Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 11 : Kenyataan.

Aku mengerjab, ketika kurasakan silau cahaya masuk kedalam indra penglihatanku. Kubuka mataku perlahan, berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam netraku. Ruangan serba putih itu menyapaku, kukerutkan dahiku bingung sambil berpikir ada di mana aku? Dan ketika otakku sudah mulai bekerja, hal pertama yang aku pastikan adalah perutku, saat telapak tanganku itu mendarat mulus ke permukaan perut saat itu juga mataku seketika memanas.

"Jika aku masih hidup, maka?" batinku sambil memejamkan mata. Kuremas perutku kencang dan kurasakan perih secara bersamaan, kusingkap sedikit baju khas rumah sakit dan kutemukan jahitan memanjang menghiasi permukaan perutk.

"Nara, kau sudah sadar? Apa ada yang sakit?" Suara itu membuatku menengok, kulihat lelaki itu yang sudah berdiri di ambang pintu.

"Di mana bayi itu?" Tanyaku memandangnya tajam, tanpa menghiraukan pertanyaannya. Kulihat lelaki itu yang segera berjalan ke arahku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, kutangkap mata lelaki itu yang berkaca dan saat itu pula aku langsung tau apa jawabannya.

"Kamu waras? Kenapa kau menyelamat 'kan ku?! Bukan kah kau menginginkan bayi itu lalu untuk apa kau memilihku?" Emosiku meledak, kutarik kerah kemeja Karan dengan kasar.

"Apa aku juga harus melepasmu? Itu pilihan yang sulit, Nay" jawaban lelaki itu membuatku tertawa.

"Tidak usah sok pencitraan kamu. Asal kamu tau, aku memang sengaja melakukan hal itu agar dia mati dan ternyata sekarang dia benar-benar sudah mati, okay kalo begitu maka semuanya bisa dianggap selesai dan mana surat ceraiku!" Aku tersenyum manis sambil menatap Karan tanpa dosa, tapi berbanding terbalik dengan perasaanku, hatiku sakit luar biasa. Tujuh bulan bukan waktu yang singkat untuk bersama-sama. Dia tinggal didalam tubuhku, dia bernafas melalui diriku. Bahkan saat aku merasakan sakit, aku yakin dia juga ikut merasakan nya.

Klekk

Suara pintu terbuka..

PLAKK

"Mama menamparku?" Tubuhku bergetar hebat.

" Kau wanita seperti apa? Mama menyesal punya putri seperti mu! Kamu membunuh anakmu sendiri? Bagaimana jika mama yang membunuhmu, Naraya? Bagaimana perasaan mu?" Mama menatapku tajam dengan air mata yang sudah berlinang. Aku tergugu tidak percaya, aku belum pernah melihat mama sehancur ini, wanita ini bahkan belum pernah membentakku sama sekali tapi hari ini? Wanita yang paling aku sayangi mengangkat tangannya untukku.

"Naraya, apa Papa dan mama pernah mengajarkan kamu seperti Itu?" Pertanyaan papa memang sederhana, tetapi berhasil membuat tubuhku menggigil tidak karuan. "Mulai detik ini, kamu Naraya Xafira, bukan anak kami lagi. Dan saya meminta kamu Karan, untuk menalaknya setelah masa nifasnya selesai! " Kalimat Papa kali ini berhasil memporakporandakan hatiku. Aku semakin menunduk, air mataku pun semakin berjatuhan. Sekarang, aku sudah tidak punya muka di depan semua orang. Adik, kamu membuatku hancur bahkan disaat kamu sudah mati sekali pun.

"Naraya tidak salah." Pembelaan Karan memang singkat, tetapi itu cukup membuatku terharu.

"Sudahlah tinggalkan saja dia, Bunda mana sudi punya menantu Pembunuh sepertinya." Telak. Perkataan itu kembali menghantam hatiku yang rapuh. Ingin rasanya aku menghilang dari ruangan ini.

"Aku kecewa sama kamu, Nay. Ternyata kamu setega itu dengan adik, Kamu menyiksa adik aku masih bisa memaklumi, tapi sekarang kamu membunuhnya, Naraya! kamu membunuh anak kamu sendiri. Aku ucapkan Selamat, karena cita-cita terbesar kamu, untuk menyingkirkan adik sudah terwujud!" Sabrina menatapku dengan senyum yang dipaksakan, tangannya dengan cepat menghapus cairan bening yang berjatuhan di pipinya. Aku diam tidak mengerti harus berkata apa, tatapan semua orang seperti akan membunuhku hidup-hidup. Karan pun sekarang ikut bungkam.

"Tinggalkan wanita ini, mari kita keluar. " Bunda berusaha menarik tangan putranya tetapi lelaki itu menghempaskannya dengan pelan.

"Saya mohon semua nya keluar, jangan buat istri saya semakin merasa bersalah!" Teriakan Karan bahkan membuatku terlonjak kaget, wajah lelaki itu merah padam, pandangan matanya sudah seperti singa yang mendapatkan mangsa.

"Kamu berani sama Bunda?! Sejak kapan kamu berani sama orang tua?"

Wanita paruh baya itu terlihat tidak terima dengan sikap putranya yang membangkang seperti sekarang ini.

"Bun, aku mohon, Nara masih istriku. Aku tidak mau kalian semua membuat kondisinya semakin memburuk, Kalian bisa tolong hargai aku, dengan keluar dari ruangan ini. Karena Nara butuh istirahat." Lelaki itu berkata tegas, lalu berjalan menjauh dan membuka pintu ruang inapku lebar-lebar. Dengan berbagai ekspresi, satu persatu dari mereka keluar tanpa sepatah kata.

*

Aku terdiam sambil memandang satu titik di depanku. Seluruh tubuhku lemas luar biasa bahkan bekas jahitan di perutku masih terasa begitu ngilu. Kuusap pipiku dengan cepat ketika setetes cairan bening itu kembali jatuh, sekarang semua orang membenciku. Dan malangnya, aku sudah tidak memiliki pelampiasan lagi, karena pelampiasan yang biasa aku maki atau pukul sekarang sudah tiada, dan akulah penyebab nya tiada. Yeah aku yang membunuhnya.

"Makan dulu ya, sedikit tidak apa." Tepukan di bahu membuatku menengok, kupandang lelaki itu yang tersenyum lembut ke arahku.

"Apa kau tidak mau pergi juga? Atau kau mau menamparku? Memakiku? Aku yang melenyapkan putrimu,aku orang jahat, aku pembunuh, jika kau ingin balas dendam maka lenyapkan saja aku." Teriakku dengan mata yang sudah mulai berkaca, lelaki itu diam dan terlihat tenang.

"Sekarang makanlah, dari tadi kamu belum makan." Karan sama sekali tidak menggubris perkataanku dan malah menyodorkan sesendok. Hal yang berhasil menyulut emosiku.

"Apa yang kau lakukan Naraya?!" Lelaki itu berteriak saat sesendok bubur yang dia sodorkan aku hempas hingga tumpah. Aku tersenyum miring melihatnya yang mulai emosi.

"Ayo bentak aku, maki aku, aku pembunuh, aku yang melenyapkan anakmu, ayo Karan bunuh aku juga!"

pintaku dengan senyum yang begitu miris, lelaki itu menghembuskan napas kasar lalu menaruh mangkuk putih itu di nakas.

"Menangis lah jika memang kamu ingin menangis." Karan berucap pelan, lalu duduk di pinggir ranjang. "Lepaskan semua beban yang ada dihatimu, jangan ada yang disimpan," lanjutnya sambil mengambil sebelah tanganku lalu mengecupnya. Perlahan lelaki itu merengkuhku dalam kungkungannya. Aku diam membeku, sama sekali tidak menolak.

"Aku tidak sengaja melakukannya." Kalimat itu meluncur cepat dari mulutku, diikuti tetesan bening yang sudah berkumpul di pelupuk mata.

"Lepaskan semua, Naraya." Bisik lelaki itu lembut, sangat lembut. Kueratkan pelukanku pada Karan, kenapa lelaki ini baik sekali?

"Aku hancur, benar-benar hancur, Calvin melihatku dengan perut yang sudah membuncit. Dia berpikir aku berkhianat, aku berusaha menjelaskan tapi dia tidak mau mendengarkanku." Cairan bening itu semakin berjatuhan, kuremas pelan baju Karan sebagai pelampiasan sakit hatiku. "Hanya club yang ada di pikiranku, aku butuh minum karena hanya win yang membuatku tenang." Sesalku. Karena minuman itu aku kehilangan nya. Sungguh hatiku sakit sekali.

"Kamu tidak salah, Nay." Suara itu membuatku mendongak, kulepaskan pelukan Karan dan kutatap wajahnya dengan intens.

"Ya, aku tidak salah," ucapku mantap sambil terus menatapnya. "Aku sudah berpesan pada dokter bahwa aku rela mati demi adik, tapi aku tau kamu yang melarangnya," lanjutku dengan mata yang kembali berkaca.

"Aku tidak mungkin membiarkanmu mati, Nay." Lelaki itu menguncang lembut bahuku dan dengan cepat kuhempas.

"Kamu mau melihatku dibenci semua orang?" Kutatap wajah Karan dengan tajam. "Kamu mau balas dendam?" Tuduhku membuat lelaki itu mengernyit bingung.

"Aku tidak mengerti maksudmu." Lelaki itu menggelengkan kepalanya membuatku tersenyum sinis.

"Kamu senang aku dibenci semua orang seperti sekarang ini? Iyakan, kamu mau membalas penderitaan adik kepadaku secara perlahan?" Kumiringkan kepalaku untuk menyulut emosi lelaki itu.

"Istigfar Naraya, bagaimana mungkin aku melakukan itu kepada ibu anakku. " Lelaki itu menarik bahuku kasar membuat cairan bening itu kembali menetes. "Aku sayang kamu dan aku tidak akan membiarkanmu menderita. Kamu berbuat salah pun akan tetap aku bela, Naraya." Karan mendekap tubuhku kuat, membuatku semakin terisak.

**

Aku mengerjabkan mata, ketika kurasakan sinar matahari masuk melalu celah jendela. kulirik Karan yang tersenyum manis kearahku sambil memainkan sebelah tanganku yang masih terpasang infus.

"Kamu sudah bangun?" Aku berusaha bangkit dari ranjang, dan dengan cepat lelaki itu membantu.

"Coba cek sekarang jam berapa? Ini sudah siang sayang" Lelaki itu mengacak rambutku pelan, membuat bibirku mengerucut sebal.

"Aku ingin pulang," rengekku membuat lelaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Permisi." Seorang perempuan masuk ke kamar dengan seorang bayi di gendongannya "Ini bayinya Pak, kemaren ibunya sangat kelelahan, jadi belum sempat gendong adiknya," lanjut suster itu membuatku melotot, kutatap tajam Karan dan lelaki itu sama-sama menatapku.

"Sus, anak siapa itu? " tanya Karan tiba-tiba sambil terus menatap bayi kecil yang tertidur pulas di gendongan suster itu.

"Ini bayi anda pak," jawab suster itu cepat membuatku dan Karan kembali saling menatap.

"Tapi sus, bayi saya sudah tiada." Karan berusaha menjelaskan tapi suster itu terus saja menggeleng.

" Ini tertulis bayi ibu Naraya. Nama istri anda Naraya, bukan?" tanya suster itu yang ikut terlihat bingung.

Kulirik Karan yang mengangguk antusias, matanya sudah berkaca. Dan aku? Seperti semua beban terangkat dari pundakku, aku merasa lega luar biasa. Karan merosot lalu melakukan sujud syukur, hal yang membuat tubuhku bergetar. Ternyata Karan memang sangat mendambakan kehadiran adik.

"Boleh saya gendong?" Lelaki itu bangkit lalu menatap bayi mungil itu dengan wajah terkagum.

" Iya, silahkan." Suster itu tersenyum, memindahkan bayi berselimut pink itu ke tangan Karan.

"Terima kasih, bayinya cantik sekali." Mata lelaki itu semakin berkaca. Karan melirikku, lalu menunjukan bayi digendongannya, membuatku hanya bisa menanggapinya dengan anggukan. Selama hidup dengannya, baru kali ini aku melihat lelaki itu sebahagia sekarang.

" Terima kasih, Nay, kamu sudah berikan aku malaikat kecil yang sangat cantik." Karan berucap lirih sambil menunjuk wajah damai yang sedang tertidur itu dan aku hanya bisa kembali mengangguk dengan mata yang ikut berkaca.

"Saya mau adzani adiknya dulu, Sus. " Lelaki itu meminta izin kepada suster di sampingnya dan dengan cepat suster itu mengangguk.

"Sus, ini adalah ayah bayinya. Anda salah kamar ini putri ibu Naraya Zahra bukan ibu Naraya Xafira." Suara suster lain yang tiba-tiba menerobos masuk ke kamar rawatku membuat kami semua serentak menengok.

"Astaga maafkan saya, berarti saya salah kamar, saya minta maaf pak Karan dan ibu Naraya, saya melakukan kesalahan fatal. " Perkataan suster itu membuatku seperti dijatuhi hukuman mati.

"Iya tidak apa-apa, Sus, yang penting semuanya jelas." Lelaki itu bersuara dengan tenang, sangat tenang. Ketenangan yang malah membuat bulu kudukku meremang.

"Saya mau gendong anak saya, Sus."

Suara lelaki lain membuat kami semua kembali serentak menengok, lelaki sebaya Karan yang kemungkinan besar adalah ayah biologis bayi cantik itu.

"Baiklah." jawab Suster itu lirih tapi tidak bergerak. Semua hanya bisa menatap Karan yang masih setia mendekap kuat bayi kecil itu di dadanya. Lelaki itu seperti tidak mau melepaskan bayi kecil itu dari gendongannya, hal itu membuat rasa bersalahku semakin meningkat bahkan lebih banyak.

"Bayi anda cantik sekali. " Karan mencoba tersenyum, senyum yang dipaksakan. Dengan langkah lambat Karan menghampiri lelaki berkaos biru di depannya, lalu menyerahkan bayi mungil itu ke orang yang lebih berhak.

"Terima kasih ya, Bro, semoga kalian juga akan mendapatkan bayi perempuan seperti ini. " Perkataan lelaki itu seperti meremas lagi sakit hatiku yang belum kering. Semua orang pamit keluar dan sekarang hanya tersisa aku dan Karan yang membisu dengan segala pemikirannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel