Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 2 : Perjanjian.

"Aku mengerjab pelan berusaha menormalkan penglihatanku yang masih buram, kutelusuri penjuru kamar dan merasa sangat asing dengan semua ini, kamar siapa? Aku di mana? Dan sedang apa?

Kupukul kepalaku yang berdenyut berkali-kali sambil mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi dan ketika jawaban itu kudapatkan aku melotot tidak percaya.

Aku sudah menikah beberapa jam yang lalu!

Dengan cepat aku bangkit dari ranjang, lalu bergegas keluar dari kamar. Di mana perempuan itu, mau bagaimana pun dirinya sudah terikat denganku. Bahkan jika terjadi sesuatu padanya, sangat bisa dipastikan ayah akan menghajarku habis-habisan.

Langkahku seketika terhenti saat menuruni anak tangga, gadis itu meringkung nyaman dengan masih setia memakai setelan kebaya bekas ijab qobul tadi. Astaga, kenapa wanita itu begitu pemalas?

"Hey-hey bangun!" ucapku sambil mengguncang bahunya, perempuan itu mengerjab pelan lalu mata itu terbuka."Bersihkan dirimu," lanjutku cepat sambil berlalu pergi. Bibirku sedikit terangkat ketika melihat wajah khas bangun tidurnya, menggemaskan.

*

Sejak keluar dari kamar mandi dengan setelan baju tidur panjang bergambar boneka, perhatikanku tidak lepas dari perempuan yang sedang sibuk merapikan baju di depan lemari itu. Bibir mungil berwarna pink, mata indah berwarna hazel, serta rambut yang bergelombang karena efek sanggulan tadi benar-benar menjadi pemandangan yang cukup menarik di mataku.

"Cantik juga," gumanku tanpa sadar.

"Memang, baru sadar, ya?" saut perempuan itu sambil berjalan ke arahku dan detik itu juga kurutuki mulut sialanku yang tidak bisa diajak berkompromi. "Geser aku mau tidur," lanjutnya tanpa dosa membuatku ternganga, tidur bersama?  "Bagi bantal nya!" Sambil berkacak pinggang perempuan itu menunjuk tumpukan bantal yang kujadikan sandaran.

"Serius?" tanyaku memastikan. Pada umumnya, dicerita pernikahan paksa tidak ada yang namanya tidur satu ranjang. Pasti ada salah satu yang mengalah di lantai atau pun di sofa, kebanyakan perempuan yang biasanya menolak, tapi ini? Apa perempuan ini sudah sering tidur dengan banyak lelaki? Astafirullah.

"Lebay, kayak nggak pernah tidur sama perempuan aja!" cibirnya sambil menarik kasar bantal di belakangku dan setelahnya berbaring memunggungiku.

"Coba perkenalkan diri kamu secara singkat." Kalimat itu tanpa sadar terlontar lancar dari lisanku.

"Penting?" Dia membalikan badan lalu menatap manik mataku lekat, hal itu tanpa sadar membuatku meneguk liur sendiri. "Dih, malah ngalamun!" sambungnya sambil beringsut bangun dan ikut bersandar di kepala ranjang.

"Okay. Naraya Xafira Sharq. Panggil saja Nara. 19 tahun. Kuliah kedokteran umum disalah satu universitas di Jakarta," ucapnya lancar sambil mengulurkan sebelah tangannya kepadaku. "Ayo terima tangan aku, kita kan baru berkenalan," lanjutnya sambil mengangkat sebelah alisnya membut bibirku tersungging.

"Karanha Fairel Calief. Lulusan Management, sekarang saya bekerja di perusahaan papa." Kusambut tangan mulus nya dengan cepat. Kami seperti anak SD yang baru saja bertemu dikelas. Hahaha.

"Senang berkenalan denganmu, suami," balasnya sambil menekan kalimat akhir, hal yang membuatku bisa tertawa lepas.

