Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

Selama pernikahan mereka, Sarah selalu dingin dan jauh. Setiap usaha Eric untuk mendekatkan diri selalu dibalas dengan penolakan atau sikap acuh tak acuh. Tidak pernah ada senyuman lembut seperti yang sekarang ia lihat di wajah Sarah saat ia merawat Antony. Tidak pernah ada perhatian kecil, sapaan hangat, atau bahkan kata-kata yang menunjukkan bahwa ia peduli. Pernikahan mereka hanyalah sebuah kewajiban, sebuah hubungan yang kosong tanpa cinta.

Namun kini, melihat bagaimana Sarah dengan lembut menyeka darah di wajah Antony, seolah-olah dunia di sekitar mereka tidak ada, Eric merasa sesuatu di dalam dirinya meledak. Perhatian yang selama ini tidak pernah ia dapatkan, sekarang diberikan kepada pria lain di depan matanya, tanpa sedikit pun rasa malu atau penyesalan dari Sarah.

Antony tersenyum kepada Sarah, lalu meraih tangannya dengan lembut, mencium punggung tangannya sebagai balasan atas perhatian yang ia berikan. “Terima kasih, sayang,” ujar Antony dengan nada manis, penuh kehangatan yang membuat hati Eric semakin terluka.

Mata Eric mulai memerah, dan pandangannya mengabur karena marah yang memuncak. Ia berusaha menahan dirinya, tetapi amarahnya semakin tak tertahankan. Bagaimana bisa Sarah, wanita yang seharusnya menjadi pasangannya, menunjukkan cinta dan perhatian yang begitu besar kepada pria lain tanpa merasa bersalah? Bagaimana bisa dia begitu tega melakukan ini kepadanya?

“Sarah! Beraninya kau…” Eric akhirnya berkata, suaranya gemetar oleh emosi yang sulit ia kendalikan. “Bagaimana kau bisa melakukan ini kepadaku? Bagaimana bisa kau memberinya perhatian yang tidak pernah kau berikan kepadaku?”

Sarah terkejut sejenak oleh nada keras Eric, tapi ia segera memulihkan diri, menatapnya dengan tatapan penuh penghinaan. Namun, sebelum Sarah bisa mengatakan apa-apa, Eric melanjutkan dengan nada yang lebih keras, penuh dengan emosi yang selama ini ia tahan. “Aku ini masih suamimu! Setidaknya kau hargai aku!”

“Suamiku?” Sarah tertawa kecil, sinis, dan melirik Antony yang tersenyum di sampingnya. “Kau bahkan tidak pantas menyandang gelar itu, Eric. Kau lebih buruk dari seorang pengemis. Apa yang pernah kau lakukan untuk membuatku menghargaimu? Antony memberiku dunia yang selalu aku impikan. Sementara kau… kau bahkan tidak bisa memberiku sepotong kebahagiaan. Kau hanyalah sampah di keluargaku!!”

Tidak ada penyesalan di matanya, hanya kebencian dan penghinaan. Lalu kembali berkata. “Kau tahu kenapa, aku lebih memilih Tuan Antony dari pada kau Eric?” Sarah berkata dengan dingin. “Karena dia pantas mendapatkannya. Dia adalah pria sejati, bukan seperti dirimu. Antony bisa memberiku segala sesuatu yang kau tidak pernah bisa berikan.”

Melissa yang mendengar jawaban Eric dengan seksama, dan meskipun ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ada kejanggalan dalam cerita Eric yang membuatnya ingin tahu lebih banyak, tetapi Melissa menyadari bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk memaksa Eric membicarakan hal itu.

Melissa tersenyum lembut, mencoba mengusir suasana canggung yang mulai menyelimuti mereka. “Eric,” katanya, suaranya kembali terdengar ceria, “Bukankah ini sudah cukup lama sejak kita terakhir kali duduk bersama dan berbincang santai?”

Eric menatap Melissa, sedikit terkejut oleh perubahan topik yang tiba-tiba. Namun, senyum Melissa yang tulus membuatnya merasa sedikit lebih ringan. “Ya, sudah lama sekali,” jawabnya, mencoba mengikuti perubahan suasana yang ditawarkan oleh Melissa.

Melissa tertawa kecil, lalu melanjutkan, “Kebetulan, ada sebuah kafe yang baru dibuka tak jauh dari sini. Aku pernah ke sana sekali, dan tempatnya cukup nyaman. Bagaimana kalau kita ke sana dan melanjutkan obrolan kita di tempat yang lebih tenang?”

Eric terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Itu terdengar seperti ide yang bagus,” jawabnya, merasa sedikit terbantu oleh tawaran Melissa. “Aku memang butuh tempat yang lebih tenang sekarang.”

Melissa tersenyum lebar, senang melihat bahwa Eric menyetujui idenya. “Ayo, kita pergi sekarang,” ajaknya dengan semangat, sambil mengisyaratkan agar Eric mengikutinya keluar dari tempat itu.

Ketika mereka tiba di kafe yang dimaksud, Melissa membuka pintu dan menyilakan Eric untuk masuk terlebih dahulu. Suasana di dalam kafe itu hangat, dengan pencahayaan lembut dan aroma kopi yang menggoda.

Setelah mereka tiba di kafe yang tenang, Melissa dan Eric memilih meja yang terletak di sudut, jauh dari keramaian. Suasana hening menyelimuti mereka sejenak, hanya diisi oleh suara pelan dari musik yang diputar di latar belakang.

Merasa tidak ingin suasana canggung ini berlarut-larut, Melissa memutuskan untuk segera memecah keheningan. Ia tersenyum dan berkata dengan nada ceria, “Mari kita pesan makanan terlebih dahulu. Aku dengar kafe ini terkenal dengan hidangan penutupnya yang lezat.”

Namun, sebelum Melissa bisa melanjutkan, Eric tiba-tiba meledak dalam luapan emosinya. Wajahnya berubah serius, matanya menunjukkan kelelahan dan kepedihan yang telah ia pendam begitu lama. “Kau pesanlah apa yang kau mau,” ucapnya dengan nada yang berat, penuh keputusasaan. “Aku… aku hanyalah seorang pria sampah di keluarga istriku.”

Melissa terkejut, tak menyangka Eric akan berbicara seperti itu. Ia tetap diam, memberi ruang bagi Eric untuk melanjutkan.

Eric menundukkan kepalanya, seperti merasa malu dengan apa yang baru saja ia katakan, tetapi rasa sakit yang ia rasakan jauh lebih kuat dari perasaan malu itu. “Aku tidak pernah mempunyai uang, Melissa,” lanjutnya dengan nada pasrah. “Pekerjaan ku tidak pernah dihargai di sana.

Melissa mendengarkan dengan penuh perhatian, merasakan betapa besar beban yang selama ini ditanggung oleh Eric. Ia mencoba menatap Eric dengan pandangan penuh pengertian, berusaha memberikan dukungan meskipun tidak mengucapkan sepatah kata pun.

“Setiap hari,” Eric melanjutkan dengan suara yang mulai bergetar, “aku menjalani rutinitas yang sama. Kerjaanku hanya memasak, menyapu, mengepel, dan berbelanja kebutuhan rumah itu, dan pekerjaan lainnya. Nyaris tidak pernah ada waktu untukku mencari uang sendiri.” Tak ada rasa hormat, tak ada penghargaan. Aku hanya dianggap sebagai pelayan, bukan sebagai suami, bukan sebagai seorang manusia yang layak dihormati. Aku hanyalah seorang sampah”

Melissa merasakan dorongan untuk menghibur Eric, tetapi ia tahu bahwa yang paling dibutuhkan Eric saat ini adalah seseorang yang mendengarkannya. Jadi, ia tetap diam, memberikan ruang bagi Eric untuk meluapkan semua yang ia rasakan.

Setelah memesan makanan, suasana di antara Eric dan Melissa kembali hening. Mereka duduk berhadapan di meja, namun tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara. Eric tenggelam dalam pikirannya, sementara Melissa tampak sedang memikirkan cara untuk mencairkan suasana.

Suara lembut musik di kafe dan aroma kopi yang menguar di udara tidak mampu menghilangkan keheningan yang terasa semakin berat. Melissa menatap Eric, melihat bagaimana pria di depannya itu tenggelam dalam beban yang telah ia utarakan tadi. Melihat ini, Melissa merasa bahwa ia harus melakukan sesuatu.

Dengan nada yang penuh kehangatan, Melissa akhirnya memecah kesunyian. “Eric,” katanya pelan namun penuh tekad, membuat Eric menoleh padanya, “Kau jangan khawatir soal uang hari ini. Aku akan mentraktirmu.”

Eric terkejut mendengar ucapan Melissa, namun sebelum ia bisa menolak tawaran tersebut, Melissa melanjutkan, “Cobalah untuk menghilangkan perasaan rendah dirimu itu. Kau tidak perlu merasa seperti beban di hadapanku.”

Setelah beberapa saat menikmati makanan dalam keheningan yang lebih nyaman, Melissa akhirnya memutuskan untuk membuka percakapan kembali. Dia menatap Eric dengan tatapan lembut, berusaha menunjukkan bahwa dia benar-benar peduli.

“Eric,” Melissa memulai dengan suara tenang, “kalau kau merasa perlu meluapkan semua yang selama ini kau pendam, aku siap mendengarkan. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi denganmu selama ini. Tidak perlu ada yang kau sembunyikan dariku.”

Eric menatap Melissa sejenak, merasakan ketulusan dari sahabat lamanya itu. Ada keraguan di dalam dirinya, apakah ia sebaiknya membebankan masalah-masalahnya kepada Melissa, tetapi di sisi lain, ia merasa perlu berbicara dengan seseorang yang peduli.

“Aku tidak ingin merepotkanmu, Melissa,” Eric mencoba menolak dengan lembut, tetapi tatapan Melissa yang penuh perhatian membuatnya akhirnya luluh.

“Eric,” Melissa berkata dengan tegas namun tetap lembut, “kita sudah berteman sejak lama. Tidak ada yang perlu kau takutkan atau khawatirkan. Aku di sini untukmu. Jadi, ceritakan semuanya. Aku ingin mendengarkan.”

Eric menarik napas panjang, mencoba meredakan emosi yang berkecamuk dalam dirinya. “Baiklah,” katanya akhirnya, suaranya terdengar lelah. “Aku akan menceritakannya padamu.”

Melissa menyesap kopinya, memberi tanda bahwa dia siap mendengarkan dengan seksama.

“Semua ini dimulai sejak awal pernikahanku dengan Sarah,” Eric mulai berbicara, suaranya penuh dengan kegetiran. “Dulu, aku berpikir bahwa menikah dengan seseorang yang kucintai akan menjadi hal terbaik dalam hidupku. Namun, kenyataannya jauh berbeda dari apa yang kubayangkan.”

Melissa mengangguk pelan, menunjukkan bahwa dia memahami perasaan Eric, tanpa menyela.

“Sejak awal, keluarganya tidak pernah benar-benar menerima aku,” lanjut Eric. “Mereka selalu memandangku rendah, menganggapku tak lebih dari beban. Mereka terus-menerus mengingatkanku bahwa aku tidak sebanding dengan mereka, baik dalam hal kekayaan maupun status sosial.”

Eric berhenti sejenak, menatap meja di depannya, seperti tenggelam dalam kenangan pahit yang selama ini menghantuinya. Melissa tetap diam, membiarkan Eric melanjutkan.
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel