Bab 4
"Dan Sarah…” suara Eric mulai bergetar, mencerminkan luka mendalam yang ia rasakan. “Dia adalah orang yang paling menyakitiku. Awalnya, aku pikir dia mencintaiku, tapi seiring berjalannya waktu, dia mulai berubah. Dia tidak lagi memandangku sebagai suaminya, tapi sebagai seseorang yang tidak berarti apa-apa.”
Melissa merasakan kesedihan yang dalam dalam kata-kata Eric, namun dia tetap memberi ruang bagi Eric untuk terus berbicara.
“Dia tidak pernah menghargai apa yang kulakukan. Semua upaya yang kulakukan untuk membuatnya bahagia selalu dianggap sepele. Aku merasa seperti budak di rumahku sendiri, hanya berguna untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menurutnya remeh, sementara dia menikmati hidupnya dengan orang lain.”
Eric kemudian menghela napas panjang, seakan melepaskan beban yang begitu berat dari dadanya. “Dan yang paling menyakitkan… hari ini, aku melihatnya bersama pria lain, Antony. Dan dia berkata kepadaku bahwa setelah kami bercerai, dia akan menikah dengannya.”
Melissa tertegun mendengar pengakuan ini, tetapi dia tetap tenang. “Oh, Eric…,” ucap Melissa dengan nada penuh simpati.
“Selama ini, aku telah menahan semuanya,” lanjut Eric dengan nada yang semakin berat. “Tapi aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan seperti ini. Aku merasa seperti berada di ujung jurang.”
Melissa menatap Eric dengan mata berkaca-kaca. Dia tahu bahwa apa yang Eric alami bukanlah hal yang mudah, dan dia merasa beruntung bisa menjadi tempat bagi Eric untuk meluapkan semua rasa sakitnya.
“Eric, aku sangat menyesal mendengar semua ini,” kata Melissa dengan penuh ketulusan. “Aku tidak tahu harus berkata apa… Tapi yang pasti, aku di sini untukmu. Jika kau butuh teman untuk berbicara, aku akan selalu ada untukmu.”
Eric mengangguk pelan, merasa sedikit lega telah mengungkapkan semuanya. Meskipun rasa sakit itu belum hilang, setidaknya ia merasa tidak lagi memikul beban itu sendirian.
“Terima kasih, Melissa,” ucap Eric dengan suara yang lebih tenang. “Aku benar-benar menghargai semua ini.”
Eric mengambil napas dalam-dalam sebelum memulai. Matanya menerawang jauh, seolah-olah mengingat kembali setiap detail dari masa lalu yang telah membebani dirinya selama ini.
“Huh…,” Eric menghela napas berat, menatap meja di depannya. “Selama setahun lebih, aku menjadi babu di keluarga itu,” katanya dengan nada pahit. “Aku terpaksa melakukan semua itu, karena pesan dari kepala keluarga Valoria, yang tidak lain adalah kakeknya Sarah. Aku berhutang Budi kepada kakek, Ketika nyawaku hampir melayang karena ingin diracun oleh sekelompok orang suruhan dari keluarga kaya raya."
Melissa mendengarkan dengan seksama, mengangguk kecil sebagai tanda bahwa ia benar-benar memperhatikan setiap kata yang diucapkan Eric.
“Meski apa yang kulakukan mendapat pertentangan keras dari keluarga Valoria yang lain, termasuk juga Sarah…,” Eric melanjutkan, suaranya dipenuhi rasa kecewa. “Tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar menginginkanku di sana. Mereka selalu memandangku dengan jijik, menganggapku sebagai sampah yang tidak pantas berada di tengah-tengah mereka.”
Melissa terkesiap mendengar hal itu. Dia tidak menyangka bahwa Eric telah melalui hal seberat ini, dan diam-diam mengagumi keberanian temannya itu untuk terus bertahan.
“Setelah dua bulan lebih lamanya aku akhirnya sembuh total,” lanjut Eric, menatap Melissa dengan tatapan yang penuh kepedihan. “Lalu, setelah tiga bulan pasca kesembuhan, aku dinikahkan dengan cucunya. Menurut kakek, aku tidak sesederhana penampilanku.”
Melissa mengerutkan kening, bingung dengan apa yang dimaksud oleh Eric. Dia ingin bertanya, tetapi ia memilih untuk tetap mendengarkan hingga Eric menyelesaikan ceritanya.
“Kakek tetap bersikukuh menikahkan aku dengan cucunya setelah dia melihat cincin yang kupakai ini,” ucap Eric sambil memperlihatkan cincin yang melingkar di jari manisnya. Cincin itu tampak sederhana, namun memiliki ukiran yang rumit dan misterius.
Melissa memandang cincin itu dengan tatapan penasaran. “Apa maksudnya, Eric?” tanyanya lembut, mencoba memahami hubungan antara cincin itu dengan nasib yang dialami Eric.
Eric menghela napas panjang, seakan menyiapkan diri untuk mengungkap lebih banyak lagi rahasia yang selama ini ia simpan. “Cincin ini…,” katanya perlahan, “menurut kakek, adalah tanda bahwa aku adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang hanya kakek yang tahu.”
Melissa terdiam, mencoba mencerna semua yang baru saja didengarnya. Ia menyadari bahwa apa yang dialami Eric jauh lebih rumit daripada sekadar menjadi menantu yang terpinggirkan.
Dengan nada lembut namun ingin tahu, Melissa akhirnya bertanya, "Mengapa selama ini kau tidak berusaha mencari pekerjaan di luar sana, Eric?"
Eric menghela napas panjang, lalu menatap Melissa dengan mata yang penuh kelelahan. "Aku sudah mencoba, Melissa. Aku sudah melamar pekerjaan di luar sana. Tapi rata-rata hanya diterima sebagai OB atau cleaning service di perusahaan-perusahaan besar itu."
Melissa mendengarkan dengan seksama, tetapi Eric masih belum selesai.
"Tidak ada satu pun di antara mereka yang mempercayai kemampuanku," lanjut Eric dengan nada frustrasi. "Aku hanya bisa berasumsi kalau memang ada seseorang yang sangat berpengaruh di kota ini, yang menekan perusahaan-perusahaan itu agar aku tidak diterima di mana pun."
Melissa mengerutkan kening, merasa terkejut dengan kemungkinan tersebut. Ia terdiam sejenak, mencoba membayangkan seberapa jauh kekuatan yang dimiliki oleh orang-orang di balik layar ini.
Eric kemudian melanjutkan, suaranya semakin rendah, seolah sedang mengingat kembali rasa sakitnya. "Aku juga pernah melamar kerja di Universe Grup, tapi ditolak dengan sedikit penghinaan," kata Eric sambil tertawa pahit. "Mereka tidak hanya menolak, tapi juga memandangku seolah-olah aku tidak berharga."
Melissa mengangguk, berusaha menunjukkan bahwa ia benar-benar peduli. Dia tahu Eric butuh seseorang yang mau mendengarkan tanpa menghakimi.
"Rata-rata manajer di perusahaan-perusahaan itu bersifat sangat arogan," tambah Eric, kini dengan nada yang lebih marah. "Mereka memandang rendah kalangan bawah seperti aku ini, seolah-olah aku bukan manusia."
Melissa menggeleng pelan, merasa simpati mendalam terhadap Eric. Dia bisa merasakan betapa terpuruknya Eric dalam menghadapi semua ini.
"Jadi, selama beberapa tahun belakangan ini," Eric melanjutkan, matanya mulai memerah karena menahan emosi, "aku hanya menjadi babu di keluarga Valoria. Tidak ada pilihan lain."
Eric berhenti sejenak, lalu melanjutkan lagi, suaranya semakin bergetar. "Apalagi ibu mertuaku, adik iparku, juga saudara sepupunya Sarah... boleh dikatakan setiap hari, setiap jam, kalau mereka melihatku, tuntutan untuk berpisah dengan Sarah terus mereka dendangkan. Rasanya sudah kebal di telingaku mendengarnya."
Eric menatap Melissa dengan sorot mata yang penuh kelelahan dan kepedihan. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum memulai, seolah-olah sedang mencoba menata kata-katanya agar lebih mudah dicerna.
“Sebenarnya, aku juga sudah tidak tahan lagi berada di keluarga itu,” Eric mulai berbicara, suaranya terdengar bergetar. “Tapi demi wasiat kakek, aku tetap bertahan, walaupun cacian dan perlakuan buruk mereka lontarkan padaku setiap harinya.”
Melissa mengangguk perlahan, tetap mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia merasakan betapa berat beban yang dipikul oleh Eric selama ini.
“Tapi semakin lama aku di keluarga itu,” Eric melanjutkan, matanya menatap kosong ke depan, “caci maki dan perlakuan buruk mereka semakin menjadi-jadi. Bukan hanya kata-kata kasar, tetapi mereka juga sering menyerangku secara fisik.”
Eric berhenti sejenak, tangannya gemetar ketika ia menggenggam cangkir kopi di depannya. Melissa bisa melihat kepedihan yang begitu mendalam dalam diri Eric.
“Dan yang lebih gila lagi,” Eric melanjutkan dengan nada yang semakin rendah, hampir berbisik, “aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, kalau istriku sedang bermesra-mesraan dengan seorang laki-laki lain.”
Melissa menahan napas, terkejut mendengar pengakuan Eric. Ia bisa merasakan amarah yang membara dalam setiap kata yang diucapkan oleh Eric.
“Dengan teganya, dia menghina aku seperti seorang sampah di hadapan laki-laki itu,” Eric berkata dengan nada penuh amarah. “Ditambah lagi, dia menamparku, meludahiku di depan laki-laki itu.”
Melissa menghela napas panjang, mencoba untuk tetap tenang meskipun hatinya berdesir mendengar kisah Eric. Ia tahu betapa menyakitkan pengalaman yang dialami oleh Eric.
“Sebagai seorang laki-laki, aku tidak naif,” lanjut Eric, kini suaranya terdengar lebih tegas. “Aku sadar, bahwa kalau begini terus-menerus, kehidupanku akan selalu tertindas. Aku hampir tidak ada harga diri di mata mereka.”
Eric menunduk, mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh. Melissa hanya bisa menatapnya dengan penuh simpati, merasa berat melihat sahabat lamanya terpuruk seperti ini.
“Aku berharap,” kata Eric pelan, suaranya melemah, “hubungan kami bisa semakin erat, namun sampai sekarang, benih-benih cinta itu tak kudapatkan dari hati Sarah.”
Melissa terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia bisa merasakan betapa terlukanya hati Eric.
Eric menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia menatap Melissa dengan sorot mata yang penuh harapan, seolah-olah mencari dukungan dalam kebimbangan hatinya.
"Sarah dan keluarganya," Eric memulai kembali, suaranya terdengar lebih tegas dari sebelumnya, "mempunyai kesempatan untuk menindasku setiap hari, selama aku berada di keluarga itu. Semua pekerja rumah mereka dapatkan secara cuma-cuma melalui aku."
Melissa mendengarkan dengan seksama, merasakan betapa berat beban yang harus ditanggung Eric setiap harinya.
"Tapi sekarang," Eric melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih pasti, "aku sudah membulatkan tekadku. Aku akan menyetujui tuntutan yang mereka berikan padaku, yaitu berpisah dengan Sarah."
Eric berhenti sejenak, menatap Melissa dengan mata yang penuh tekad.