya mati gaya di tengah rapat OSIS untuk acara Festival Musik sekolah yang akan diadakan tiga minggu lagi.

Beberapa anggota OSIS yang ikut rapat memperhatikan Eza, heran. Butuh sekian menit sampai Eza sadar telah jadi pusat perhatian karena tersenyum sendiri. Dhani menghentikan lamunan dengan menyenggol lengan Eza.

"Hei boy, kebangetan lu. Orang lagi rapat malah cekikikan sendiri. Ngapain sih, oy?" celetuk Dhani.

Sedari pagi Eza sering tidak konsentrasi, seperti memikirkan sesuatu. Dhani berbaik hati menggantikan Eza memimpin rapat. Ia wakil yang sempurna.

"Sori, sori... lanjut Dhan!"

Eza pura-pura serius dengan mengamati daftar peserta yang siap mengisi acara Festival Musik. Ada sederet nama di kertas. Ia berlagak membacanya.

Dhani menggeleng, bola matanya berputar, masa bodoh dengan ketuanya yang mulai sinting.

Tiba-tiba dahi Eza mengerut begitu melihat tulisan di selembar kertas rundown acara.

"Eh, Dhan... Bagian opening udah ada yang isi?" tanya Eza memotong presentasi rapat yang dipimpin Dhani.

"Iya, pilihan pak Irdan. Katanya dia bisa nyanyi, suaranya bagus."

Pak Irdan adalah guru kelas musik, sekaligus pembimbing OSIS. Festival Musik adalah tanggung jawabnya juga. Eza sempat berdiskusi perihal posisi opening yang masih kosong. Rupanya beliau mencarikan solusi dengan menunjuk satu nama.

Feya Ryuuna. Kelas X-3.

Eza merasa tak asing dengan nama itu. Dahinya mengerut, tatapannya mengawang-awang berusaha ingat. Sampai akhirnya Dhani bantu mengingatkan.

"Masa kagak tahu, dia si murid baru dari Jepang itu," jelas Dhani.

Demi apa, Eza senang luar biasa. Seperti anak kecil disodorkan eskrim gratis. Bola matanya membulat, bibir mengulum senyum simpul, serta dada berdebar tak karuan.

"Ooh, terus... kapan technical meeting sama para pengisi acara?" Kentara sekali Eza menantikan pertemuan dengan si gadis jepang.

"Sampe bosen gue ngulang-ngulang dari tadi. Apa sih boy, lu girang ya karena yang ngisi opening itu si murid baru?" Dhani mencibir.

"Engga... em... Dikit sih!"

"Nah kan gue bilang juga apa, lu bakal jatuh cintrong sama dia." Dhani terkekeh dan menunjuk hidung Eza.

Suasana rapat jadi tidak kondusif. Terutama anggota OSIS perempuan yang menggilai ketua-nya, mereka terhenyak saat tahu idolanya mulai perhatian pada satu gadis. Mereka cemburu.

"Ketua suka sama Feya si murid baru?" salah satu dari mereka mulai buka suara.

Baru kali ini Eza mendengar nama gadis itu disebutkan. Dengan itu saja dadanya sudah berdebar hebat.

Feya... Feya... Feya Ryuuna. Ah, namanya saja cantik.

Eza menyapu ekspresi seluruh anggota OSIS dengan kedua matanya. Ada rasa penasaran tersampaikan. Beberapa di antaranya rasa cemburu. Eza terkekeh.

"Ini kenapa jadi bahas beginian, sih? Lanjut lagi rapatnya, lah!" sahut Eza berusaha menutupi.

"Eh, situ yang mulai duluan," gemas Dhani.

Eza tertawa. "Oke, aku minta maaf. Bisa kita lanjut lagi rapatnya?"

Rapat dilanjutkan dengan perhatian penuh dari Eza. Satu informasi yang ia tangkap, bahwa secepatnya akan bertemu dengan gadis pujaan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel