Bagian 8 : Kembali Bertemu.
Saat sinar matahari menyeruak masuk melalui jendela, dan aroma masakan yang sudah lama sekali tidak kuhirup masuk begitu saja ke dalam indra penciumanku. saat itu pula mataku mulai mengerjab menyambut pagi hari di Ibu Kota setelah sekian bulan.
Kumatikan alarm yang berbunyi nyaring dari ponselku dan perlahan bangkit dari ranjang, merenggangkan seluruh otot tubuh yang terasa pegal karena semalaman tidur dengan posisi setengah bersandar. Dasar adik sialan, semalam bergerak berputar membuatku susah sekali tidur dan sial nya obat tidurku tertinggal di apartemen.
"Nak, ini Sabrina udah dateng katanya mau ke mall." Suara gedoran itu membuatku turun dari ranjang, dan dengan gontai membuka pintu kamarku. "Duh kok masih ileran gini sih, katanya kamu ngidam mie ayam di Grand Indo ya?" Lanjut mama terlihat antusias membuatku menghembuskan napas kasar, aku tidak mengidam hanya saja aku ingin makan itu, aku yang ingin bukan adik, sudi sekali aku menuruti kemauannya.
"Iya, Ma, aku mau mandi dulu," ucapku malas sambil berlalu ke dalam kamar. "Lha mama kenapa ikut masuk?" lanjutku saat melihat mama yang ikut mengintil di belakang.
"Mama buatin susu buat kamu, pasti kamu lupa bawa susu dan vitamin, kata Sabrina kalian keburu-buru jadi ketinggalan," ujar mama tersenyum sambil menaruh susu dimeja dan aku mengernyit, apa Sabrina habis berakting? Sejak kapan aku minum susu apalagi vitamin? Aku minum nya mah wine biar yang didalem kepanasan, hahahahaha.
"Kok melamun sih, ini diminum keburu dingin." Mama menunjuk segelas susu di nakas dan kujawab dengan anggukan. "Jangan lupa dihabisin biar kalian sehat," lanjut mama sambil berlalu keluar dan hanya kubalas dengan kedua jempolku.
"Repotin kan kamu kalo di sini, manja pagi-pagi dah minum susu segala," omelku sambil menutup pintu. "Kalo mau minum susunya minum sendiri, jangan lewat saya karena saya nggak doyan susu kedelai gini," lanjutku sambil menyambar cairan berwarna putih itu dan langsung membuangnya di kamar mandi, jangan harap aku sudi membiarkannya tumbuh sehat.
***
"Jalan nya santai, Buk." Sabrina meraih sebelah tanganku membuatku menggerutu sebal. "Jangan kek ngajak tawur tetangga sebelah dong, santai saja kayak di pantai," sambung Perempuan berkemeja navy itu sambil menyamai langkahku.
"Lama jalannya, nggak tau orang pengen aja!" omelku sebal, sepanjang perjalanan bayangan kuah mie dengan suwiran ayam dan jamur kecap itu melayang di benakku, ditambah bawang goreng renyah, yang kalo masuk ke mulut rasanya luar biasa gurih itu hampir membuat liurku menetes.
"Wakakakaka baru liat pertama kali elu ngidam dan seheboh ini, hahahaha," gelak tawa perempuan itu membuatku mengerucut kesal, antrian lift yang sangat panjang membuat mood-ku semakin berantakan.
"Eh ke toko buku sebelah yuk, bentaran aja ada yang mau gue cari nih, lagian antrinya juga masih panjang' kan?" ucap Sabrina tiba-tiba membuatku menggeleng, aku tidak mood ke toko buku, seleraku ada pada lantai teratas yang menyediakan sesuatu yang bisa mengganjal cacing diperutku. "Eh diem bae sambil geleng-geleng, maksudnya apa neh, mau nggak?" lanjut Sabrina menepuk bahuku.
"Enggak mau, gue duluan ke atas elu nyusul, masih inget tempatnya' kan?" jawabku dan wanita itu mengangguk. "Yaudah sono, gue males ke sana, mending di sini nunggu giliran," lanjutku sambil mengeluarkan ponsel dari tas.
"Ya sudah deh gue bentaran ya, hati-hati perut elu udah kek kemasukan balon jangan sembarangan jalan." Pesan Sabrina hanya kuangguki saja, karena jika terjadi apa pun pada anak ini mungkin akan lebih menyenangkan, bukan?
"Ibu hamil masuk duluan saja tidak apa." Suara familiar itu membuatku membeku, kuangkat wajahku cepat dan ketika tatapan kami bertemu, kukepalkan tanganku kuat, lelaki itu?
