Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 13 : Kenangan.

Dua bulan bahkan berlalu begitu cepat. Aku terduduk manis di sebuah cafe sambil menikmati pemandangan malam kota Burlington dari lantai teratas. Memutuskan untuk pindah tempat tinggal bukan perkara yang mudah, bahkan aku hampir saja menyerah mengurus surat kepindahan kuliah dari Australia ke Amerika. Tapi Karena bantuan seorang perempuan yang sekarang telah resmi menjadi sahabatku, semua itu bisa terselesaikan dengan sempurna.

"Kenapa?" tanya perempuan berambut panjang itu sambil menyentuh bahuku dan aku menggeleng. "Kamu merintih dari tadi, apa kamu kira aku tidak dengar?" lanjut perempuan itu memandangku penuh selidik. Neina ini memang sangat cerewet, tapi aku sangat bersyukur bertemu dengan perempuan sebaik dia.

"Payudara ku kenceng banget," jawabku berbisik karena banyak orang di sekitar kami. Memang sejak melarikan diri dari rumah sakit hal ini sering sekali terjadi, bahkan kadang asiku sampai menembus keluar.

"Aneh banget nggak sih? Belum pernah nih gue lihat kejadian begini, kalau orang habis lahiran mah wajar, ya? Nah kalo elu, pacar aja nggak punya mana bisa coba?!" cerocos perempuan itu tanpa henti membuatku hanya bisa menghembuskan nalas jengah. kuusap perutku yang kembali terasa perih karena luka caesar itu, adik kamu memang sudah pergi, tapi kenapa penderitaan ku belum juga berakhir?!

"Perut elu juga kenceng?" Lagi-lagi perempuan itu bertanya sambil mengikuti gerakan tanganku yang sedang mengelus perut, membuatku mau tidak mau harus berbohong dengan gelengan. Sejak jahitanku lepas karena adegan melarikan diri dari rumah sakit, perih diperutku bahkan semakin menjadi.

"Nara, apa ada yang kamu sembunyikan?" tanya Neina kali ini lebih mirip bisikan.

"Aku hanya tidak enak badan saja, jangan khawatir," jawabku dengan senyum yang kupaksakan.

"Kamu pernah melahirkan?" Tanya perempuan itu tiba-tiba, membuatku mendongak kaget. "Aku melihat beberapa obatmu, aku kira kamu sakit. Tapi setelah aku memastikan kandungan obat itu, aku jadi berpikir hal lain. Apalagi sekarang kamu merintih karena payudaramu terasa kencang," lanjut perempuan itu cepat membuatku hanya bisa menghembuskan napas pelan.

"Ya, aku kesini setelah melahirkan," jujurku kepada Neina.

"Ceritakan semuanya jika kamu sudah siap, kalau belum aku tidak akan memaksa." Perempuan itu tersenyum manis kepadaku, hal yang membuat mataku seketika memanas. Neina ini baik sekali, bahkan ketika 

pertama kali aku menginjakan kaki di 

Negara ini, dia yang selalu membantuku.

"Satu minggu pertama kamu tinggal di apartemen, aku memang sudah melihat keanehan yang terjadi padamu. Kamu sering sekali meringis sambil mengusap perut, bahkan pernah aku melihatmu sampai menangis," lirih Neina sambil menatapku sendu. "Maaf Aku diam saja, aku takut mengganggu privasimu, jadi aku memilih pura-pura tidak tau," lanjutnya pelan dan aku mengangguk.

"Aku suka kangen adik kalau malam, dia menyebalkan tapi ternyata nganggenin," ucapku sambil menghapus air mataku yang jatuh sambil tertawa sumbang.

"Adik?" tanya perempuan itu mengernyit dan kujawab dengan anggukan.

"Adik itu makhluk yang pernah tinggal di perutku," jawabku sambil berusaha tersenyum. "Tapi dia sudah tiada, aku membunuhnya." Tambahku kembali membuat wanita itu sampai menyemburkan minuman nya ke wajahku.

"NEINA!" teriakku sebal dan langsung mengambil tisu basah yang selalu aku bawa di tas. "Menjijikan sekali kamu!" omelku sebal sambil mengelap wajahku yang sudah basah dengan jus jeruk.

"Eh maaf banget, aku shock tau," ucap Neina merasa tidak enak sambil  membersihkan meja yang juga terkena semprotan mautnya.

"Aku tidak bisa bercerita panjang, intinya kami dijodohkan. Lalu ada perjanjian pernikahan, suatu hari 

lelaki itu melanggarnya dan makhluk kecil hadir di perutku," jelasku kepada Neina dan wanita itu menyimak dengan patuh. "Makhluk kecil itu adalah pelampiasanku, kamu tau bahwa aku itu nekat dan ya saat aku mengandung aku minum wine dan makhluk itu ...." Perkataanku terhenti, dengan cepat kuhapus cairan bening yang masih setia jatuh di pipiku.

"Kamu harus sabar, Nay, mungkin ini memang sudah takdir makhluk kecilmu " Neina menyodorkan sekotak tisu dan aku menerimanya.

"Aku melarikan diri ke sini karena aku tidak sanggup melihat orang-orang yang dulu menyayangiku berbalik membenciku. Mereka mengecapku sebagai pembunuh, Nei." Aku mulai terisak, kututup wajahku dengan kedua telapak tangan.

"Asal kamu tau bahwa saat itu aku memilih adik untuk diselamatkan. Tapi gara-gara Karan semuanya gagal, lelaki itu tidak memikirkan perasaanku setelahnya." Tambahku sebal sambil mengusap kasar air mataku yang terus saja menetes.

"Karan itu suamimu?" tanya perempuan itu lirih dan aku mengangguk. "Itu karena Karan mencintai kamu Naraya, makannya dia memilihmu," lanjut Neina meyakinkanku dan kubalas dengan senyum getir.

"Ya dia memang mencintaiku, tapi sebagai sahabat bukan istrinya," jawabku jujur dan perempuan itu hanya menatapku dengan kening yang berkerut. Tidak ada yang akan mengerti tentang pernikahan apa yang aku jalani selama ini, sungguh rumit dan tak bermasa depan.

***

Aku menyugar rambutku frustasi, Dua minggu di luar kota membuatku tidak bisa melihat adik sama sekali. Kuambil Ponselku yang tergeletak dimeja lalu dengan cepat kubuka aplikasi galeri, di sana tersimpan rapi foto adik yang selalu aku ambil setiap pagi sebelum berangkat ke kantor.

"Halo," sapaku setelah menarik tombol hijau yang terpampang jelas di layar ponsel. Sedetik kemudian suara seorang perempuan membuat jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Ralat, bukan karena suara nya. Tapi karena kabar yang perempuan itu sampaikan.

"Saya ke sana sekarang!" Dengan tergesa aku menyambar kunci mobil yang berada di nakas. Tidak lagi kupedulikan rentetan jadwal meeting yang sudah menunggu, tidak ada sesuatu yang lebih penting dari makhluk mungil itu. Dia adalah setengah napasku.

Tanpa mempedulikan sekitar, aku berlari masuk kerumah sakit dengan perasaan tidak karuan. kulirik arlojiku yang sudah menunjukan pukul setengah delapan malam. Hampir tiga jam aku berada dalam perjalanan, bahkan aku pergi tanpa memberitahu asistenku. Jika sudah menyangkut adik maka kewarasanku seperti diombang-ambingkan.

"Ada yang bisa saya bantu?" Suara itu membuatku mendongak. Seorang wanita dengan seragam serba putih sudah berdiri tepat didepanku.

"Bayi perempuan yang berada di sini, kalau boleh tau dimana, ya?" tanyaku sambil menunjuk inkubator yang sudah kosong dengan perasaan yang sedikit resah. "Dia sudah dirawat sekitar dua bulanan," lanjutku memberi informasi membuat suster itu sedikit mengernyitkan dahinya.

"Saya suster baru disini, baru seminggu kerja," jelas wanita berperawakan tinggi itu membuatku mengangguk maklum, karena memang selama ini aku tidak pernah melihat wanita bermata sipit itu. "Tapi setahu saya, bayi yang di sini sudah tiada beberapa jam lalu," sambung suster itu membuatku melotot, badanku melemas, seperti ada yang menjatuhiku ribuan beban. Putriku, tidak bisa diselamatkan?

"La-lu seka-rang di mana?" panikku dengan suara yang tergagap. Demi apa pun aku bisa mati jika hal itu benar terjadi. Kutendang tempat sampah disampingku hingga berserakan.

"Ada apa, Pak?" gugup suster itu yang melihatku seperti orang frustasi. "Ada yang bisa dibantu?" sambungnya pelan sambil menatapku bingung.

"Di mana sekarang bayinya?" tanyaku tidak sabar sambil mengacak rambutku frustasi.

"Tadi siang baru dibawa ke rumah duka." Setelah jawaban itu kudapat, aku langsung berlari bahkan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang yang ada dipikirkan ku hanya satu yaitu 'Adik'.

*

Dengan langkah kaki tergesa, aku memasuki bangunan berlantai dua yang terpampang jelas di depan mataku. Rumah ini tampak sepi bahkan satpam yang berjaga di gerbang pun juga tidak ada. kutelusuri penjuru ruangan yang tampak gelap.

