Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 9 : Hai Adik.

Aku mengerjab pelan, ruangan serba putih itu setia menyambutku. kuedarkan pandanganku kesekitar, dan ketika netra ku menangkap seseorang yang ingin sekali kulenyapkan, kukepalkan tanganku erat mencoba bangkit perlahan dari ranjang. Tanpa berpikir kuambil gelas di nakas, dan membantingnya dengan sebelah tanganku yang terbebas dari infus.

"Astafirullah, ada apa, Nay?" Lelaki itu refleks berdiri sambil melempar koran yang sedang dia baca. "Kamu kenapa? Ada yang sakit atau apa?" Dengan langkah tergesa lelaki itu menghampiriku. Hal itu membuatku tertawa hambar.

"Nay." Tepukan di bahuku membuatku menegang. Sentuhannya mengingatkanku akan kejadian malam itu.

"Don't touch me!" Dengan jijik kuhempaskan tangannya.

"Maaf," Cicitnya lirih. "Biar aku panggilkan cleaning service untuk membersihkan pecahan ini, kamu mau titip apa?" sambung lelaki itu menatapku lembut. Tatapan yang membuatku muak setengah mati.

"Aku mau dia mati, boleh?" tantangku sambil melirik perut sialanku, membuat Karan seketika membisu. "Dasar banci, gitu aja gabisa jawab" lanjutku meremehkan.

"Jika kamu tidak mau menitip apa pun, aku pamit keluar sebentar, takut ada yang terkena pecahan ini." Karan tersenyum simpul, berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Eh aku mau nitip." Langkah Karan terhenti, lelaki itu tersenyum lalu dengan cepat menghampiriku. "Aku mau wine, sama lagi pengen buah nanas. Adik yang pengen bukan aku sih, coba tanya aja kalau nggak percaya." Aku tersenyum sinis sambil menatapnya lekat, berharap dengan ini emosi lelaki itu tersulut.

"Kenapa diam? Nggak bisa nuruti kemauan adik? Yah sayang sekali, padahal ini permintaan pertama adik sama papanya." Aku merenung sedih, sambil mengusap mataku. Kulihat lelaki itu yang tetap diam sambil menundukan kepalanya. "Liat papa tuh, dia nggak bisa menuruti kemauan kamu. Dia ngakunya sayang sama kamu loh, mending saya, walau nggak sayang kamu setidaknya bisa nuruti mau kamu. Apalagi cuma wine sama nanas, gampang banget itu," sindirku membuat lelaki itu akhirnya mengangkat kepalanya, tatapan itu membuatku tersenyum puas. Ayo Karan, luapkan semua kekesalan mu.

"Kamu boleh menghinaku sesuka hatimu, Nay, tapi aku mohon jangan pernah kamu sakiti anak kita lagi." Tatapan Karan masih sama, lembut seperti tadi. Kugelengkan kepalaku sebal, sulit sekali menyulut emosinya.

"Coba bisa diulang lagi? Anak kita?  Asal kamu tau, aku menganggapnya tidak lebih dari sekedar lintah yang menempel pada tubuhku!" Aku tersenyum miring sambil menatap nya penuh kebencian. "Atau lebih tepatnya parasit yang sangat menganggu," lanjutku sambil menatap jijik perutku membuat Karan hanya bisa diam, dan itu membuatku selalu merasa menang.

**

"Bagaimana keadaannya apa sudah baikan Bu Nara?" Dokter muda itu bertanya dan kujawab dengan anggukan, bukankah dokter yang menanganiku kemarin laki-laki paruh baya kenapa sekarang berubah lagi? Ah entahlah, tidak penting.

"Besok pagi sudah boleh pulang nih kayaknya." Dokter cantik itu kembali berucap, membuat senyumku seketika terbit.

"Terima kasih Dok informasinya, apa bayi saya juga sudah sehat?" tanya Lelaki itu tiba-tiba membuatku meliriknya tidak suka.

"Alhamdulilah bayinya juga sehat  tapi tetap harus diperhatikan ya, Jangan banyak aktifitas berat," nasehat bu dokter tentu saja tidak kupedulikan. "Jangan memakai korset lagi ya, Bu, kasian si bayi nanti tidak bisa bergerak." Dokter itu tersenyum padaku, peduli setan, semakin besar perutku akan semakin kencang aku mengenakan korset. Biarkan dia tidak bisa bergerak, bagus lagi tidak bisa bernapas dan mati (?) HAHAHAHAHA.

"Baik dok terima kasih banyak atas informasinya," respon lelaki itu membuatku muak.

"Mau melihat keadaan si bayi?" pertanyaan dokter itu membuatku mengernyit, kulirik Karan yang juga terlihat bingung. "USG maksudnya, pasti sudah pernah 'kan?" Seolah bisa membaca ekspresi kami, dokter itu memperjelas perkataannya.

"Iya dok boleh." Belum sempat aku membuka mulut, lelaki sialan ini sudah mendahuluinya.

"Oke baiklah, kita olesin dulu perut bu Nara dengan gel ini." Dokter itu menyingkap bajuku, yang dengan refleks kutangkis.

"Malu, ya? Kita kan sama-sama perempuan." Dokter itu terkekeh. "Atau malu sama suaminya nih? Eh tapi tidak mungkin, buat anak saja sampai jadi begini," goda wanita itu membuat wajahku memanas, kulirik Karan dengan keadaan yang sama buruknya denganku.

"Ya ampun wajah kalian sampai merah gini." Wanita itu menatapku dan Karan bergantian lalu menggelengkan kepalanya. "Yuk liat si bayi saja, pasti sudah tidak sabar."  Bajuku sudah tersingkap, kurasakan dingin diperutku saat dokter itu mengoleskan semacam gel lalu dilanjutkan dengan memutarkan sebuah alat dipermukaan perut buncitku.

"Ini bayinya, pas sekali wajah nya tidak ditutupi. Lucu sekali" Kualihkan pandanganku sembarang tempat. Aku tidak mau melihatnya, sungguh tidak ingin.

"Masyallah Tabarakallah." Suara bergetar itu membuatku seketika menengok, kutatap mata karan yang sudah berkaca, tatapannya tidak beralih dari sesuatu didepan nya."Tangannya kecil sekali ya, Dok," lanjut Lelaki itu membuatku penasaran, kutatap layar hitam-putih itu dengan seksama. Dan saat itu juga tubuhku menegang, dia sudah berbentuk, kugenggam kuat sesuatu yang ada di balik telapak tanganku, dan ketika tanganku ikut tergenggam saat itu pula aku menyadari bahwa tanganku dan Karan saling bertautan.

"Semakin bulan bertambah nanti organnya juga akan mulai membesar  dan sempurna," jelas dokter itu membuat Karan mengangguk antusias, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Kutarik tanganku kasar dari genggaman Karan, membuat lelaki itu menengok lalu tersenyum.

"Mau dicetak tidak hasil USG nya?"

Tanya dokter itu membuat Karan mengangguk antusias. "Kalian akan mendapatkan seorang bidadari," lanjut dokter itu entah kenapa membuat tubuhku semakin tidak karuan, dia perempuan.

"Alhamdulilah ya Allah." Lelaki itu berucap syukur tanpa mengalihkan pandangannya  "Dicetak yang banyak ya, Dok, mau saya pajang di mana-mana, buat penyemangat," lanjut Karan membuat dokter itu mengangguk sambil tertawa. Sedangkan aku hanya diam, entah kenapa perasaanku berkecambuk hebat setelah melihat wujudnya walau itu hanya lewat sebuah gambar.

**

"Saat bayi ini lahir, aku akan langsung memberikannya padamu. Bawa dia menjauh atau aku yang akan pergi dari kalian." Kuhembuskan napasku sepelan mungkin. Jam sudah menunjukan pukul sepuluh lebih tetapi mataku sama sekali tidak bisa terpejam. Pahadal saat keluargaku dan Karan tadi berkunjung rasanya aku ingin sekali tidur, tetapi sekarang saat mereka sudah undur diri, kantukku entah hilang kemana, dasar hormon ibu hamil!

"Saat dia menanyakan ibunya, apa yang akan aku jawab?" Lelaki itu berjalan kearahku dan menarik kursi di samping ranjang.

"Bahkan sebelum dia bisa bertanya tentang itu, aku pastikan kamu sudah menikah lagi," jawabku tertawa hambar, aku tau bagaimana cinta lelaki ini untuk kekasihnya, Raisa.

"Kamu akan selalu jadi ibunya, Naraya, apa pun yang terjadi." Tatapan sendu itu karan tujukan untukku. "Dia akan sangat senang memiliki ibu yang begitu cantik dan pintar sepertimu. Aku berharap dia akan mewarisi keseluruhan wajahmu, dia akan menjadi gadis yang sangat cantik." Lelaki itu mengambil sebelah tanganku untuk digenggam, kupejamkan mataku erat, bahkan  membayangkan seorang gadis dengan status dia adalah putriku saja membuat seluruh tulangku lemas.

"Mungkin dia tidak pernah kita rencanakan, Nay, tapi tidak kah kamu berpikir bahwa Allah memiliki rencana tertentu menghadirkan dia ditengah-tengah kita?"  Lelaki itu mengusap perutku lembut,  menimbulkan gelenyar aneh yang begitu nyaman dan membuatku terhanyut.

"Hentikan, Karan! Jangan buat semuanya menjadi rumit, apa pun itu aku tetap ingin perceraian, anak ini milikmu hanya milikmu!" Seperti mendapatkan kesadaran, kudorong cepat tubuh Karan yang hampir tak berjarak denganku. Aku tidak boleh termakan dengan omongannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel