Bab 6
"Sepertinya aku sudah tidak bisa lagi melakukan sesuatu untuk membela diriku sendiri,” ujar Eric dengan nada lemah. “Kalau memang itu yang kalian inginkan….” Suaranya terhenti sejenak, membuat semua orang di ruangan semakin kesal dan geram dengan ketidakpastian yang ditinggalkannya.
Chry, sepupu Sarah, tidak bisa menahan kemarahannya lagi. “Apa maksudmu? Cepat katakan bajingan!” Chry berteriak dengan nada ketus, tidak sabar menunggu jawaban Eric.
Eric berkata sambil tertawa. “Hai… haii, santai dulu dong! Apa kau tidak diajarkan tata krama oleh orangtuamu?”
Alexa, ibu Sarah, tidak mau kalah dalam meluapkan kemarahannya. “Dasar menantu tak tahu diri! Bangsat kau, Eric! Enyahlah dari hadapan ku!” Alexa melontarkan kata-kata kasar, semakin memperburuk suasana.
Eric menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. “Kalau aku pergi sekarang, bagaimana dengan perjanjian surat cerai itu? Kalau aku tidak menandatangani surat perjanjian itu, berarti perempuan jalang itu akan menjadi istriku lagi.”
Sarah, yang sejak tadi diam, langsung merespons dengan nada penuh kemarahan. “Dasar pria sampah! Siapa yang kau maksud dengan jalang itu, sampah!” Sarah berteriak dengan nada menghina, semakin memperuncing suasana yang sudah tegang.
Ruangan itu dipenuhi oleh kegaduhan dan pertentangan. Semua anggota keluarga Valoria tampak tidak sabar dan semakin marah, sementara Eric berdiri dengan penuh kekacauan emosional.
Di tengah ketegangan yang melanda ruangan, Sarah berdiri dengan wajah merah marah. Tangannya mengepal, siap untuk menampar Eric. Semua mata tertuju pada mereka, menunggu dengan cemas apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sarah dengan penuh kemarahan melangkah maju dan mengangkat tangannya untuk menampar wajah Eric. Namun, sebelum telapak tangan itu menyentuh wajahnya, Eric dengan cepat dan cekatan menangkap pergelangan tangan Sarah. Suasana menjadi hening sejenak saat semua orang terdiam, terkejut dengan tindakan Eric yang berani.
“Tak akan kubiarkan tangan kotor milikmu menyentuh mukaku ini lagi,” ujar Eric dengan tegas, suaranya penuh kemarahan namun tetap terdengar penuh pengendalian diri.
Sarah terkejut dan berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Eric. “Lepaskan tangan ku, Eric!” Sarah berteriak dengan nada marah, berusaha menahan rasa malu dan frustrasinya.
Eric menatap Sarah dengan tatapan dingin. “Aku sudah cukup menjadi sasaran kemarahan dan penghinaanmu. Aku tidak akan membiarkan diriku terus diperlakukan seperti ini.”
Paman Louise yang sejak tadi memperhatikan, semakin marah melihat keberanian Eric. “Berhenti bersikap kasar! Lepaskan tangan Sarah sekarang juga, atau kau akan merasakan akibatnya!”
Luis, sepupu Sarah, menambahkan dengan nada sinis, “Kau benar-benar berani, Eric. Namun berani atau tidak, kau tidak akan mengubah keputusan kami.”
Eric menggertakkan gigi dan akhirnya melepaskan tangan Sarah, meskipun dia tidak melepaskan tatapannya yang penuh amarah. Sarah menatapnya dengan mata yang penuh kemarahan dan kekesalan.
Eric berdiri di tengah-tengah ruangan, dengan tangan yang baru saja melepaskan cengkeraman dari tangan Sarah. Suasana tegang membuat setiap suara terasa lebih keras dan lebih menonjol. Eric, dengan tatapan tajam dan nada meledek, berbicara dengan sengaja menyinggung:
“Paman Louise terhormat,” Eric memulai dengan nada sinis. “Siapa yang berperilaku kasar di sini? Bukankah kau sudah melihat dengan mata kepalamu sendiri bahwa perempuan jalang itu yang duluan ingin menamparku?”
Semua orang di ruangan itu terdiam sejenak, terkejut dengan kata-kata Eric yang penuh provokasi. Luis, sepupu Sarah yang sudah memendam kemarahan, tidak bisa menahan diri lagi. Ia berdiri dengan wajah merah marah dan mengancam:
“Dasar binatang kau, Eric!” Luis berteriak dengan nada penuh kebencian. “Berani sekali kau berkata seperti itu di hadapan ayahku. Kau memang tidak tahu sopan santun dan rasa hormat!”
Eric menatap Luis dengan sinis. “Dan siapa yang mengajarkan rasa hormat di keluarga ini? Semua orang di sini hanya tahu bagaimana cara menindas dan menghina orang lain.”
Luis yang tampak semakin marah, menunjuk Eric dengan jari gemetar dan berseru, “Kau—”
Namun, sebelum Luis bisa menyelesaikan ucapannya, Eric memotongnya dengan nada menantang, “Aku? Kenapa? Ingin memukulku? Ayo, sini kalau berani.”
Eric mendekat dengan langkah yang penuh keyakinan, membuat Luis terkejut. Ekspresi Luis seketika berubah dari marah menjadi cemas. Melihat keberanian Eric yang semakin menjadi, Luis secara refleks melangkah mundur, matanya membelalak. Ia tersandung sedikit saat mundur, dan dengan cepat mencari perlindungan di balik tubuh Paman Louise.
Paman Louise melirik tajam ke arah Luis, lalu memandang Eric dengan sorot mata yang tidak menyembunyikan kemarahannya. “Kau sungguh membuat semuanya jadi lebih sulit, Eric,” kata Paman Louise dengan nada rendah dan mengancam. “Tingkah lakumu tidak akan dibiarkan begitu saja.”
Eric mengangkat bahunya dengan santai, masih berdiri tegak tanpa rasa takut. “Aku hanya ingin membela diriku sendiri. Selama ini, kalian semua sudah memperlakukan aku seperti sampah. Aku sudah cukup bersabar.”
Luis, yang masih bersembunyi di belakang Paman Louise, tampak sangat kesal tetapi tidak berani melangkah maju lagi. “Jangan pikir kau bisa seenaknya di sini, Eric. Kami tidak akan membiarkanmu lolos begitu saja.”
Eric tersenyum tipis, menatap Luis dengan pandangan meremehkan. “Bicara saja kau bisa, tapi untuk bertindak? Rupanya tidak punya nyali.”
Paman Louise, yang tampaknya sudah kehilangan kesabaran, membentak, “Cukup! Jangan coba-coba mengadu domba dengan kata-kata tajammu. Kau tidak berhak untuk berbicara seperti itu di hadapan kami.”
Sarah, dengan wajah yang masih merah, menambahkan dengan penuh kemarahan, “Eric, kau memang tidak tahu malu. Semua ini terjadi karena tindakanmu sendiri!”
Eric tidak mundur. “Dan semua ini terjadi karena perlakuan kalian yang tidak adil dan tidak manusiawi. Aku hanya manusia biasa yang berusaha bertahan hidup di tengah semua ini.”
Paman Louise yang sudah tidak tahan lagi mendengar ocehan Eric, berdiri dengan wajah merah padam. Dengan suara lantang yang menggelegar, ia berteriak, “Berani sekali kau, Eric! Cepat panggil pengawal! Suruh mereka menghajar sampah tidak berguna ini!”
Beberapa anggota keluarga bergegas keluar ruangan, memanggil pengawal yang selalu siaga di setiap sudut rumah. Tidak lama kemudian, delapan orang pengawal bertubuh kekar dengan tampang yang kejam masuk ke ruangan. Mereka bergerak cepat dan tanpa perintah lebih lanjut, langsung mengepung Eric, seolah siap untuk melumatnya tanpa ampun.
Namun, kehadiran mereka yang garang dan penuh ancaman justru membuat Eric tertawa terbahak-bahak. Tawanya menggema di ruangan itu, terdengar seperti ejekan yang menusuk telinga semua orang. “Hahaha… Hahaha… Hanya segini pengawal yang kalian panggil?” Eric mengejek, wajahnya penuh dengan kepercayaan diri yang mengejutkan.
Eric melanjutkan dengan nada menantang, “Sini kalian semua, maju! Kalau kalian ingin melihat seberapa keras pukulanku!”
Para pengawal saling memandang sejenak, tampak ragu. Namun, rasa tanggung jawab dan perintah dari Paman Louise memaksa mereka untuk terus bergerak mendekat, tangan-tangan mereka siap mengepalkan tinju. Salah satu dari mereka, dengan tampang paling garang, maju lebih dulu, mencoba membuat Eric mundur dengan satu pukulan keras.
Eric hanya mengelak dengan gerakan cepat, lalu dengan satu gerakan tangkas, ia mengayunkan tinjunya ke arah pengawal tersebut, membuatnya terjatuh ke lantai dengan keras. Pengawal yang lain, yang melihat rekan mereka terjatuh, semakin beringas dan langsung menyerang Eric secara serentak.
“Lebih baik kalian pergi sebelum menyesal!” seru Eric, matanya bersinar tajam, seakan memberi peringatan terakhir.
Namun para pengawal tidak menggubris peringatan Eric. Mereka tetap maju, mengepung Eric dengan niat menghancurkannya.
Paman Louise yang menyaksikan adegan itu dengan sorot mata tajam, menggeram marah. “Kalian bodoh! Jangan biarkan dia meremehkan kalian!”
Setelah salah satu pengawal terjatuh, pengawal-pengawal yang lain langsung bergerak, melayangkan pukulan dan tendangan mereka ke arah Eric. Namun, tak lama kemudian, suara dentuman keras mengisi ruangan.
DUKK! DUKK!
BRUUKK..!! BRUUKK..!!
DUKK!
BRUUKK..!!
Eric, yang sebelumnya tampak tenang, tiba-tiba melawan dengan kecepatan dan kekuatan yang mengejutkan. Dengan gerakan yang begitu cepat dan presisi, ia berhasil menjatuhkan kedelapan pengawal itu. Mereka terlempar ke segala arah—beberapa menghantam meja, beberapa melayang menabrak dinding, dan beberapa lagi terlempar ke arah jendela, menghancurkan kaca jendela.
Lima dari delapan pengawal tergeletak tidak bergerak, jelas pingsan akibat kekuatan pukulan Eric. Tiga lainnya masih merintih kesakitan, dengan beberapa tulang mereka patah dan tubuh mereka penuh dengan memar.
Ruangan tersebut menjadi hening seketika. Semua orang di dalamnya—Paman Louise, Sarah, Alexa, Luis, dan anggota keluarga Valoria lainnya—terkejut melihat pemandangan di depan mata mereka. Eric, yang selama ini mereka kenal lemah dan tak berdaya, tiba-tiba menunjukkan kekuatan yang sangat menakjubkan. Apakah selama ini ia memang menyembunyikan kemampuannya?
Eric berdiri di tengah-tengah kekacauan, wajahnya penuh kemarahan. Ia meluapkan kekesalannya kepada pengawal-pengawal yang tergeletak di lantai. “Dasar kalian semua sampah, cuihh..!!” serunya dengan penuh kebencian.
Ia memandang satu per satu wajah semua orang yang ada di ruangan itu. Wajahnya menyiratkan ketegasan dan kemarahan yang membuat semua orang merasa ketakutan. Tidak ada seorang pun yang berani menatap mata Eric.