"Ke mana semua orang? Apa ke pemakaman adik?" Batinku bertanya-tanya, bahkan setetes air mata sudah jatuh di pipiku. Aku terduduk lemas di sofa lalu kuhubungi mama dengan ponselku tapi tidak ada respon.

"Selamat ulang tahun, kami ucapkan,  selamat sejahtera, kita kan doakan, selamat Panjang umur, sehat sentosa. Happy birthday Karan. Happy Birthday Karan. Happy birthday. Happy Birthday to you." Teriakan disertai lampu menyala itu membuatku refleks mendongak.

"Apa ini?" Aku berdiri, menatap semua orang dengan bingung tapi yang ditatap malah tersenyum tidak jelas, membuat kepalaku semakin berdenyut saja.

"Karan." Sabrina sedikit maju, lalu menyodorkan sebuah kue tepat di depan wajahku.

"Apa kalian semua tidak tau apa yang terjadi pada putriku?" Emosiku mulai tersulut. Siapa yang tidak akan marah, jika disaat sedang berduka malah diberi kejutan ulang tahun seperti ini? Ulang tahun? Bahkan aku melupakannya.

"Karan tidak usah berteriak." Suara seorang lelaki  membuatku langsung menengok, kulihat ayah yang sedang menuruni tangga membuatku semakin tidak mengerti. Kenapa ayah ikut dalam acara tidak jelas ini?

"Kalian semua tidak waras. Apa kalian benar-benar tidak tau tentang apa yang terjadi pada putriku? Aku harus kerumah sakit lagi untuk memastikan. Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran kalian," teriakku sambil mengacak rambut frustasi.  Ketika aku berbalik, tanpa sengaja netraku menatap ke arah tangga, saat itu pula tubuhku langsung menegang.

"Happy birthday Papa." Suara lembut itu bahkan kuabaikan, aku hampir saja terjungkal ke belakang melihat pemandangan di depanku.

"Sini, gendong Mami, Sayang." Sabrina maju, meletakan kue yang tadi disodorkan kepadaku keatas meja,lalu mengambil makhluk mungil berbaju pink yang masih berada  digendongan mama Fatima.

"Papa, aku cantik 'kan?" goda Rafa, tunangan Sabrina. Aku terdiam seperti orang linglung, sambil sesekali mencubiti tanganku sendiri, takut kalau ini hanya mimpi semata.

"D-ia se-lam-at?" tanyaku tergagap, tanpa tau untuk siapa pertanyaan itu aku tujukan.

"Putrimu selamat. Ini adalah keajaiban. Seminggu yang lalu dia kritis bahkan dokter sudah menyerah. Tapi sekarang liat lah. Dia bahkan sudah sangat ceria." Tepukan di bahuku diikuti suara seorang lelaki membuatku menengok. Ayah  merangkul bahuku lalu memelukku erat, membuatku tanpa sadar sudah meneteskan air mata.

"Kamu adalah lelaki terhebat, Putri kecilmu ini akan sangat bangga memiliki papa sepertimu," sambung papa Nara sambil berjalan ke arahku dan langsung memelukku.

"Sudah, Sudah jangan ada adegan sedih, anaknya keburu ngantuk nih." Suara Sabrina membuyarkan kami semua, aku tersenyum menatap makhluk cantik didepan ku. Mirip sekali dengan Nara, sesuai harapanku.

"Gendong aku dong, Papa. " goda bunda sambil menirukan suara anak kecil membuatku mengangguk.

"Hai, Adik," lirihku sedikit kaku, kuulurkan kedua tangan untuk mengambil gadis mungil itu dari gendongan Sabrina, dengan tangan bergetar akhirnya aku bisa menyentuhnya, kucium lembut pipinya dan bayi kecilku itu tertawa. "Tidak ada yang lebih membahagiakan dari ini, terima kasih Adik untuk datang dikehidupan kami. Saya berjanji akan melakukan apa pun untuk membuatmu selalu bahagia," bisiku ditelinga mungilnya, lalu sebuah tangan seperti menarik rambutku membuatku terkekeh, kamu galak seperti mama Nara.

"Make a wish doloo, Bro." Tepukan di bahuku membuatku mendongak, kulihat Rafa yang menyodorkan kue berlilin dua puluh tiga tahun itu di depanku dan aku mengangguk.

"Aku berharap di mana pun Naraya berada, dia akan selalu dalam keadaan baik. Dan aku berharap bisa membesarkan bayi cantik ini dengan baik juga, apa pun yang terjadi nantinya," batinku sambil meniup lilin berangka dua puluh tiga tahun, dan setelah itu kudengar riuh tepuk tangan dari mereka semua. "Terima kasih, Nay, kamu memberikan kado terbaik dihari ulang tahunku," lanjutku lirih sambil mencium lembut kepala putri kecilku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel