Bagian 10 : Demi Adik.
Sejak tragedi menjatuhkan diri ditangga dua bulan yang lalu, ada hal yang membuatku sedikit aneh. Adik jarang sekali menendang. Harusnya aku bahagia karena jam tidurku tidak terganggu. Tapi hal itu berbanding terbalik dengan perasaanku, aku merasa gelisah luar biasa.
"Kamu kenapa sih?" Kutatap pantulan diriku dikaca besar yang berada didalam kamar, sudah satu bulan lebih aku tidak memakai korset. Aku berpikir adik tidak mau menendang karena itu, tapi ternyata tidak ada hubungan nya. "Sombong banget kamu, disuruh nendang aja susah." Aku menyerah, berbagai hal telah aku coba untuk menarik perhatian nya tapi tidak ada respon. Adik hanya mau bergerak saja, itu pun lambat sekali.
"Naraya." Suara itu membuatku tersadar, dengan tergesa kubuka pintu kamar cepat dan kutemukan mama yang sudah tersenyum manis kepadaku. "Sarapan gih, sudah siang."
Wanita paruh baya itu membelai lembut bahuku dan kujawab dengan anggukan. Kuambil cepat tas selempangku lalu mengikuti langkah mama ke lantai bawah.
"Besok kamar Naraya pindah ke bawah saja ya, Pa, kasihan naik turun tangga dengan perut sebesar itu." Mama berkata sambil menuangkan air ke gelas dan diangguki oleh papa.
"Mau ke mana, Nak? Sudah rapi saja," tanya papa menatapku ingin tau.
"Mau ke mall," jawabku singkat.
"Sendiri? Bahaya perempuan hamil besar pergi kemana-mana sendirian."
Perkataan papa membuatku memberenggut sebal. Kuremas perutku kuat, tapi tetap tidak ada respon. Astaga, dia kenapa tidak mau menendang sama sekali.
"Tapi kamu sama pak supir kan, Nay?" tanya Mama dan aku dengan cepat mengangguk . "Tidak apa jika dengan pak supir, tapi hati-hati loh jalannya." Pesan mama sambil mengelus lembut tanganku.
"Mau ngapain kamu di mall? Mending istirahat saja dirumah." Entah kenapa Papa masih saja berusaha menghalangiku.
"Lihat kaki Nara, kukunya sudah panjang semua, mau potong sendiri sudah tidak bisa, jadi butuh ke salon."
Alasan yang kuberikan sedikit masuk akal, kuku kakiku memang sudah sangat menjijikan untuk dipandang.
"Mama bantu potong saja, ya, gimana?" Astaga, kenapa mama ikut menghalangiku.
"Nara duluan, wasalamualaikum."
Aku bangkit tergesa menuju mobil. Jujur aku butuh keluar, sekedar menenangkan pikiran yang sudah sangat kacau ini. Sejak Sabrina sibuk dengan persiapan pernikahannya, perempuan itu jarang sekali berkunjung ke rumah. Bahkan dia berencana untuk melanjutkan kuliah kedokterannya di Indonesia. Hal itu membuatku semakin stress, aku merasa tidak punya sandaran lagi untuk mencurhatkan seluruh beban dipundakku ini.
"Walaikumsalam, Nak, hati-hati," jawaban mama terdengar samar ketika aku sudah mulai menjauh.
***
Aku berjalan menelusuri sekitar mall dan ketika seorang wanita cantik mendekati sambil memberikan brosur padaku, aku hanya meringis sambil menerimanya dengan paksa Diskon perlengkapan dan pakaian anak.
Kuhembuskan napasku kasar, kulirik perutku sekilas lalu membelainya pelan. "Haruskah saya membelikan sesuatu untukmu?" gumamku pelan sambil menunduk.
"Eh maaf, Mbak." Aku hampir saja terhuyung, Jika Sebuah tangan tidak memegangku. "Mbaknya tidak apa? Maaf saya tidak sengaja," lanjutnya membuatku membeku, suara itu? Kutundukan kepalaku dalam-dalam atau semua ini akan terbongkar begitu saja.
"Mbak, astaga, Nara?!" lelaki itu menatapku tidak percaya. "Kamu? Astaga. Ini beneran Kamu?" lanjutnya sambil mengguncang kasar bahuku.
"Maaf." Tidak ada kata yang bisa aku ucapkan selain itu, tubuhku bergetar hebat disertai cairan bening yang sudah memberontak dari kedua mataku.
"Kamu membohongiku?" Lelaki itu kembali mengangkat daguku yang tertunduk. "Jawab, Nay, kenapa kamu diam saja?!" teriaknya sambil menarik kasar tanganku.
"Calvin, kamu menyakitiku," cicitku lirih sambil menyamai langkah cepat lelaki itu. "Akhh." Kugigit erat bibirku saat kurasakan kencang pada perutku. Beberapa orang melirik kami tapi lelaki itu terlihat tidak peduli.
"Calvin!" Aku berteriak nyaring, saat lelaki itu memukul kasar tembok di depannya. "Aku mohon dengarkan penjelasanku." Kutarik tubuh lelaki itu agar tidak menyakiti dirinya sendiri.
"Arghhh." Tubuhku sedikit terhempas ketika lelaki itu mendorongku kasar. "Kenapa kamu jahat sekali, Nay?" Lelaki itu menangis, sama sepertiku. Aku diam tergugu, perutku sakit sekali tetapi itu tidak sebanding dengan hatiku.
"Calvin, aku minta maaf." Hanya itu yang bisa aku ucapkan berkali-kali. Kulirik Calvin yang terlihat sangat terpukul dengan kenyataan ini.
"Kamu berkata pergi ke Melbourne untuk melanjutkan kuliah, tapi apa ini, Nay? Kamu sedang mengandung!" Lelaki itu menunjuk perutku yang sudah sangat membuncit. "Kamu menghianatiku, Nay, Kamu jahat sekali." Calvin mengacak rambutnya frustasi dengan wajah yang sudah merah padam.
"Aku akan jelaskan semuanya, aku mohon jangan menghakimiku seperti ini." Kuraih tangan lelaki itu yang sudah terkepal kuat tapi dengan cepat dia hempaskan.
"Jangan sentuh aku, menjijikan." Lelaki itu berteriak, untung saja Calvin membawaku ke rooftop yang masih begitu sepi. "Mulai sekarang sudah tidak ada hubungan di antara kita. Anggap kita tidak saling mengenal, Naraya Xafira." Tubuhku seketika melemas. Lalu untuk apa aku hidup sekarang? Semua nya telah berakhir.
"Calvin tunggu." Aku berusaha mengejarnya yang mulai menjauh, tetapi langkahku harus terhenti ketika sakit itu kembali hadir. "Anak sialan. Semua hancur, semuanya! Kurang ajar kamu, berani-beraninya kamu menghancurkan semua mimpiku. Mati saja kamu, mati!" Kuremas perutku kencang, sakit itu semakin menjadi membuatku tertawa bahagia.
"Sakit ya? Kamu kesakitan kalau saya begini?" Aku tertawa kencang sambil terus menekan perutku, rasa sakit itu tentu saja tidak kupedulikan. "Kalau gini sakit tidak?" Kupukul kuat perutku, dan sebuah gerakan bisa kurasakan. Anak itu ternyata mulai tidak nyaman dan hal itu membuat senyumku mengembang.
"Mari ikut aku, akan kubuat kamu merasakan sakit yang sebenarnya."
**
"Aku mau wine!" teriaku kepada seorang pelayan bar, lelaki itu mengernyit lalu mengabaikan permintaanku, hal itu tentu saja menyulut sisi harimauku. "Kamu tidak dengar saya minta apa?" lanjutku sambil menggebrak kasar meja, membuat pelayan lelaki itu terperanjat kaget.
"Bukankah anda sedang mengandung?" ucap pelayan itu membuatku tertawa. "Wine tidak baik untuk ibu hamil," sambung pelayan itu pelan membuatku semakin terbahak. Dengan beringas, aku merebut kasar cairan bening yang berada dibotol dan kuteguk hingga kandas membuat pelayan itu hanya bisa melongo.
"Sudah, Nyonya, kasihan bayi anda."
Pelayan sialan itu menghalangiku ketika aku akan mengambil botol kedua. Dengan kasar, kudorong lelaki kurus itu hingga terhuyung. Kuteguk kembali botol keduaku hingga tak bersisa.
"Ahhh...," rintihku lirih, aku berjalan pelan ke kamar mandi saat perutku terasa semakin kencang."Astaga sakit" Kuusap kasar air mata yang sudah mulai meleleh membasahi pipiku. Aku merambat perlahan dengan langkah tertatih sambil berpegang tembok, berharap bisa mencapai kamar mandi.
"Anda tidak apa?" Suara itu membuatku mendongak, aku hanya mengangguk sebagai jawaban bahwa aku baik-baik saja. "Tapi anda berdarah," lanjut perempuan itu membuatku menengang. Aku kembali menunduk, cairan berwarna merah itu bahkan sudah membasahi sepatuku.
"Tolong, saya," panikku sambil mengaduh sakit. Aku merosot kelantai ketika kurasakan sakit itu semakin menjadi. Tubuhku merinding hebat, Perasaan takut langsung merasuk kerelung hatiku.
"Adik, saya mohon jangan menyerah. Banyak yang menginginkan kamu,"
gumamku lirih sebelum kegelapan menjemput.
**
"Sakit sekali, Sus, saya tidak kuat, astaga," teriakku kesekian kalinya, suster di depanku tetap fokus membersihkan kakiku yang berlumur darah.
"Kita harus lakukan operasinya sekarang," ucap dokter yang menanganiku dengan wajah pias.
"Baiklah, Dok, saya akan siapkan tapi kita harus menunggu suaminya datang dulu, " saut suster itu cepat.
"Iya, suaminya sangat penting, karena
kemungkinan hanya salah satu yang bisa bertahan," jawaban dokter sukses membuatku menegang. Hanya satu? Berarti hari ini tentu saja aku yang akan mati, Karan tidak akan mungkin mempertahankanku, tentu saja tidak mungkin. Dia sangat menginginkan anak ini.
"Dok, lakukan operasinya sekarang saja." Kupejamkan kuat mataku, aku sudah tidak tahan dengan nyeri dan panas yang membakar perutku. Apakah adik juga merasakan hal yang sama?
" Kami harus menunggu suami anda karena hanya bisa salah satu yang selamat, suami anda harus memilih."
Dokter itu berkata sambil menyuntikan cairan ke infusku.
"Selamatkan bayi ini saja, jika suami saya disini pun pasti dia juga akan memilihnya." Aku kembali merintih ketika rasa nyeri dan panas itu semakin menjadi. Jujur, aku serasa ingin mati. "Dok cepat ini sakit sekali, saya tidak ingin bayi ini kenapa-napa. Cepat, apa pun yang terjadi anak ini harus selamat, bahkan jika nyawa saya taruhan nya pun tidak apa," lanjutku final, lupejamkan mataku erat, aku pasrah untuk semua yang terjadi hari ini. Biarkan aku mati dalam keadaan seperti ini, banyak yang berkata bahwa mati saat melahirkan maka Allah akan menempatkan kita disurga. Adik kamu harus hidup, karena aku menukar nyawaku untuk nyawamu.
"Dok suami nya datang!" Suara seorang perempuan membuatku seketika membuka mata.
"Nay." Lelaki itu menghampiriku, lalu menggegam kuat telapak tanganku yang berkeringat. "Kamu pasti bisa, demi putri kita." Karan mendekat lalu mencium lembut keningku.
"Karan, aku tidak kuat ini menyakitkan." Kutatap wajah lelaki itu sendu. "Aku minta maaf atas semua kesalahanku," lanjutku sambil menggegam kuat sebelah tangannya, menyalurkan seluruh rasa sakit yang sedang kurasakan.
"Apa yang kamu bicarakan? Kamu wanita yang kuat. Aku percaya pasti kamu bisa, istigfar Nay." Lelaki itu berbisik lembut ditelingaku, lalu mengecup lembut keningku. "Kamu wanita yang kuat, aku yakin kamu bisa melahirkan adik dengan selamat," ucapan positif yang Karan sampaikan sama sekali tidak membantu, karena pada akhirnya tetap hanya satu yang selamat dan itu bukan aku melainkan adik.
"Karan, aku mohon kamu keluar. Aku ingin dioperasi sekarang," pintahku lirih, kulepaskan genggaman tangan Karan dengan paksa. "Aku mohon karan, ini sungguh menyakitkan." Air mataku kembali menetes. Lelaki itu mengangguk patuh lalu kembali mencium keningku, lalu membisikan dukungan positif yang hanya bisa kutanggapi dengan anggukan lemah.
"Saya tau kamu wanita yang kuat, terima kasih sudah mau berjuang sejauh ini untuk adik." Lelaki itu berkata sambil menghapus cairan bening yang jatuh dipipiku, aku hanya diam tidak menjawab. Bahkan nyawa pun aku korbankan untuk mu, adik.