"Naraya kamu... kamu sudah pulang?"
Lelaki itu menatapku lekat. Ketika pintu lift terbuka, dengan tergesa aku masuk tanpa menghiraukannya. Tapi sial, lelaki itu menyusulku dan parah nya mendapatkan tempat tepat di sampingku, bahkan bahu kami saling beradu.
"Nara, apa benar ini kamu?" Lelaki itu kembali berbicara sedangkan aku tetap membisu. Kenapa dari ratusan ribu orang di Jakarta, aku harus bertemu lelaki biadab ini?. "Ya ampun, perut kamu sudah sebesar ini?" Usapan lembut diperutku seketika membuatku menegang. Kutangkis tangan kokoh itu dengan kasar dan ketika pintu lift terbuka, dengan tergesa aku keluar dari sana.
"Naraya, tunggu!" Tarikan ditanganku membuat emosi yang kutahan mati-matian akhirnya meledak. Kutampar pipi lelaki itu dengan kasar, untung saja didepan lift sedang sepi jadi kami tidak menjadi tontonan publik.
"Kurang ajar, Masih berani kamu menampakan diri setelah apa yang kamu lakuin ke aku? Jawab brengsek!" Kutarik kerah baju Karan dengan kasar, setelah itu kuhempaskan.
"Nara, aku hanya mau menyentuh anakku." Lelaki itu berucap tanpa dosa dan hal itu membuatku tertawa keras.
"Oh, menyentuh anak kamu, ya? Silahkan, tapi setelah ini aku akan menjatuhkan diri di tangga, bagaimana?" tawarku membuat lelaki itu malah semakin mendekat.
"Ancamanku tidak pernah bercanda, Karanha!" ucapku sekali lagi tapi tidak dihiraukan, gerakan memutar disekitar perutku membuat mataku terpejam. Beberapa detik aku terhanyut dengan usapan itu dan pada detik selanjutnya kubuka mataku, dan dengan cepat aku berlari ke arah tangga.
"Nara, kamu mau ke man...."
Kujatuhkan tubuhku ditangga dan kurasakan aku tergulung beberapa kali sampai ke dasar, panas di pahaku membuatku tersenyum puas, selamat jalan adik kamu memang pantas mati.
"Naraya!" teriakan itu menjadi suara terakhir sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaranku.
***
Aku terduduk gusar didepan ruang IGD bayangan Naraya yang menjatuhkan diri ditangga mall membuatku mengepalkan tangan kuat. Perempuan itu ternyata benar-benar nekat, Salahku juga karena dengan lancang menyentuh perutnya.
"Keluarga nyonya Naraya." Decitan pintu yang terbuka diiringi dengan lelaki berjas putih membuatku langsung berdiri, kutatap dokter itu penuh harapan dan saat lelaki itu mengangguk rasanya semua beban dalam hidupku terangkat, alhamdulilah.
"Ada yang mau saya bicarakan, bisa ikut ke ruangan saya?" ucap dokter itu membuatku mengangguk cepat, kuikuti langkah lelaki paruh baya itu dengan perasaan was-was.
"Silahkan duduk Pak, saya hanya akan menanyakan beberapa pertanyaan?" Lelaki berjas putih itu berdehem dan dengan patuh aku menurut.
"Kalian sudah menikah?" tanya dokter itu pelan membuatku mengernyit bingung. "Jujur saja tidak apa," lanjut dokter itu mungkin melihat rahut wajahku yang kebingungan.
"Kami sudah menikah, Dok, memang kenapa?" Tanyaku tidak mengerti membuat dokter itu mengangguk-angguk.
"Berapa bulan kalian menikah?" tanya dokter itu menyelidik membuatku semakin tidak mengerti, pertanyaan macam apa ini?. "Berapa bulan?" lanjut dokter itu membuatku melongo, berapa bulan?
"Kami sudah hampir dua tahun menikah," jawabku membuat dokter itu terlihat kaget. "Kenapa bertanya seperti itu, apa ada yang salah dok?" lanjutku penasaran.
"Saya kira kalian melakukan hal itu di luar pernikahan, karena dari hasil pemerikasaan Istri anda melakukan diet ketat, bahkan saat suster mengganti pakaiannya tadi, istri anda ternyata memakai korset dan kemben dengan sangat kencang. Hal itu bisa mengganggu gerakan bayi yang berada diperutnya, saya curiga istri anda berniat mengugurkannya."
Pernyataan lelaki baruh baya itu membuatku tercengang luar biasa, apakah Naraya setega itu?
"Saya sarankan untuk menghentikan hal-hal itu, karena jujur jika tetap dilanjutkan akan membahayakan bayi anda. Kemungkinan bayi anda bermasalah akan sangat besar," sambung dokter itu membuatku membisu, bagaimana caranya memberitahu Nara? Bahkan hanya melihatku saja dia sudah sangat marah, mustahil jika dia membiarkanku berbicara apalagi menasehatinya.
"Baiklah terima kasih, Dok, saya permisi." Hanya jawaban itu yang bisa aku sampaikan, dengan gontai aku berjalan keluar. Jujur penyesalan itu kembali hadir, kenapa saat itu aku harus mabuk dan berakhir rumit seperti ini?
**
"Nara," panggilku lirih ketika memasuki ruang rawat, tatapan kosongnya membuat rasa bersalahku semakin meletup tidak karuan. "Untuk kesekian kalinya aku minta maaf," lanjutku sambil duduk di kursi samping ranjang.
"Keluar atau aku yang keluar," ucapnya tanpa mau menatapku membuatku tetap diam tidak bergerak. "Aku hitung sampai tiga kalau kamu tidak bisa memutuskan biar aku saja yang keluar," lanjutnya kembali, saat tangan kanan nya menarik kasar infusnya hingga
terlepas saat itu pula aku langsung berdiri sambil menatapnya tajam.
"Nara, kamu gila?!" bentakku galak membuat wanita itu malah tertawa.
"Iya aku gila, gara-gara kamu' kan aku kayak gini?" jawabnya tak kalah tajam, membuatku terdiam.
"Oke, aku minta maaf, sekarang kamu istirahat, biar aku panggilkan suster untuk kembali memasang infus di tanganmu. " Akhirnya aku mengalah saat aku ingin beranjak dari kursi kulirik wanita itu yang terus meremas- remas perut buncit nya membuat khawatir.
"Kenapa, apa sakit?" tanyaku lirih membuat wanita itu tersenyum sinis.
"Aku ingin dia mati, kenapa susah sekali, ya?" lanjutnya kali ini sambil memukul kasar perutnya, membuat mataku seketika memanas.
"Istigfar, Nay, dia tidak bersalah. Kenapa kamu sejahat itu sama dia?" Kuraih cepat tangan Nara agar berhenti menyakiti makhluk tidak bersalah di perutnya.
"Lalu siapa yang salah? Aku?" Perempuan itu menghempaskan kasar tanganku.
"Iya aku tau, aku yang salah, maka dari itu sekali lagi aku minta maaf.
Harus berapa puluh kali lagi aku memohon maaf padamu, Naraya Xafira?" Aku berlutut di kaki ranjang sambil menatap Nara penuh harap.
"Kenapa jika kamu yang salah aku yang harus menanggung beban ini?" Naraya menatapku lekat dengan air mata yang sudah siap tumpah.
"Jika aku bisa, maka aku rela menampung anak itu diperutku, Nay," jujurku membuat Nara terpingkal.
"Tapi nyatanya tidak bisa' kan? Kenyataannya tetap aku yang menderita Karan, Aku yang menderita!" Nara berteriak tepat di depan wajahku dengan ekspresi yang menyedihkan, demi apa pun hatiku terasa perih sekali melihat perempuan itu sehacur ini dan parahnya karena diriku.
"Ampuni aku, Naraya, aku minta maaf untuk penderitaan yang kamu alami tapi aku mohon jangan pernah sakiti dia, biarkan dia tumbuh dirahimmu."
Kembali aku memohon, bahkan jika perempuan itu menyuruhku bersujud di kakinya maka dengan ikhlas akan kulakukan.
"Aku sudah muak dengan permintaan maafmu, aku hanya ingin dia mati, mati, mati!" Nara berteriak sambil terus memukuli perutnya dengan bruntal. Untuk kali ini aku tidak bisa diam, kesabaran ku sudah diambang batas.
"Hentikan!" Dengan kasar kucengkram tangan Naraya dengan emosi yang sudah di ujung tanduk. Sudah cukup perempuan ini menyakiti anakku, cukup sampai di sini!
"Mati kamu mati Karan, matilah kamu lelaki biadab" Naraya terus merontai, tangannya sudah mulai merambat diatas perut membuatku langsung sigap meraih nya kembali. "Kurang ajar, lepas!" lanjut perempuan itu histeris sambil bergerak tidak karuan.
"Naraya!" Tubuh ringkih itu melemas lalu jatuh kepelukanku, perempuan itu kembali pingsan.
