Bagian 3 : Pertengkaran.
"Aku mandi duluan, kamu nanti!" teriaku nyaring. Seumur hidup tidak pernah kurasakan yang namanya berbagi sesuatu. Anak tunggal membuatku bisa menguasai apa pun yang berada di dalam rumah.
"Bangun terakhir juga, minta mandi awal, enggak adil, Nay! " Karan ikut berteriak, suasana pagi pertama sebagai suami istri di awali dengan percekcokan indah di depan kamar mandi.
"Ngalah ngapa, kamu 'kan bisa mandi di bawah," pintaku sambil berusaha masuk, tetapi lelaki sialan ini jelas saja menghalangi.
"Perkataan itu buat kamu saja, ngalah mandi di bawah, saya sudah telat ini mau jemput Raisa." Karan memegang kuat kedua tanganku, sedangkan aku memelototkan mata tidak terima.
"Wah nggak bener ini laki gue, pagi pertama udah KDRT! Harus dilaporin sama pihak yang berwajib!" murkaku sambil menarik tanganku yang berada di genggaman Karan.
"Eh maaf-maaf, apa sakit? Aku tidak sengaja sungguh. Ini tadi refleks." gugupnya sambil melepaskan tanganku, tanpa melewatkan kesempatan aku langsung melesat masuk ke kamar mandi.
"NARAYA..."
"Iya, husband?"
"Awas kamu ya..."
"Hahahahahahaha. " Tawaku pecah. padahal tadi tanganku sama sekali tidak sakit, lelaki itu hanya menggegam sama sekali tidak menyakiti, tapi ternyata dia gampang sekali dibodohi. Awkwkwk.
*
"Karannnnn!" teriakku kesekian kalinya dari balik pintu kamar mandi, tetapi tetap tidak ada respon.
" I love you lallalala, miss u so much lalala, trulalala huhuhu...."
"KARANHA astaga!" Habis sudah kesabaranku, lelaki itu tetap saja bernyanyi, tanpa mempedulikanku yang entah sudah berapa kali
memanggilnya. "KARAN!" Entah apa yang marasukiku, dengan berani kulempar gayung ditangan yang sukses mengenai kepalanya.
"Yaampun!" Kugigit kuat bibirku, merasa perbuatanku kali ini sudah melampui batas. Saat lelaki itu bangkit dan berjalan mendekat ke arahku, saat itu juga kurutuki perbuatan lancang yang baru saja kulakukan.
"Mau apa? Mandi bareng?" Respon yang Karan berikan diluar dugaan. Lelaki itu tidak marah sama sekali malah terkesan bercanda. Kutatap wajah nya lekat. Benar, tidak ada kemarahan sama sekali. "Heh ngalamun, buruan saya juga mau mandi," lanjutnya berkacak pinggang.
"Handuk sama baju saya ada di atas tempat tidur, tolong ambilkan," cicitku pelan. Lelaki itu tersenyum lalu memiringkan kepalanya.
"Ambil sendiri dong, punya kaki tangan lengkap 'kan?" Sialan, Lelaki ini menggodaku. Tatapan nya semakin tajam dan tiba-tiba turun kebawah, aku sedikit mundur agar tubuh polosku tetap aman di balik pintu kamar mandi.
"Karan, katanya keburu telat. Ayolah jangan banyak bicara," rengekku sedih. Dan sialnya lelaki itu malah tertawa terbahak. Entahlah, aneh sekali.
"Satu ronde dipagi hari, tidak akan membuatku telat." Lelaki itu semakin mendekat, bahkan tangannya sudah hampir menyentuh knop pintu. Tetapi, sebelum hal itu terjadi aku segera menutupnya. Astaga, pasti wajahku merah padam!
"Hahahahahahahhaha" Suara tawa itu semakin mempercepat laju jantungku. "Wajahmu merah padam,Naraya Xafira!" lanjutnya kali ini membuat kalah telak. Dasar, kamu Naraya begitu saja blushing.
"Sepertinya pas digenggamanku nih!"
Suara itu membuatku refleks kembali membuka pintu kamar mandi. Kurang ajar, lelaki itu memutar-mutar penutup aset kembarku.
"Karannnn!" Aku berteriak nyaring. Lelaki itu mendongak lalu menatapku penuh seringahan. Ingin sekali aku berlari lalu mencakar wajahnya, tetapi keadaanku yang telanjang membuatku tidak bisa berkutik.
"Kamu menggemaskan. Aku suka." Karan berjalan mendekat lalu menyerahkan seperangkat pakaian ku beserta handuknya.
"Terima kasih." Cicitku, lalu kututup pintu dengan cepat. Setelahnya Kudengar gelak tawa Karan yang berdengung buruk di telingaku. Sialan. Kenapa lelaki itu senang sekali mengerjaiku?!
"Berangkat bareng siapa?" tanyanya saat aku keluar dari kamar mandi.
"Kepo sekali anda." aku berjalan ke ranjang, lalu mengobrak-abrik tasku untuk mencari seperangkat alat make up yang entah berada di mana.
"Ayah tadi menelfon, menyuruhku mengantarmu ke kampus." Karan membuka laci, lalu menyerahkan tas yang dari tadi kucari tapi nihil hasilnya. "Kemaren kamu menaruhnya sembarangan, jadi kusimpan di laci," sambungnya sebelum mulutku sempat terbuka dan hanya kubalas dengan anggukan.
"Mau berangkat bareng aku?" tawarnya sambil ikut duduk di sebelah. "Nanti habis nganter kamu, baru saya jemput Raisa," lanjutnya dan aku menggeleng.
"Aku berangkat bareng Calvin, nih dia udah di depan" Sambil mengusap lipstik di bibir, kuperlihatkan chat masuk yang berasal dari kekasihku. "Aku berangkat dulu, udah telat nih" Kuambil cepat make up mahalku dan segera kumasukan ke dalam tas.
"Pulang nya bagaimana?" Karan menarik tanganku yang hampir menyentuh handle pintu. "Mau saya jemput?" lanjutnya sambil menatapku penuh tanya.
"Astaga Karan, kamu cerewet sekali sih," ucapku kesal, kutarik pergelangan tanganku yang berada pada genggamannya. "Aku pulang sama siapa aja bukan urusan kamu." Emosiku memuncak, sekilas kulihat ekspresi wajah Karan yang berubah seperti marah membuatku seketika menciut.
"Maaf,Nanti saya pulang sama Calvin," cicitku saat lelaki itu hanya diam sambil menatapku ku tajam.
"Pernikahan ini memang tidak diinginkan Nara. Tapi kamu tetap istriku, jika terjadi sesuatu padamu maka akulah orang pertama yang akan disalahkan!" Karan melepaskan tanganku dan menatapku lembut "Belajar yang benar, jangan pacaran mulu!" lanjutnya sambil mengacak rambutku, aku meringis lalu mengangguk patuh.
"Aku berangkat ya Karan, Wassalamualaikum. " Kulambaikan tanganku sambil berlalu pergi.
"Wa' alaikumusalam, hati-hati. Kalau mau pergi beri saya kabar."
"Siap, Komandan," jawabku sambil berlari keluar.
***
"Kamu gila Nara!" teriak Calvin sesaat setelah aku menjelaskan segalanya. Kutarik lelaki itu ke kursi taman, lalu kuberikan sebotol air mineral dan dengan cepat dia meneguknya hingga kandas.
"Aku sudah bilang bahwa aku juga tidak tau, itu terjadi begitu saja, Honey!" cicitku pelan, mataku sudah berkaca menahan cairan yang terus saja memberontak ingin keluar.
"Kamu sudah menikah, Naraya, lalu untuk apa hubungan ini?" Lelaki itu menatapku iba, diambilnya sebelah tanganku untuk digenggam. "Aku tidak mau dicap sebagai perebut istri orang," lanjutnya lebih tenang aku menggeleng.
"Aku dan Karan tidak ada apa-apa, Percayalah. Kami berdua juga terjebak pada pernikahan ini." Air mataku akhirnya tumpah, kugenggam tangan lelaki itu kuat. Lelaki yang sudah lebih dari lima tahun menemani keseharianku. Sungguh, aku sangat mencintainya.
"Dimata hukum ataupun agama kalian adalah suami-istri." Calvin berkata sambil mengusap lembut air mataku. "Aku ikhlas Nara jika kamu lebih bahagia denganya," sambung lelaki itu lirih membuatku semakin terisak.
"Kamu menyerah?" tanyaku sesenggukan. "Cuma sampai sini perjuanganmu?" lanjutku bergetar.
"Naraya, kamu perempuan bersuami. Aku tidak mau menjadi orang jahat." Lelaki itu menatapku lembut, kembali mengusap lelehan kristal bening yang semakin berjatuhan.
"Karan juga memiliki kekasih dan dia tetap memperjuangkannya, walau pun status nya sekarang adalah suamiku." Jujurku membuat lelaki itu terkejut. "Dia tetap mencintai kekasihnya, tapi kamu menyerah. Hanya karena hal ini kamu menyerah?Kamu payah calvin!" teriakku murka, kutarik kerah kemeja Calvin dan menangis sejadi-jadinya.
Sebuah tangan merengkuh tubuh bergetarku dan memeluknya kuat. "Sudah jangan menangis,maafkan aku," ucap lelaki itu pelan membuatku semakin terisak.
"Aku sangat mencintaimu, Calvin!" lirihku.
"Aku juga," jawabnya pelan. Tangannya terus mengusap lembut punggungku yang bergetar.
*
Perempuan itu ternyata cantik sekali. Rambut lurus berwarna coklat,mata indah berwarna terang dan yang paling membuatku iri adalah badan idealnya yang nampak indah. Itu adalah badan impianku sejak dulu tetapi sampai sekarang tidak terkabulkan!
Dia cantik.
Dia manis.
Dan
Dia begitu baik dan Ramah.
Namanya
Raisa Annora.
Dia adalah kekasih Karan, malam ini kami sepakat untuk double date, berharap dengan ini pasangan kita akan semakin percaya bahwa pernikahan ini hanya di atas kertas bukan seutuhnya. Memang terlihat lucu tapi ini benar-benar terjadi.
"Raisa, kamu sangat cantik," pujiku membuat perempuan itu tersenyum malu.
"Kamu lebih cantik Nara. Benar kata Karan, kamu itu menggemaskan," jawab Raisa dengan suara lembutnya, membuatku kembali terpana.
"Aku juga benar 'kan jika mengatakan suaramu dan dia sangat berbeda, aku sempat kaget kenapa ada perempuan dengan suara cempreng seperti toa di dunia ini," sambung Karan tanpa disaring membuatku melotot tidak terima.
"Oh hello, kenapa anda sewot sekali ya, Bapak Karan yang terhormat? Bahkan kekasih saya saja menerimaku apa adanya!" sautku tidak terima.
"Sayang, malu loh dilihatin. Mungkin Karan hanya bercanda, jangan dimasukin hati, ya." Calvin berucap lembut sambil membelai surai hitamku.
"Karan jangan seperti itu, dia istrimu." Raisa ikut membela, membuatku kali ini tersenyum puas.
"Denger noh, aku kan istri kamu! " Kujulurkan lidahku sebagai pertanda bahwa aku menang, karena banyak yang membelaku.
"Gapernah tuh nikah sama toa berjalan." Karan ternyata tidak mau kalah, kulayangkan kotak tisu yang ada di meja dan dengan mulus melayang di dahinya.
"Hahahahahahahaha."
"Eh, ngajak tawur, ya?" Lelaki itu tidak mau kalah, diambilnya kotak tissue dan dilempar kembali kearahku tetapi meleset jauh membuatku merasa semakin menang.
"Gitu aja payah!" Kembali kujulurkan lidahku sebagai tanda kemenangan.
"Awas kamu ya!" Karan bangkit, seperti akan memakanku hidup-hidup tetapi Raisa langsung mencegahnya, hal itu membuatku semakin terbahak.
"Eh sudah-sudah, kalian kenapa seperti anak kecil sih." Raisa akhirnya angkat bicara, tangannya masih setia memegang tubuh Karan yang seperti akan menerkamku.
"Apa kalian berdua jika dirumah juga seperti ini?" Tanya Calvin yang dari tadi diam membuatku dan Karan saling menatap penuh permusuhan.
"YAH, MALAH LEBIH PARAH!" Jawab kami serentak dengan mata yang masih saling menatap penuh permusuhan, tidak kupedulikan Calvin dan Raisa yang hanya bisa menepuk jidatnya karena kelakuan kami.
