Bab 5
Apalagi setelah perlakuannya selama ini terhadapku," lanjutnya, "aku sudah tidak memegang amanat yang diucapkan kakek dulu. Jadi, apakah kau bisa membantuku, Melissa?"
Melissa mengerutkan kening, sedikit terkejut dengan permintaan Eric. Ia menatap sahabat lamanya itu, mencoba memahami keinginan Eric yang semakin jelas.
"Bagaimana caranya agar aku bisa menyelesaikan masalahmu, Eric?" Melissa bertanya dengan suara pelan. "Aku sama sekali tidak ada hak terhadapmu, apalagi aku harus berurusan dengan istrimu, Sarah."
Eric tersenyum tipis, sedikit pahit namun tetap mencoba untuk tidak kehilangan semangatnya.
"Kau hanya cukup memberi doa dan memberikan semangat kepadaku, agar aku tidak semakin terpuruk," jawab Eric dengan nada penuh harap.
Melissa menatap Eric dalam-dalam, merasakan ketulusan dari permintaan sahabatnya. Ia mengangguk pelan, lalu berkata dengan suara penuh keyakinan.
"Eric! Kau adalah pria kuat yang selama ini kukenal. Kau tidak gampang menyerah disaat kau diperlakukan seperti itu oleh keluarga istrimu sendiri," kata Melissa dengan tegas, matanya berbinar menyemangati Eric.
Melissa menggenggam tangan Eric, memberi tekanan lembut yang penuh dukungan.
"Ayo, Eric! Bangkitlah," lanjut Melissa dengan penuh semangat. "Jangan terus tenggelam dalam kepahitan itu. Ayo, kuatkan tekadmu lagi. Kalau kau benar-benar ingin berpisah dengan istrimu, maka lakukanlah dengan kepala tegak. Jangan biarkan mereka terus merendahkanmu."
Eric tersenyum dengan tulus, rasa syukur terpancar dari matanya. Ia menatap Melissa dengan penuh rasa terima kasih atas dukungan dan semangat yang telah diberikan.
“Terima kasih, Melissa,” kata Eric, suaranya dipenuhi kehangatan. “Kau benar-benar teman terbaikku. Jika di lain kesempatan aku pasti akan membalas budimu itu.”
Melissa tersenyum lembut, membalas tatapan Eric dengan penuh kehangatan. “Tidak perlu berterima kasih, Eric. Aku hanya ingin kau tahu bahwa kau tidak sendiri.”
Tanpa terasa, mereka berdua telah menghabiskan makanan mereka. Suasana di antara mereka menjadi lebih ringan, meskipun canggung sesekali, tetapi ada perasaan lega yang mengalir setelah percakapan panjang mereka.
Melissa melirik jam di pergelangan tangannya dan kemudian menatap Eric. “Sepertinya aku harus kembali melanjutkan kegiatanku,” ucapnya dengan nada ringan.
Eric mengangguk, memahami bahwa saat perpisahan mereka telah tiba. “Baiklah, Melissa. Terima kasih sekali lagi untuk semuanya,” ucapnya sambil berdiri dari tempat duduknya.
Mereka berdua keluar dari kafe, dan Melissa segera membayar makanan mereka tanpa banyak perdebatan. Eric tersenyum kecil, sekali lagi berterima kasih kepada Melissa sebelum mereka benar-benar berpisah.
“Jaga dirimu, Eric. Dan ingat, kau selalu punya pilihan untuk menjalani hidupmu dengan cara yang lebih baik,” kata Melissa sambil tersenyum, memberi Eric satu pelukan perpisahan yang hangat.
Eric membalas pelukan itu dengan lembut, kemudian berkata, “Kau juga, Melissa. Semoga sukses dengan kegiatanmu.”
Melissa melambai sambil berjalan menjauh, dan Eric memperhatikannya pergi sebelum akhirnya ia berbalik dan memutuskan untuk kembali ke kediaman keluarga Valoria.
Pikiran Eric masih bercampur aduk, namun kini ada sedikit keberanian baru yang tumbuh di dalam hatinya. Ia tahu apa yang harus dilakukan, meskipun itu berarti mengambil keputusan besar yang mungkin akan mengubah hidupnya sepenuhnya.
Malam semakin larut, dan suasana di luar kediaman Valoria menjadi semakin sunyi. Namun, ketenangan malam itu segera berubah menjadi suasana tegang ketika Eric tiba di depan pintu rumah keluarganya. Ia membuka pintu dengan perlahan dan terkejut melihat apa yang terjadi di dalam.
Di ruang tamu yang besar dan mewah, seluruh keluarga Valoria berkumpul dalam suasana yang penuh ketegangan. Wajah mereka menunjukkan ekspresi marah dan frustrasi. Di antara mereka terlihat Paman Louise, kepala keluarga dan anak tertua dari keluarga Valoria, yang duduk dengan sikap tegas dan penuh kemarahan.
Eric merasakan ketegangan yang hampir bisa dipotong dengan pisau saat ia melangkah masuk. Semua mata tertuju padanya, dan Eric merasa seperti menjadi pusat perhatian dalam sebuah pertemuan yang tidak mengenakkan.
Eric mencoba menenangkan dirinya dan melangkah lebih dekat ke kelompok yang sedang berkumpul. Namun, sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, salah seorang sepupu Sarah, Chry, berseru dengan suara keras, “Itu dia, sampah dari keluarga kita telah kembali!”
“Berani sekali kau kembali ke kediaman ini, setelah semua yang kau lakukan pada Tuan Antony!” suara Sarah, istrinya, menggelegar dalam ruangan. Suaranya penuh dengan kemarahan yang jelas terlihat dari ekspresi wajahnya.
Eric merasa jantungnya berdebar kencang. Ia menatap mereka satu per satu, berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pandangannya beralih kepada Paman Louise, yang tetap duduk dengan ekspresi serius.
“Berikan penjelasanmu, Eric,” kata Paman Louise dengan nada yang dingin namun tegas. “Kami sudah mendengar laporan tentang insiden dengan Tuan Antony. Jelaskan dirimu.”
“Tidak ada gunanya menjelaskan apa pun sekarang,” potong Sarah dengan tajam. “Kau telah menghina Tuan Antony di hadapan kami semua. Apakah kau tahu betapa besar kerugian yang kau timbulkan?”
Di ruang tamu yang semakin menegang, suara Alexa, ibu Sarah, terdengar sangat menggelegar. Wajahnya merah karena marah, dan tatapannya tajam menembus Eric.
“Dasar sampah!” teriak Alexa dengan nada penuh kebencian. “Kau benar-benar manusia yang tidak berguna di keluarga ini. Gara-gara kau, semuanya hancur! Kau telah merusak segalanya!”
Eric mencoba menahan amarah dan rasa malu yang meluap-luap, tetapi kata-kata Alexa semakin menyudutkannya. “Apa maksudmu?” tanyanya, suaranya bergetar.
Alexa terus melanjutkan, “Gara-gara tindakanmu yang bodoh, kontrak kerja sama dengan perusahaan Universe Grup, yang sebelumnya sudah disepakati oleh keluarga Valoria, dibatalkan! Itu semua ulahmu, Eric!”
Seiring Alexa berbicara, sepupu Sarah yang lain, Clara, menyambung dengan nada yang penuh dengan kemarahan. “Dan bukan hanya itu. Kuasa hukum Tuan Antony akan menuntutmu atas penganiayaan yang kau lakukan padanya. Semua ini adalah hasil dari tindakanmu yang bodoh!”
Eric merasa dunia sekelilingnya berputar. Kata-kata mereka seperti pukulan berat yang menghantamnya bertubi-tubi.
Namun, sebelum dia bisa melanjutkan, Renata, adik perempuan Sarah, menambahkan dengan suara yang penuh keputusan. “Paman Louise telah memberikan pernyataan yang sangat jelas. Kau harus bersedia menandatangani surat perjanjian cerai dengan kakak Sarah.”
Suasana semakin tegang ditambah ketika Luis, sepupu Sarah, menambahkan kata-katanya dengan nada penuh penghinaan. “Kau sangat mirip seperti binatang, Eric! Apa kau tuli? Kenapa kau hanya diam saja?” Luis menatap Eric dengan wajah penuh kebencian, seolah-olah ingin menambahkan lebih banyak luka pada Eric yang sudah terluka.
Eric hanya bisa menundukkan kepala, berusaha menahan emosinya yang meluap-luap. Namun, paman Louise yang duduk di kursi paling penting, segera membentak untuk menenangkan suasana.
“Semua orang diam!” teriak paman Louise dengan nada yang penuh otoritas. Suaranya menggetarkan ruangan. “Di keluarga ini, aku yang memimpin. Hanya aku yang akan memutuskan apa yang terjadi pada menantu bajingan ini!”
Para anggota keluarga Valoria menunduk, menunggu dengan tegang untuk mendengar keputusan paman Louise. Mereka semua merasa seolah berada di ambang keputusan penting yang akan mengubah nasib Eric.
Paman Louise melanjutkan, “Mulai sekarang, kau tidak diizinkan lagi melangkahkan kakimu di kediaman ini. Kau telah kami usir, dan kau tidak dibutuhkan lagi di keluarga ini.”
Eric merasakan jantungnya berdegup kencang. Setiap kata paman Louise terasa seperti hukuman mati yang tidak bisa dihindari. Namun, paman Louise belum selesai.
“Selain itu,” lanjut paman Louise dengan suara yang lebih keras dan penuh tekanan, “kau harus menandatangani surat perjanjian cerai dengan Sarah sekarang juga. Lalu kau akan kami jebloskan ke dalam penjara bawah tanah.”
Setelah paman Louise mengucapkan kalimat itu, suasana di dalam ruangan seketika menjadi hening. Semua orang menatap Eric dengan tatapan menunggu, tidak ada yang berani berkata-kata. Mereka semua merasa tertekan menunggu jawaban dari Eric, menantu yang dianggap tidak berguna dan penuh masalah oleh keluarga Valoria.
Eric berdiri di tengah ruangan dengan ekspresi lelah dan putus asa. Dia menatap paman Louise dengan tatapan kosong, seolah sudah menyerah pada keadaan. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Eric akhirnya mengeluarkan suara.