"Kamu juga keturunan India?" tanyaku sambil menelisik setiap jengkal wajahnya dan dibalas dengan anggukan. "Tapi wajahmu lebih terlihat seperti orang barat," lanjutku sambil memperhatikan wajahnya secara intens.

"Jangan menatapku seperti itu. Aku memang cantik. Terimakasih." Kugelengkan kepalaku tidak menyangka, perempuan ini terlalu percaya diri.

"Yasudah aku mau tidur."

"Eh," cegahku saat perempuan itu ingin berbaring, kulihat Nara yang langsung menatapku kesal. Mungkin dirinya lelah, tapi aku tidak akan bisa tidur sebelum tau alasan di balik ini semua.

"Sebesar apa salahmu, sampai orang tuamu memberikan hukuman seberat ini?" tanyaku ingin tau, Nara terlihat seperti perempuan baik-baik, hanya saja sepertinya memang dia sedikit manja.

"Hukuman apa?" Nara menatapku bingung. Aku kembali terkekeh untuk kesian kalinya, dia terlihat menggemaskan dengan ekspresi seperti ini.

"Aishh, kenapa malah tertawa? " Bibirnya mengerucut sebal.

"Karena kamu dinikahkan secara paksa dengan orang yang bahkan tidak kamu kenal. Pasti ada alasan besar di balik itu, bukan?" tanyaku bertubi membuat perempuan itu seketika diam. "Kamu seperti perempuan baik-baik, Naraya."

"Aku tidak sebaik yang kamu liat. Aku pemabuk."

"Apa?" Dengan refleks aku berteriak. Nara meringis menatapku yang terlihat shock .

"Mabuk, balapan mobil, dugem." Nara menyebutkannya dengan gamblang lalu setelahnya tertawa miris. "Aku selalu mengabaikan nasehat papa dan mama, aku pikir tidak apa selama sekolahku tidak terganggu tapi nyatanya mereka tidak menyukainya," lanjut Nara lirih sambil mengusap cepat pipinya yang berair.

"Kita sama."

"Maksudnya?" Nara menatapku bingung dan kubalas dengan senyuman.

"Kelakuaku juga tidak jauh darimu, berarti bisa kita simpulkan kenapa kita sampai dijodohkan dengan cara seperti ini." Aku berucap sambil menatapnya serius, Nara yang awalnya terlihat bingung mulai menganggukan kepalanya.

"Lima hari yang lalu saya sempat ditahan polisi," ceritaku untuk mencairkan suasana yang entah kenapa tiba-tiba menjadi canggung. "Aku menabrak sebuah angkringan saat balapan motor," lanjutku sambil mengingat kejadian beberapa hari lalu, tanpa diduga Nara tertawa keras sampai membuatku menengok kearah nya. Kutatap wanita itu lekat, manis sekali. Astaga.

"Kamu lucu, ya." Respon nya sambil memegang perutnya karena terlalu keras tertawa. "Aku kira kamu itu orang yang kaku, dingin, dan keras.  Setelah ijab qobul kamu mengamuk seperti macan," lanjutnya sambil memanyunkan bibirnya. Bibir itu, sexy sekali.

"Aku hanya shock, tiba-tiba menikah, konyol sekali," jawabku sambil mengusap wajahku kasar, otak lelakiku sudah tidak beres hanya karena melihat bibir Nara.

"Kamu bisa menolak, kenapa itu tidak kamu lakukan?" Perempuan itu bertanya.

"Ayah mengancam akan menghancurkan karier Raisa," jawabku jujur. Aku tidak akan membuat separuh nyawaku tersakiti, tidak akan pernah.

"Raisa?" Perempuan itu mengerutkan dahinya.

"Ya, dia kekasihku." Aku memutuskan untuk jujur. Bukankah itu lebih baik?

"Dia adalah seorang model, ayah memiliki kekuasaan besar untuk menghancurkan karier Raisa. Ayah mengancamku saat aku menolak pernikahan ini. Aku tidak memiliki pilihan lain," lanjutku lirih dan kulirik Nara yang hanya membisu.

"Harusnya kamu yang menolak, Naraya!"

"Aku?" Perempuan itu mendongak dan aku mengangguk mantap. "Aku juga tidak bisa," sambungnya.

"Kenapa?"

"Mama" Jawabnya singkat membuatku tidak mengerti. "Aku tidak bisa membantah wanita yang telah melahirkanku, " lanjutnya kembali.

"Tapi kamu berkata bahwa kamu selalu mabuk, bukankah itu juga sudah termasuk membantah perkataan orang tua?!" tanyaku frustasi. Alasanku tidak bisa menolak pernikahan ini sangat jelas. Sedangkan Nara? Sangat tidak masuk akal.

"Mama tidak pernah marah jika aku mabuk, dia hanya menasehati, aku kira itu nasehat biasa, aku tidak tau mama ternyata tidak menyukai tindakanku." Nara kembali berucap sambil memijat pelipisnya.

"Orang tua mana yang senang anaknya mabuk, tidak ada Naraya!" balasku yang mulai tersulut emosi.

"Tapi kamu juga melakukannya!" Perempuan itu berucap dengan nada yang sudah naik satu oktaf.

"Yaa karena aku memang bukan anak baik-baik," jujurku.

"Lalu aku harus apa?" tanya perempuan itu menatapku sendu. "Aku harus apa karan?" sambungnya masih menatapku lekat.

"Semua sudah terjadi," pasrahku.

"Maka?"

"Jalani saja, entah sampai kapan, anggap kita dua orang asing yang hidup bersama. Maaf untuk menjalani kehidupan rumah tangga sepertinya kita tidak bisa, sungguh aku mencintai Raisa," jujurku sambil menatapnya lebih lembut. Untuk memaksakan cinta kepada Nara sepertinya sangat sulit jika hatiku masih milik Raisa sepenuhnya.

"Tenang Karan, aku juga memiliki kekasih." Perempuan itu tersenyum sambil menepuk-nepuk bahuku.

"Benarkah?"

"Ya, namanya Calvin, aku sudah menjalin hubungan dengannya sejak sekolah menengah pertama." Nara tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang terpajang rapi.

"Wow, lama sekali." Takjubku, bahkan aku dan Raisa yang baru berjalan tiga tahun saja rasanya sudah semenyesakan ini karena pada akhirnya aku tidak menikah dengan nya. Apalagi Naraya?

"Iya, mama dan papa sangat menyukainya, tapi entah kenapa aku malah dinikahkan denganmu." Nara berkata lirih dengan ekspresi yang terlihat sangat menyesal.

"Permainan takdir," sautku membuat perempuan itu mengangguk. "Mari kita jalani ini perlahan, kita bisa menjadi teman. Tidak ada larangan untukmu bertemu kekasihmu, begitu pun sebaliknya. Bagaimana?" Tawarku serius dan kulihat bibir Nara yang langsung terangkat, perempuan itu kembali mengulurkan sebelah tangan nya kearahku.

"Dengan syarat orang tua kita tidak mengetahuinya? " Kusambut uluran tangan itu dengan cepat.

"Baiklah. Deal!" Nara berteriak histeris. Membuatku menggeleng-gelengkan kepalaku heran. "Kamu melepaskan nya tadi," lanjutnya tiba-tiba sambil menyerahkan sebuah cincin putih yang baru saja dia ambil dari nakas.

"Simpanlah. Nanti jika ada orang tua kita, sebaiknya kamu pakai." Nara mengambil tangan kananku, lalu ditaruhnya cincin itu di sana. Sedangkan aku malah membeku seperti orang linglung.

"Baiklah, terima kasih. Selamat tidur," jawabku ketika tersadar dari lamunan, kulirik Nara yang sudah lebih dulu berbaring di ranjang dengan posisi membelakangiku. Kuusap kasar wajahku, astaga, aku ini kenapa?!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel