Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 She is ...

Bab 2 She is ...

"Your greatness is you can turn the world's eyes to you."

- Ariasanny -

Berita kepindahannya sudah merebak seantero sekolah. Siapa yang tidak tahu mengenai desas desus si murid baru. Cantik, mata bulat cemerlang, keturunan campuran Indonesia-Jepang. Ia lebih terlihat seperti artis dari negeri sakura.

Menurut isu, gadis itu menjadi murid baru di kelas X-3. Karena itulah keadaan kelas riuh ramai. Membayangkan ini itu tentang wanita pindahan dari Sapporo tersebut. Heboh, bahkan sebelum langkah kakinya memasuki kelas.

Di pelajaran kedua, gadis itu benar-benar datang. Desas desus itu benar. Senyumnya sangat luar biasa. Ia punya kombinasi lesung pipi, gingsul, serta bola mata hitam legam nan jernih. Tinggi badannya terbilang mungil dengan bahu kecil dan rapuh.

Ia menyebutkan namanya, Feya Ryuuna. Golongan darah O.

Entah kenapa ia menyisipkan golongan darah di bagian perkenalan. Tapi sebuah artikel menyebutkan orang Jepang terkadang menilai karakter seseorang berdasarkan golongan darah. Dan pada beberapa orang, ini jadi kebiasaan untuk mengenali orang lain. Dari artikel itu disebutkan golongan darah O punya sifat riang dan mudah ditebak.

Si murid baru berjalan mantap saat wali kelas mempersilahkannya duduk di bangku yang kosong. Sialnya bangku itu adalah di samping bangku Sanny. Hanya di sana yang kosong.

Kontan Sanny menggeserkan kursi menjauhi calon tempat duduk si murid baru, yang membuat seluruh mata serempak menoleh padanya.

Jujur saja, Sanny tidak suka membagi tempat duduk dengannya. Hal itu tergambar jelas dari gestur tubuhnya. Tapi, ia tidak mungkin protes karena kursi itu bukan miliknya. Semua orang punya hak duduk di sana.

BUK! Bahkan duduk pun gadis itu heboh hingga menimbulkan bunyi.

Kemudian, ditawarkannya senyum dengan lesung pipi mencuat pada Sanny.

Ia tidak menjulurkan tangan, seolah tahu Sanny akan terganggu dan abai. Ia hanya menundukkan kepala dan tersenyum, lalu menunjukkan sederet gigi rapi.

"Watashi wa Feya Ryuuna desu (namaku Feya Ryuuna)!" ucapnya, dengan logat Jepang yang kental.

Sanny hanya diam, enggan berkomentar.

"Eeto~ apa golongan darahmu?" kali ini ia memasang senyum yang mirip seperti bocah berumur lima tahun. Ia mencondongkan badan pada Sanny dan menunjukkan wajah sangat penasaran, tidak peduli dengan banyak mata yang memperhatikan mereka, termasuk wali kelas.

Sanny malas berbasa-basi, makanya ia lontarkan jawaban dengan sinis.

"Kamu, bisa diam engga?"

Gadis bernama Feya itu kehilangan senyum di wajahnya. Sekarang ia merengut hampir menangis. Namun... sedetik kemudian ia melengkungkan bibirnya lagi. Kali ini lebih sumringah. Kalau saja Sanny seorang pria mungkin ia akan jatuh cinta pada senyum semacam itu.

"Wakarimashita (aku mengerti), golongan darahmu pasti B," sahutnya lagi.

Sanny tidak habis pikir. Gadis ini keras kepala atau tidak paham maksud perkataannya. Ia menyenggol lengan Sanny sebelum pandangan matanya fokus pada wali kelas yang mulai berkoar-koar tak jelas.

Sadar atau tidak, sosoknya kelihatan berkilau. Kulit putih susunya mengingatkan Sanny pada susu vanilla kesukaan di waktu kecil. Sekaligus mengingatkan pula bahwa di waktu SMP rambutnya pernah disiram susu vanilla yang ia bawa. Sanny di-bully, dijauhi, dan sejak itu Sanny jadi tidak punya teman. Bahkan tidak ada yang mau duduk sebangku dengannya.

Lucu memang, karena teman sebangkunya yang pertama justru gadis yang meributkan golongan darah. Juga gadis yang menggigiti tutup pulpen saat ditanyai pertanyaan yang membuatnya bingung. Pertanyaan itu muncul dari seorang laki-laki di depan bangku mereka.

"Kamu punya pacar?"

"Ano... apa pacar itu sesuatu yang bisa dimakan?"

"..."

***

Ketenaran si murid baru telah sampai ke telinga Eza, ketua OSIS di SMA Venuz. Tak jarang pula ia mendengar para laki-laki di kelasnya memuji kecantikan Feya.

Bukannya Eza tidak tertarik, hanya saja kegiatannya di-OSIS cukup menyita perhatian. Apalagi sebentar lagi ada kegiatan Festival Musik di sekolahnya.

Saat ini Eza sedang berkutat dengan rincian-rincian kegiatan tersebut. Ia menuliskannya di agenda agar tidak mudah lupa.

Dhani menghampiri kegiatan khusyuk Eza di meja OSIS dan mengganggunya.

"Za, udah lihat si murid baru belum? Cantik banget sumpah, gue suka lah sama dia," katanya.

Eza sedikit tidak peduli. Ia hanya menjawab dengan gestur tubuh, mendorong batang kacamata diantara hidungnya. "Hmm..." Itu saja balasan Eza.

Dhani merasa tidak puas, ia mengintip tulisan-tulisan Eza pada agendanya. Namun diperhatikan sedemikian rupapun tidak ada yang ia mengerti sama sekali.

"Isshh, Za! Cantik loh, dia. Suer! Rambutnya gelombang, kulitnya putih, terus bibirnya... ah, bibir tipis kaya gitu paling enak dikecup. Gelo, gue sampe kebawa mimpi, lah!"

Eza masih tidak menggubris. Dhani tidak mau kalah.

"Lu ga penasaran gitu? Cewe kaya gitu bukannya tipe lu?"

"Aku ga punya tipe, Dhan!" jawab Eza sekenanya.

"Tapi gue yakin cewe ini pasti masuk tipe lu. Dia manis, periang, open minded dan Jepang tulen."

"Kaya yang udah kenalan aja."

"Ya udah lah, cewe kaya gitu otomatis masuk di radar seorang Dilian Ramdhani Hakim. Beuh, pokoknya cewe itu cuco banget. Lu ga minat gitu? Kalo lu ga mau, yaudah buat gue."

Eza geleng-geleng. Ia masih tetap menjatuhkan perhatiannya pada agenda, ketimbang Dhani yang memberi informasi penting seputar perempuan.

Bukan Dhani namanya kalau tidak kenal perempuan di sekolahnya. Dari yang tua dan muda, yang cantik yang kurang cantik, yang feminim dan yang tomboy, yang suka k-pop sampai yang suka Justin Beiber, Dhani tahu.

Dan karena pesonanya pula, Dhani pintar menggaet perempuan sesuka hati. Jumlah pacarnya tidak bisa dihitung jari, Dhani playboy kelas kakap.

Dhani tahu Eza terbilang cuek untuk urusan perempuan. Ia gemas menjodoh-jodohkan siapa saja yang kiranya bisa menggoyahkan iman Eza. Laki-laki ini butuh penakluk.

"Ayolah Eza, seminggu ini lu sibuk ngurusin OSIS mulu. Emangnya ga bisa santai sedikit, ya? Ini, kan, jam istirahat!"

"Jangan khawatir, aku akan santai, nanti kalo acara festival udah selesai," balas Eza.

"Gini nih yang bikin tingkat stress anak muda di dunia bertambah, karena orang kaya lu ga bisa menikmati masa muda dengan bener."

Eza mengerutkan kening. Bila tujuan Dhani adalah untuk dapat perhatiannya, maka ia berhasil. Eza menutup agendanya dan memperhatikan Dhani yang sedang duduk di meja. Kedua tangannya menyilang, bibirnya mengerucut. Eza tidak sadar kalau Dhani sudah melakukan itu selama 15 menit.

"Dhan, kok kamu bisa santai gitu sih? Aku kan menunjuk kamu jadi seksi acara. Sampai sekarang belum ada yang mengisi posisi buat opening. Aku bingung mau daftarin siapa lagi yang cocok buat opening," gerutu Eza kemudian.

"Alah, gitu aja repot. Daftarin si Rean aja udah. Waktu SMP dia kan jago piano," saran Dhani, tapi Eza tidak terlihat setuju.

"Emangnya Rean mau?"

"Ya mau, mungkin. Lu ngomong aja sama si Rean, dia sekelas sama lu kan."

Eza menghela napas. Ia menggeleng. "Kalo aku yang ngomong udah pasti dia bakal nolak."

"Loh kenapa, belum juga dicoba. Emang kalian berdua musuhan?"

"Ya... bisa dibilang gitu, sih!"

"Njiir, sumpah lu boy. Kaya bocah aja. Kudu gue yang bilang sama si cowo kulkas itu?"

"Cowo kulkas?" Eza sedikit menyeringai saat mengucapkannya.

"Iya lah, dingin gitu ngalahin freezer. Tahu ga, cewe gue aja bilang muka si Rean kaya ga tidur seribu tahun. Mana ga pernah senyum lagi. Nyeremin!"

"Cewe yang mana, cewe kamu kan banyak, Dhan?"

"Eh, njir. Bukan itu poinnya."

Eza terkekeh melihat Dhani berlagak hendak memukul dengan sikutnya.

"Yaudah sih, kalo mentok banget ga tahu siapa yang nanti tampil, lu aja yang main Za," usul Dhani.

"Aku? Mana bisa."

"Jangan pura-pura lu, gue tahu lu juga bisa main piano. Waktu SMP kan lu terpilih jadi perwakilan musik di sekolah. Masa iya ga bisa main di acara kaya beginian."

"Aku ga akan sempat, Dhan. Tanggung jawabku sebagai ketua pelaksana aja udah bikin repot, apalagi ikut mengisi opening."

"Bisa lah, gue yakin."

Setelahnya tidak ada dialog lagi di antara keduanya. Bukan karena malas untuk bicara, hanya saja jam istirahat hampir usai dan mengharuskan mereka melanjutkan pelajaran, kembali ke kelas sebelum bel berbunyi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel