Bab 2
Suara tamparan itu bergema di ruangan Tersebut.
Eric memegang pipinya yang terasa panas, matanya melebar tak percaya. Sarah, baru saja menamparnya dengan penuh kebencian di depan pria lain.
Dengan tatapan penuh penghinaan, Sarah mendekatkan wajahnya ke arah Eric, suaranya rendah namun penuh dengan kemarahan yang tak tertahankan. “Kau tidak punya hak untuk mengusirnya, Eric. Kau bahkan tidak punya hak untuk mengatakan apapun lagi kepadaku!” seru Sarah, matanya menyala-nyala.
“Setelah ini, kau hanyalah masa lalu bagiku. Antony adalah masa depanku, dan tidak ada yang bisa kau lakukan untuk mengubahnya!” lanjutnya dengan nada penuh kebencian.
Eric hanya bisa terdiam, rasa sakit di pipinya tidak sebanding dengan rasa sakit yang ia rasakan di hatinya. Namun, Sarah belum selesai.
BYUUURR….!
Ia meraih gelas whisky yang ada di atas meja di dekatnya, lalu ia menyirami kepala Eric dengan whisky itu, membuat cairan berwarna kuning keemasan mengalir ke wajah dan rambut Eric.
Antony tertawa kecil, menikmati pertunjukan di depannya, sementara Eric hanya berdiri di tempatnya, whisky menetes dari rambutnya, matanya tertunduk penuh dengan rasa malu dan sakit hati.
Setelah siraman whisky dari Sarah, Rasa malu, sakit hati, dan amarah bercampur menjadi satu, membakar seluruh dirinya.
Antony masih berdiri di sana dengan senyum sinis di wajahnya, merasa sangat superior. Tatapannya mengisyaratkan bahwa ia memandang rendah Eric, seolah-olah Eric adalah sesuatu yang tidak layak mendapatkan sedikit pun hormat.
Namun, Antony tak pernah menyangka apa yang terjadi selanjutnya.
Tanpa peringatan, Eric mengulurkan tangannya dan mencengkeram kerah baju Antony dengan kuat. Rasa amarah yang ia tahan selama ini meledak begitu saja. “Kau pikir kau siapa, hah?” Eric berseru dengan suara penuh kemarahan, mengguncang tubuh Antony dengan kekuatan yang mengejutkan. Dan tiba-tiba
DUKK!
Pukulan Eric mendarat tepat di wajah Antony, membuat pria itu terdorong ke belakang. Antony tersentak, rasa sakit yang tiba-tiba menjalar dari wajahnya ke seluruh tubuh. Darah mulai mengalir dari sudut bibirnya.
Suasana ruangan berubah menjadi tegang. Sarah, yang sebelumnya penuh dengan kemarahan, sekarang tampak terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.
Antony akhirnya kembali mendapatkan keseimbangannya, namun ia masih merasa linglung. “Kau berani memukulku?” Antony berkata dengan suara tertahan, matanya penuh dengan kemarahan yang baru saja bangkit. “Kau pikir siapa dirimu?!”
Antony mundur beberapa langkah setelah dilepaskan oleh Eric. Rasa sakit dari pukulan tadi masih terasa menyengat di wajahnya, dan amarah mulai menguasai dirinya sepenuhnya. Tidak ada yang pernah berani mempermalukannya seperti ini, apalagi seseorang yang ia anggap sebagai orang tak berguna seperti Eric.
Dengan gerakan cepat dan penuh kemarahan, Antony melangkah maju dan, tanpa peringatan, melayangkan pukulan keras ke wajah Eric. Eric, yang masih berada dalam kondisi penuh emosi setelah pukulan pertamanya, tidak sempat menghindar. Pukulan itu mengenai pipi Eric dengan kekuatan yang cukup untuk membuatnya terhuyung.
DUKK!
Pukulan Antony tidak berhenti di situ. Dengan keganasan yang tidak terduga, Antony terus melayangkan tinjunya ke arah Eric, mengenai perut, dada, dan wajahnya. Setiap pukulan mengandung amarah yang selama ini tertahan, seolah-olah Antony berusaha menghancurkan setiap onggok harga diri yang mungkin tersisa dalam diri Eric.
DUKK! DUKK! DUKK!
Eric berusaha mengangkat tangannya untuk melindungi diri, namun serangan Antony datang terlalu cepat dan bertubi-tubi. Ia merasakan setiap pukulan dengan jelas, rasa sakit mulai menjalar ke seluruh tubuhnya, membuat pandangannya kabur dan tubuhnya kehilangan keseimbangan. Antony, di sisi lain, terlihat semakin beringas, matanya menyala dengan kemarahan yang membara.
“Sialan kau, Eric!” teriak Antony di antara serangan-serangannya, nadanya penuh dengan kebencian yang menggelegak. “Kau pikir kau bisa menyentuhku? Kau pikir kau lebih baik dariku?!”
Sarah, yang awalnya terkejut melihat Eric memukul Antony, kini menyaksikan dengan ketakutan ketika Antony terus menyerang suaminya tanpa ampun. Namun, bukannya menghentikan Antony, Sarah hanya berdiri di sana, matanya terbelalak dan bibirnya gemetar, seolah-olah terbelenggu oleh pemandangan di depannya.
Antony terus memukul, tidak memberi Eric kesempatan untuk membalas atau bahkan menghindar.
DUKK! DUKK! DUKK!
Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh Eric, membuatnya tersungkur di lantai. Setiap kali Eric mencoba untuk bangkit, Antony kembali menghantamnya, memastikan bahwa Eric tidak akan pernah lupa siapa yang lebih berkuasa di antara mereka.
Darah mulai mengalir dari sudut bibir Eric, dan tubuhnya terasa seperti dihantam oleh palu godam. Namun, meskipun rasa sakitnya semakin tak tertahankan, ada sesuatu di dalam diri Eric yang menolak untuk menyerah. Meski tubuhnya dihajar tanpa ampun, matanya tetap menatap Antony dengan penuh kebencian dan tekad yang tidak padam.
Antony akhirnya berhenti setelah serangkaian pukulan yang tampaknya tak berujung. Ia berdiri di atas Eric yang terkapar di lantai, napasnya terengah-engah dan dadanya naik turun dengan cepat. Dengan tatapan penuh kemenangan, ia memandang Eric yang kini tampak tak berdaya di bawahnya.
“Jangan pernah coba-coba melawanku lagi,” ujar Antony dengan nada dingin dan penuh penghinaan, sambil mengusap darah di wajahnya sendiri. “Kau tidak lebih dari sampah di dunia ini, Eric. Ingat itu.”
Eric, meskipun tubuhnya penuh luka dan rasa sakit, hanya bisa menatap Antony dengan tatapan yang tidak akan dilupakan oleh pria itu.
Setelah Antony menghajar Eric dengan serangan bertubi-tubi, Sarah yang masih terdiam di sudut ruangan akhirnya melangkah maju. Wajahnya tidak lagi menunjukkan kemarahan atau ketakutan, melainkan sebuah ekspresi dingin yang penuh dengan kebencian. Dengan langkah perlahan, Sarah mendekati Eric yang masih terkapar di lantai, darah mengalir dari sudut bibirnya, tubuhnya penuh dengan memar.
Sarah menunduk, menatap Eric dengan tatapan yang penuh penghinaan. “Eric,” katanya dengan suara rendah namun tajam, “kau benar-benar tidak tahu tempatmu, bukan?”
Sarah tersenyum sinis, lalu melirik Antony yang masih berdiri di dekatnya dengan ekspresi kemenangan di wajahnya. “Kau benar-benar tidak tahu siapa Tuan Antony, ya?” Sarah berkata dengan nada mengejek, lalu menunduk lebih dekat ke Eric, suaranya hampir berbisik namun penuh dengan kekejaman. “Tuan Antony adalah anak dari keluarga Thompson.”
Namun, sebelum ia sempat mencerna informasi itu, Sarah melanjutkan.
“Dia adalah menejer di perusahaan Universe Group,” Sarah menambahkan dengan nada bangga, seolah-olah posisi Antony memberinya status yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya. “Sebuah perusahaan yang begitu besar, begitu kuat, hingga kalian yang seperti kau bahkan tidak layak berdiri di hadapannya.”
Eric terpaku mendengar kata-kata itu, rasa sakit di tubuhnya seakan terlupakan sejenak oleh kenyataan yang baru saja diungkapkan. Universe Group adalah raksasa dalam dunia bisnis, dengan cabang-cabang yang menjangkau hampir setiap sudut industri.
Sarah menghela napas panjang, seolah-olah lega telah mengeluarkan rahasia besar ini. “Setelah kita bercerai,” lanjutnya dengan nada dingin, “aku akan menikah dengan Tuan Antony. Dia bisa memberiku kehidupan yang selama ini hanya bisa aku impikan. Sesuatu yang kau, Eric, tidak akan pernah bisa berikan.”
Eric hanya bisa menatap Sarah dengan campuran perasaan marah, kecewa, dan hancur. Kata-kata Sarah menusuk hatinya lebih dalam daripada pukulan Antony. Di matanya, Eric melihat seorang wanita yang dulu ia cintai berubah menjadi seseorang yang tidak ia kenal lagi.
Sarah kemudian berdiri tegak, menyilangkan tangannya di dada, dan dengan pandangan penuh kemenangan, ia menatap Eric yang masih terluka di lantai. “Jadi, sekarang kau tahu, Eric. Kau tidak pernah layak untukku. Tuan Antony adalah pria yang sebenarnya, pria yang layak untuk bersamaku. Dan tidak lama lagi, dia akan menjadi suamiku.”
Eric masih terhuyung di lantai, mencoba mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Rasa sakit dari pukulan Antony belum sepenuhnya reda, tapi yang lebih menyakitkan adalah melihat Sarah, wanita yang selama ini ia cintai, menunjukkan perhatian dan kasih sayang kepada pria lain dengan begitu mudahnya. Di hadapannya, Sarah dan Antony berdiri berdekatan, seolah-olah Eric tidak lagi ada di ruangan itu.
Antony, dengan ekspresi penuh kepuasan di wajahnya, mengangkat tangannya untuk menyeka sedikit darah di bibirnya, lalu Sarah dengan cepat meraih saputangan dari tasnya dan menyerahkannya kepada Antony. “Biarkan aku,” katanya dengan lembut, sambil menyeka darah dari bibir Antony dengan gerakan halus. Senyumnya manis, penuh perhatian, seperti seorang istri yang penuh cinta merawat suaminya.
Pemandangan itu membuat darah Eric mendidih. Matanya terbakar dengan kemarahan yang semakin menggelegak, hatinya hancur melihat bagaimana Sarah, yang selama ini tidak pernah menunjukkan sedikit pun kasih sayang kepadanya, sekarang begitu peduli dan perhatian kepada pria lain. Perhatian yang tulus, sesuatu yang selama bertahun-tahun ia harapkan, namun tak pernah ia dapatkan.