Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 12 : Pergi.

"Kita masih bisa bersahabat, bukan?"

Karan tiba-tiba berbicara, mungkin untuk memecah keheningan yang sempat terjadi.

"Sahabat? Apa?" Dahiku mengernyit, tidak mengerti maksud perkataannya.

"Setelah perpisahan ini terjadi, aku berharap kita akan menjadi sahabat seperti saat awal kita menikah dulu." 

Lelaki itu tersenyum kikuk sambil menatapku ragu.

"Tentu saja Karan, kita akan menjadi Sahabat seperti dulu," jawabku sambil membalas senyumannya, lelaki itu mencium tanganku lembut, sesuatu yang membuat mataku seketika memanas. Bahkan setelah aku membunuh anaknya, lelaki ini masih tetap berlaku baik padaku.

"Kita akan jadi sahabat selamanya bukan?" Lelaki itu memberikan kelingkingnya padaku, aku sedikit mengernyit tetapi saat lelaki itu mengedipkan sebelah matanya aku baru menyadari maksudnya.

"Bahkan lebih lama lagi," jawabku mantap sambil menyatukan kelingking kami, lalu setelah itu kami tertawa lepas seperti tidak ada beban.

BRAKKK

"Bunda," ucap lelaki itu tiba tiba membuatku ikut mendongak, kutatap wanita paruh baya yang sedang berdiri didepan pintu ruang rawatku yang terbuka.

"Kenapa masih disini? Ayo pulang! Bunda tidak sudi kamu bersama wanita pembunuh sepertinya." Bunda berjalan ke arah kami dan langsung menarik tangan Karan secara paksa. Sedangkan aku hanya bisa bungkam sambil berusaha menahan cairan bening yang terus memberontak keluar dari kedua mataku.

"Nara tidak salah, Bun, kenapa Bunda terus menyalahkannya? Tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi." Karan menyugar rambutnya frustasi, membuatku hanya tetap membisu.

"Apa lagi yang harus dijelaskan? Mama saja sangat kecewa dengan Nara. Mama yang mengandung dia selama sembilan bulan, Mama yang melahirkan dan mendidiknya sampai sebesar ini, lalu sekarang Mama harus menerima kenyataan bahwa anak kesayangan Mama tega membunuh darah dagingnya sendiri? Mama bahkan sudah tidak punya muka lagi untuk mengakui Nara  sebagai seorang anak!" Suara familiar itu membuatku semakin melemas.Kugigit bibirku kuat untuk menahan isakan yang hampir saja lolos dari mulutku.

"Saya akan jelaskan semuanya tapi bukan sekarang karena kondisi Nara belum stabil. Saya mohon jangan berbicara buruk tentang istri saya!"

Karan masih setia berbicara, kali ini dengan tangan yang disatukan. Aku terdiam, semakin menunduk sambil memilin kuat sprei yang kududuki.

"Kami ingin mengambil jenazah anak kamu, tapi dokter tidak mengizinkannya dan malah meminta Bunda untuk memanggilmu. Sepertinya ada hal penting yang ingin dokter sampaikan." Bunda berucap sambil melirikku sinis, setelah perkataannya selesai kedua wanita paruh baya itu keluar tanpa pamit, ternyata diabaikan itu sesakit ini rasanya.

"Jangan dimasukan hati, mungkin mereka hanya terbawa emosi. Cepat atau pun lambat mereka akan memaafkanmu, apalagi setelah tau bahwa sebenarnya kamu rela mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan adik." Lelaki itu mengusap lembut tanganku, berusaha menghiburku lewat perkataannya.

"Kenapa kamu tidak biarkan aku mati saja? Aku mending mati dari pada melihat orang-orang yang dulunya menyayangiku berbalik membenciku." Kupijat keningku frustasi, setelah beberapa saat kurasakan hangat yang melingkupi tubuh lemahku, lelaki itu kembali memelukku.

"Jangan begini, aku tidak suka melihat kamu seperti ini." Karan berbisik lembut sambil sesekali mengecup keningku.

"Aku pembunuh, Karan." Tangisku kembali pecah, kueratkan pelukannya ketubuhku.

"Kamu masih bisa menukarnya jika kamu bersedia," bisiknya parau membuatku mengernyit, kulepaskan pelukan Karan dan kutatap wajahnya penuh tanda tanya. "Anak bisa dibuat, asal ada pembuatnya yaitu aku dan kamu," ucapnya tersenyum simpul membuatku langsung memukul dadanya dengan pipi yang sudah memerah.

"Gitu aja pipi nya udah kayak tomat," goda lelaki itu sambil membelai pipiku lembut dan kutepis dengan kesal.

"Kamu masih bisa bercanda,ya?! Nyebelin." Kesalku sambil menatapnya penuh permusuhan. "Jangan pegang-pegang!" teriakku saat lelaki itu terus menjahiliku, karan menggelitik pinggangku hingga membutku terbahak.

"Aku cuma pengen liat kamu tertawa seperti ini," ucap lelaki itu sambil membelai lembut pipiku. "Jujur aku marah sama kamu, sangat marah, karena sudah membuat anak aku meninggal, tapi aku berpikir bahwa marah tidak akan mengembalikan apa pun," lanjut Karan sambil menatapku dengan mata berkaca membuatku segera menunduk.

"Aku cukup belajar dengan kejadian ini, bahwa semua yang ada di dunia adalah milik Allah, seberapa besar kekuasaan kita, seberapa besar kekayaan kita dan seberapa tinggi derajad kita, itu tidak akan bisa mempertahankan apa pun jika Allah sudah berkendak," ucapnya lirih sambil mengangkat daguku pelan agar aku menatap wajahnya. "Jangan lagi berkata bahwa kamu adalah pembunuh, Karena ini adalah jalan yang Allah berikan untuk kita. Kelak Adik akan menunggu kita di depan pintu surga,dengan senyum yang sangat manis," lanjut Karan parau, sedetik lemudian kulihat lelaki itu  ikut menangis bersamaku. Kami kembali saling berpelukan, untuk menguatkan satu sama lain.

"Terimakasih Karan, kamu terbaik."

Masih sambil memeluknya, aku berbisik lirih di telinganya.

"Aku mencintaimu, Nay, sangat mencintaimu." Walau samar aku masih bisa mendengarnya, kulepaskn cepat pelukan hangat itu dan kutatap manik mata Karan secara intens.

"A-k-u m-a-u keruangan dokter dulu, kamu tunggu disini, ya," gugupnya sambil bangkit dari ranjang.

"Kamu mencintaiku?" tanyaku sambil menahan tangannya membuat lelaki itu menunduk. "Karan, jawab!" lanjutku sedikit membentak membuat lelaki itu tersenyum lalu melepaskan tarikan tanganku dengan lembut.

"Ya aku mencintai mu, sebagai seorang sahabat," jawabnya sambil membelai sayang rambutku. "Saya keruangan dokter dulu ya, kelinci kecilku," ujar Karan sedikit menunduk lalu mengecup bibirku kilat membuatku melotot .

"KARAN MESUM!" teriakku tetapi tidak dia pedulikan, lelaki itu langsung berlari keluar dengan tawa bahagianya.

*

"Kamu terlalu baik, aku tidak bisa, dan maaf aku harus pergi," gumanku sambil memandang punggung lelaki itu yang perlahan menghilang dari balik pintu.

**

"Apa ini soal jenazah putri saya?" tanyaku saat dokter itu menyuruhku duduk tetapi hanya gelengan yang kudapatkan. "Lalu apa?" lanjutku tidak mengerti.

"Sebenarnya saat dilahirkan putri anda masih hidup, tapi ...," ucap dokter itu sepenggal membuatku langsung melotot horor.

"Tapi, tapi apa, Dok?" teriakku sambil menggebrak meja kasar, membuat dokter itu berjengkit kaget.

"Tapi kondisi bayi anda benar-benar kritis. Dia terlahir prematur dengan berat badan hanya 700gram, bayi anda bisa bertahan hanya dengan bantuan berbagai selang yang terpasang disekujur tubuhnya, jika selang itu dilepas maka bayi Bapak tidak akan bisa bertahan," jawab dokter itu membuatku melemas, entah aku tidak tau perasaan apa yang harus kurasakan sekarang.

"Astafirullah." Kusugar rambutku frustasi. apa aku harus bahagia? Tapi bagaimana jika ini hanya permainan takdir? Aku benar-benar takut berharap untuk itu.

"Kenapa dokter tidak bilang dari awal?" Jelas saja aku tidak terima.

Baru saja aku ikhlas tetapi ini kembali terjadi, aku benar-benar seperti diberi harapan kembali tetapi aku tidak mau menelan kekecewaan lagi dan lagi.

"Sehabis operasi saya mencoba untuk berbicara, tapi anda terus saja menanyakan kondisi nyonya Naraya." Wanita berkacamata di depanku berusaha menjelaskan." Saya bisa melihat saat itu bapak sangat menghawatirkan istri anda, jadi saya merasa itu bukan waktu yang tepat untuk memberitahu masalah ini. Karena saya takut kalian terlalu berharap pada anak ini, pahadal kemungkinan dia bertahan sangat kecil," lanjut dokter itu panjang lebar membuatku mengepalkan tangan kuat. Aku tidak tau harus bersikap apa, jujur untuk berharap saja rasanya menakutkan.

"Berapa persen harapan itu?" tanyaku sambil menatap dokter di depanku dengan serius.

"Harapan hidup nya 30%, asal bapak tau kami tim dokter pun kaget saat melihat bayi itu keluar dengan kondisi hidup, padahal saat operasi berlangsung walaupun kami mengusahakan keduanya, tetapi tetap saja kami mengutamakan salah satunya, dan kami tim bahkan sudah menebak bahwa bayi itu pasti tidak 

selamat, tapi kehendak Allah tidak ada yang tau, keajaiban itu ada, dan saya yang melihatnya langsung." jelas dokter itu membuat mataku berkaca.

"Bayi kecil itu memang tidak menangis, tapi dia bergerak, seakan dia memberi tau kami bahwa dia masih hidup," lanjut dokter itu sambil melepas kacamatanya dan mengusap pipinya yang berair. " Kami langsung memasukannya ke inkubator dan memberikan sinar, sampai sekarang bayi kecil itu masih bernapas walau dengan alat bantu yang melekat di seluruh tubuhnya," lanjut dokter itu lirih sambil kembali memakai kacamatanya, sedangkan aku? Bahkan aku masih merasa bahwa semua adalah mimpi.

"Semua keputusan ada di tangan Bapak." Dokter itu berucap sambil menyerahkan kertas putih dengan tinta hitam diatasnya dan dengan ragu aku menerimanya.

"Mungkin jika anda melihat keadaannya sekarang rasanya tidak tega, tapi tidak kah bapak ingin memberinya kesempatan untuk hidup? Semangati dia, beri tau dia bahwa kedua orang tuanya sangat menginginkan kehadirannya, " jelas dokter itu membuatku mengepalkan tangan kuat.

"Saya akan lakukan apa pun agar putri saya bertahan, saya tidak akan membiarkan selang-selang penopang hidup putri saya dilepas. Bahkan jika perlu saya akan memanggilkan dokter dari luar negeri." Keputusanku sudah bulat.  Kutandatangani surat pernyataan itu dan langsung menyerahkannya pada dokter perempuan di depanku.

"Bapak memilih pilihan yang tepat, saya mendukungnya, saya tau bayi mungil itu pasti kuat, dia terlihat ingin sekali hidup," ucap dokter itu tersenyum membuatku semakin berharap banyak.

"Terima kasih banyak, Dok. Dan apakah saya bisa melihat putri kecilku?" tanyaku membuat dokter itu mengangguk lalu berdiri untuk menunjukan di mana letak ruangan malaikat kecilku itu.

*

"Adik kamu kuat 'kan?" lirihku sambil memandang bayi kecil itu dari balik kaca. "Saya yakin kamu pasti bisa, kita berjuang sama-sama, ya? Saya berjanji akan melakukan apapun untuk kamu," lanjutku sambil mengusap kasar pipiku yang sudah berlinang air mata.

"Saya ingin sekali memeluk kamu, menggendong kamu, mendengarkan kamu menangis. Saya juga ingin mendengar kata pertama kamu, saya ingin melihat langkah pertama kamu, Saya ingin menjadi lelaki pertama yang kamu cintai, saya ingin menggandeng tangan kamu saat pertama kali kamu masuk sekolah. Saya janji, jika kamu memberikan saya kesempatan untuk merawat kamu, saya tidak akan melewatkan sedetik pun pertumbuhan kamu yang tidak akan pernah bisa diulang bahkan ditukar dengan apa pun," ucapku penuh harap.  "Maaf untuk penderitaan yang selalu kamu dapat saat kamu masih didalam kandungan. Maaf saya tidak bisa melihat pertumbuhan kamu saat kamu masih meringkuk nyaman didalam perut mama, dan maaf kamu harus lahir lebih awal dengan keadaan seperti ini," lanjutku kali ini dengan terisak, lelaki mana yang kuat melihat bayi kecilnya terbaring lemah dengan selang diseluruh tubuhnya?

"Mungkin kehadiranmu tidak disengaja, tapi kamu harus tau bahwa apa pun yang terjadi saya sangat menyayangimu. Mulai detik ini, kamu sudah menjadi bagian terpenting dalam hidup saya. Kamu adalah prioritas utama yang harus selalu saya dahulukan." Seriusku sambil terus menatap bayi mungil itu yang masih setia memejamkan mata. "Saya berjanji pada diri saya sendiri bahwa kamu akan tetap hidup, kamu akan tumbuh seperti anak lain, dan kamu tidak akan kekurangan apa pun selama kamu bersama saya. Papa mencintai kamu adik, bertahan ya sayang, banyak sekali yang mengharapkan mu," lanjutku pelan sambil membelai wajahnya dari balik kaca besar. Dengan langkah pelan aku mulai menjauh dari ruangan itu.

Aku harus memberi tau Nara, walaupun aku tau, perempuan itu tidak akan mau mengakui putrinya tapi setidaknya dia tau usahanya selama tujuh bulan tidak sia-sia.

Ruangan itu sepi, sangat sepi.

Aku berjalan perlahan masuk ke dalam, mengecek kamar mandi yang ternyata kosong, menelusuri penjuru kamar dan yang terakhir aku berjalan ke ranjangnya yang sudah terlihat rapi, aku mengernyit sambil bertanya-tanya, dimana perempuan itu?

Dan saat aku melihat sepucuk surat dan sebuah amplop dengan cap PENGADILAN AGAMA, saat itu juga semua kebingungan ku terjawab. Kutarik napasku pelan, mencoba tidak panik dan kubuka surat itu dengan perasaan yang tidak bisa kujelaskan.

Untuk : Karanha

Hai Karan! Mungkin aku sudah pergi saat kamu membaca surat ini, aku memang pengecut karena aku lari dari permasalahan. Tapi asal kamu tau, aku sudah tidak memiliki muka di depan semua orang, memang benar, aku adalah wanita paling jahat yang tega membunuh darah dagingnya sendiri. Aku tau kamu sangat membenciku, tapi aku juga tau kamu tidak pernah menunjukannya di depanku. Aku adalah wanita yang jahat bagaimana mungkin aku pantas bersanding denganmu yang memiliki hati seperti malaikat? Buka amplop putih itu, ada surat cerai yang sudah aku tanda tangani dan sekarang kamu juga harus menandatanganinya agar kita resmi bercerai. Kamu pantas mendapatkan yang lebih dari aku, menikahlah dengan Raisa dan aku pastikan kau akan selalu bahagia. Terimakasih untuk dua tahunnya. Jangan mencariku, aku baik-baik saja, aku titip mama dan papa ya, aku sangat percaya padamu, dan maaf selalu bersikap buruk selama menjadi istrimu.

Aku sayang kamu

Salam

Naraya Xafira

"Kenapa kamu harus pergi,Nay? Bahkan sebelum kamu tau bahwa putri kecil kita masih hidup," gumanku lirih dengan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk mata, kujatuhkan tubuhku di lantai sambil memeluk surat terakhir yang perempuan itu tinggalkan.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel