Bagian 7 : Menyebalkan!
Aku terduduk manis di sofa, sambil memandang tumpukan novel yang baru saja kupinjam. Setelah pulang dari kampus kusempatkan mampir keperpustakan kota untuk meminjam beberapa buku.
"High heels-nya simpen aja sih, bahaya!" Sebuah suara membuatku langsung mendongak, Perempuan ini memang selalu cerewet tentang apa pun yang aku kenakan atau pun lakukan. "Kamu tau nggak sih? Pas kamu lari dari bus ke halaman kampus pake sepatu tiga puluh centi, hati gue kek mau copo!" omel Sabrina sambil merebut paksa bahan bacaanku.
"Kenapa hati lu yang copot, gue aja baik-baik aja." respon-ku santai sambil merebut kembali novel yang tadi kubaca.
"Ambil cuti aja si eluu, fix gue udah ngos-ngosan sendiri liat elu jalan ke kampus dengan perut segede itu." Perempuan itu berceloteh sambil menatapku tajam.
"Ya ampun, Dek, Mama kamu nggak bisa dibilangin. kamu nanti kalau udah gede jangan ngikutin sifat mama ya." Sabrina mendekatkan wajahnya keperutku dan mengecup nya pelan. Sebelah tangan nya menyentuh perutku yang sudah sangat menonjol lalu sebuah gerakan bisa kurasakan. Sabrina mendongak lalu mata kami saling bertemu. "Masya Allah, Adik nge-respon gue dong! YAAMPUN SI ADIK BAYI TAU AJA KALO GUE LAGI NGAJAK BICARA, GEMES BANGET WOY!" Perempuan itu berteriak histeris, lalu tangannya kembali mengelus permukaan perutku. Dan aku hanya diam membisu.
"Selama lima bulan, ini sering terjadi atau baru first timee nih?" tanya Sabrina ingin tau.
"Malem, gerak-gerak aja nggak sampe nendang kayak tadi," jawabku jujur. Awalnya aku tidak menyadari hal ini, tapi karena minggu lalu hampir setiap malam gerakan itu kurasakan. Dan dari hasil pencarian di internet, menunjukan bahwa usia kehamilan trimester kedua memang sudah seharusnya adik bayi mulai bergerak, maka pada akhirnya aku terbiasa dengan hal itu. Tapi untuk hari ini aku merasakan kembali takjub karena ini pertama kalinya dia menendang, bukan hanya bergerak, tendangan yang seolah memberitahu bahwa ada nyawa lain di dalam tubuhku.
"USG yuk!" Sabrina menatapku penuh harap dan dengan cepat aku menggeleng. "Ya ampun Naraya, selama ini kamu sama sekali tidak memeriksakannya ke dokter loh. Harusnya setahu aku ya, tiap bulan gitu kamu harus kontrol lihat perkembangan si adik terus pantau berat badan kamu gitu, naik nya sesuai gak sama usia kehamilan." Nasehat Sabrina tentu saja kuhiraukan.
"Yaampun adik bayi, mama kamu gabisa dibilangin ya." Dengan wajah sebalnya perempuan itu kembali mengelus permukaan perutku. Entah bagaimana bisa tiba-tiba saja blouse-ku terangkat dan terlihat lah sesuatu yang selalu aku tutupi. "Astaga Nara, kamuu... "
"Gila kamu ya, Nay?" Dengan kilat emosi perempuan itu meledak.
"Sudahlah, Sab, aku baik-baik saja." Kuhembuskan napas pelan, mencoba untuk tenang.
"Kamu bener-bener sebenci itu ama si adik? Sampe kamu pakai korset sekenceng itu? Astaga Naraya kamu ngotak kan kalo diperut kamu itu ada nyawa?!" Emosi Sabrina meledak-ledak, bahkan kini telunjuk nya sudah mengacung tepat di depan wajahku. Kuhembuskan napas lelah, entah ide dari mana yang membuatku bisa berpikir untuk menggunakan korset. Aku hanya merasa tidak nyaman dengan perut sebuncit ini.
"Kenapa kamu setega itu, Nay?" Dengan kasar perempuan itu mengguncang bahuku dengan air mata yang sudah menetes.
"Anak ini harus belajar, bahwa dunia tidak seindah itu. Dia hadir di antara dua orang yang tidak siap menerimanya, dia lahir dari wanita yang tidak berhati sepertiku." Kutarik napas dalam agar lebih rileks. "Maka dari itu dia harus merasakan kesakitan ini lebih awal, dia harus tau bagaimana aku terpaksa mempertahankannya. Ini bahkan belum seberapa aku menyakitinya, akan ada banyak hal yang bisa kulakukan agar anak ini menyerah berada dalam diriku, "blanjutku setenang mungkin. Kusingkirkan perlahan tangan Sabrina dari bahuku. Aku bangkit dari sofa lalu berjalan menuju balkon, meninggalkan perempuan itu yang masih diam mematung. Katakanlah aku manusia jahat, biarlah seperti itu karena kalian tidak tau rasanya menjadi diriku.
***
"Mama jadi jemput 'kan, Sab?" tanyaku kepada perempuan di sampingku dan dijawab dengan anggukan.
"Kenapa?Sakit?" Sabrina menatapku khawatir dan kujawab dengan gelengan. "Duduk saja, kubawakan kopermu", sambungnya sambil membantuku duduk dan aku menurut.
"Kenceng saja seperti biasa." Aku meringis sambil menepuk-nepuk pelan perutku.
"Copot saja korsetnya, marah dia," ledek Sabrina dan aku mengerucut sebal, anak ini benar-benar melunjak sekarang, menyebalkan.
"Aku ke kamar mandi bentar, nyerah mau copot korset." Akhirnya aku menyerah. Kulihat Sabrina yang tertawa keras melihat penderitaanku.
*
"Iyain, ku lepas noh jangan bikin perut saya kenceng lagi." Dengan sebal aku melepas korset dan kemben yang membelit kencang dipermukaan perutku. "Nakal kamu ya sekarang. kalau aku nyakitin kamu sekarang udah bisa bales gitu,siapa yang ngajarin coba?" lanjutku sambil berkaca pinggang dan sebuah tendangan membuatku semakin mengerucut kesal. Dasar adik menyebalkan.
"Naraya, mama kamu dateng tuh." Suara itu membuatku dengan tergesa memasukan korset dan kemben kedalam tas lalu berlalu keluar.
"Pasti ngomelin si adik?" Sabrina menatapku penuh selidik dan kubalas dengan anggukan. Perempuan ini adalah orang satu-satunya yang selalu melihatku uring-uringan dengan perutku sendiri.
"Awas, jatuh cinta sama si adik loh,"
godanya membuatku semakin kesal saja. Anak sialan itu kembali bergerak membuatku dengan cepat menyentilnya. "Eh jangan main tangan." Sabrina melotot galak ke arahku. Kami berjalan beriringan keluar dari toilet bandara. Dan ketika kulihat mama yang berdiri dari kejauhan, tanpa aba-aba aku berlari kencang, sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan beliau.
"MAMA NARAYA KANGEN!" teriakku histeris masih dengan berlari, tak kupedulikan beberapa orang yang aku tabrak intinya aku sudah sangat tidak sabar untuk memeluk mama.
"Gila kamu Nay, " Suara dibelakangku tak lagi kupedulikan.
"Miss you so much, Maa." Kutubruk tubuh mama dengan tergesa. Dengan kencang kupeluk wanita yang telah membawaku ke dunia ini. Wanita terbaik dalam hidupku.
"Nara kamu sedang hamil, kenapa kamu bisa lari sesantai itu?" Mama
Melepaskan paksa pelukanku lalu menatapku tidak suka.
"Maa, kangen," cicitku pelan, kupeluk lagi tubuh wanita kesayanganku itu.
"Kalian sehat?" Usapan pada perutku membuatku selalu saja membeku. Tendangan kecil itu kembali terasa membuatku mengumpat sebal. Dasar adik caper. "Eh dia menendang ya?" Mama menatapku takjub dan dengan malas aku mengangguk.
"Adik memang seperti itu tante, dia senang sekali me-respon jika disentuh." Sabrina ikut berbicara membuat mama tertawa.
"Jagoan ya mungkin kalau seaktif ini?" Pertanyaan mama hanya membuatku menggaruk tengkukku yang sama sekali tidak gatal. "Benar' kan?" Mama menatapku dan Sabrina bergantian.
"Narayanya nggak maudiajak USG Tan," jawaban Sabrina membuat mataku hampir saja lepas karena melotot.
"Kenapa? Tapi kamu rutin periksa' kan?" Ada nada khawatir di dalamnya, kuangguki pertanyaan mama walau berbohong. Bukankah tidak apa berbohong demi kebaikan?
"Nanti USG disini saja ya, Maa. Biar kejutan buat semua," ucapku sambil merangkul lembut bahu mama. Aku tidak mau mama sampai tau bahwa aku tidak pernah membawanya ke dokter sama sekali.
**
Aku berbaring diatas ranjang sambil memandang langit-langit kamar yang entah sudah berapa lama tidak kutempati. Kuhembuskan napas kasar, lalu pandanganku beralih pada sesuatu yang menonjol dibagian tubuhku. Gerakan itu tidak terkendali di jam-jam tidur seperti ini dan itu membuatku sangat-sangat terganggu.
"Adik bobok ooo adik bobo kalau tidak bobok aku sentil.. adik bobok ooo adik bobo kalau tidak bobok aku sentil..." Nyanyiku lirih sambil membuat putaran disekitar perutku dan terbukti tendangan itu mulai mereda walau tidak berhenti sepenuhnya.
"Pintar sekali, anak siapa coba?" godaku sambil mengelus lembut perutku, tapi tentu saja tidak dijawab. "Selamat tidur beban menggemaskan." Aku terkekeh sambil menarik selimut hingga batas dada. Dan kucoba memejamkan mata.
DUKKK
"Adikk!" Dengan sebal aku bangkit dan bersandar dikepala ranjang. "Saya minum obat tidur, kalo kamu nggak bisa diam! " Kusentil perutku dengan perasaan kesal luar biasa.
