Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5

Elang tidak mengingkari ucapannya pada Elora semalam. Hari ini, hari pertama Elora berkunjung ke kantor tanpa didampingi Fahri. Papa Elora sudah membicarakannya dengan Elang perihal keberadaan Elora di perusahaan. Sebagai orang kepercayaan Fahri, Elang melaksanakan tugasnya dengan baik.

Formalitas Elang, tidak begitu menarik perhatian Elora. Jika Elora memiliki prinsip, maka Elang pun sama.

Dari waktu dua jam yang seharusnya digunakan Elang untuk Elora, laki-laki itu hanya menghabiskan satu jam. Sisanya, Elang menyerahkan pada Mutia, sekretarisnya.

Elora ditugaskan dibawah kepemimpinan Elang untuk awal debutnya di perusahaan. Dan, Elang sudah memberikan laporan awal arahan untuk Elora kepada Mutia.

Seperti yang diinginkan Elora, itu yang dilakukan Elang.

"Apakah Bapak akan melakukan inspeksi?"

Bagian dari akhir latihan Elora hari ini. "Ibu Elora menguasai materi dengan cepat."

Elang tahu itu.

"Jam berapa?"

"Jam tiga. Karena setengah jam setelah itu Bapak ada meeting di luar."

Artinya, Elang masih punya waktu 25 menit dari sekarang. Ada beberapa berkas yang belum ditandatanganinya.

"Saya akan menyusul. Kabarkan pada masing-masing divisi sepuluh menit sebelum kita melakukan inspeksi."

Mutia mengangguk dan keluar dari ruangan atasannya.

"Mari Bu." Mutia mengajak Elora ke lantai empat. Ini pertama kalinya Elora akan melihat langsung orang orang yang bekerja di perusahaan tersebut sebelum nantinya berinteraksi.

"Bapak Elang juga akan datang?"

"Benar. Beliau sekarang sedang sibuk." sekilas informasi yang diberikan Mutia kepada Elora.

Seperti yang dikatakan Elang, laki-laki itu menyusul saat Mutia dan Elora keluar dari ruangan wakil direktur.

Elang tidak menyapa, ia tahu Mutia akan mengikuti begitu wanita itu melihatnya. Di tangan Mutia sudah ada sebuah map penting yang akan diisi selama inspeksi.

Bersama Mutia, Elora tidak mendapatkan perhatian. Berbeda untuk saat ini. Tidak butuh waktu lama untuk berpikir karena Elora tahu untuk siapa perhatian karyawan yang kebanyakan wanita, tertuju.

"Selamat sore." Elang menyapa tanpa berhenti. Kaki panjang laki-laki itu melangkah dengan pasti ke setiap sudut ruangan. Sudah lama Elang tidak melakukannya, karena itu telah menjadi tugas orang lain. Ini adalah bagian dari latihan untuk Elora tentu tanpa diketahui karyawan lainnya.

Bisik-bisik basah, ditangkap pendengaran Elora. Setelah itu Elora melihat Elang yang berdiri tidak jauh darinya berbicara dengan seorang wanita yang diketahui dari Mutia adalah kepala divisi ruangan itu.

Perhatian para karyawan itu menggelikan. Terang-terangan mereka memuja sosok Elang Ardhana. Apa yang mereka lihat dari Elang? Perasaan, Elang sama saja dengan lelaki lain. Elora tidak menemukan hal aneh.

Sedang Elora menatap, tanpa sengaja Elang juga melabuhkan mata pada wanita itu. Elang tidak grogi. "Ada apa?"

Elora menggeleng, dan Elang kembali berbicara dengan kepala divisi.

"Lihat dan tulis apa yang kamu lihat," kata Elang saat keluar dari ruangan tersebut. Satu ruangan lagi yang harus dituju oleh Elang, setelah itu Mutia yang akan melanjutkannya.

Kini, Elora dibawa ke ruangan lain. Masih sama. Elang adalah bintang di perusahaan papanya.

Wibawa Elang dalam berinteraksi adalah hal yang wajar, kenapa para wanita itu seperti melihat malaikat Jibril?

"Bapak Elang baik dan ramah pada karyawan." Mutia memberikan jawaban ketika Elora menanyakan pamor Elang di perusahaannya.

"Sebelum menjadi direktur, pak Elang pernah menjadi bagian dari divisi-divisi tadi."

Elora mengerti.

"Pak Elang juga sering membawa istri ke kantor, baik ada event maupun acara santai bersama karyawan."

Sampai disini, Elora sudah sangat mengerti.

Saat bersamanya, Elang tidak pernah membagikan waktu dengan orang lain. Dinda telah mengubah semuanya dan berkat hubungan Elang dan Dinda, Elora bisa melupakan semuanya.

"Apakah ada kegiatan lagi?"

"Untuk hari ini, cukup sampai di sini."

Elora keluar dari gedung perusahaan tepat angka lima sore. Karena mobilnya berada diparkiran utama, Elora bertemu Elang yang baru memarkirkan mobilnya.

Elang melewati Elora tanpa menyapanya. Tegap langkah Elang tidak terkesan angkuh. Laki-laki itu bersikap biasa seperti yang diinginkan Elora.

"Terimakasih untuk hari ini."

Elang tidak berhenti. Dia tidak melakukan dengan suka rela, melainkan digaji setiap bulannya karena itu merupakan tugasnya, untuk apa wanita itu berterimakasih?

Persahabatan di masa lalu telah usai, Elang berjalan ke arah semestinya. Ia pernah memiliki Elora, dan saat ini ia menerima keputusan jika cukup tujuh tahun kemarin kebersamaan mereka tanpa harus mengharap lebih.

Dwi Rahayu, ibunda Elang sedang berada di Jakarta. Beliau menyempatkan datang satu bulan sekali untuk menjenguk Elang juga cucunya.

Sering Dwi menanyakan Elora, dan selalu Elang mengatakan jika wanita itu sedang sangat sibuk.

"Mama El menelepon," kata Dwi memberitahu Elang.

"Mama bilang apa?"

"Mengajak makan malam. Sesekali Mama ke sini."

Elang tidak menghalangi mamanya bertemu dengan mama Elora.

"Sekalian, ibu almarhumah Dinda. Kami mau keluar sebentar."

"Kapan?"

"Kamu biasanya kapan?"

"Aku tidak bisa. Mama saja yang pergi. Aku akan menjaga Emil."

Dwi menyela, "Emil Mama bawa."

"Boleh. Tapi aku tidak bisa pergi."

Dwi memperhatikan putranya. "Kenapa? El mungkin juga di sana."

"Aku diburu waktu, Ma. kerjaan enggak ada habisnya. Mama saja yang pergi." Elang mulai mengisi sup ke mangkuknya. Mama tidak perlu tahu jika antara dirinya dan El tidak ada lagi ada hubungan.

Elang tidak mau membahas Elora. Jika Elora sudah melupakan semuanya, Elang baru akan mencari jalan agar yang dilakukan Elora tidak lagi mengusik fokusnya. Elora telah berhasil, dan Elang optimis jika dirinya juga bisa melakukannya.

Faktanya, Elang harus menyimpan mangkuk yang telah diisi sup. Selera makannya meluap entah ke mana.

******

Elang tidak tahu, di luar ada tamu yang diundang oleh mamamya. Di dalam, ia masih bergelut dalam selimut karena rasa kantuk yang masih mendera. semalam Elang harus tidur larut karena membereskan pekerjaannya.

Selama ada mamanya di rumah, Elang tidak kerepotan mengurus Emil. Ia sedang merayu mamanya agar mau tinggal lebih lama, bukan hanya kerena Emil, tapi ia merasa kesepian.

Suasana di luar cukup ramai, selain Ria dan ibu almarhumah Dinda, ada juga Elora. Minggu pagi itu adalah hal berbeda selama Elang menduda.

"El, tolong bangunin Elang. Sudah jam sembilan nih." acara bakar-bakar akan segera digelar di belakang rumah Elang.

Elora bangun, ketika mama Emang menyuruhnya. Cuma mengetuk pintu, tidak apa, pikir Elora.

Cuaca minggu pagi itu sejuk, karena itu Elang masih pulas menikmati tidurnya.

Ketika ketukan terdengar, Elang tidak langsung bangun. Laki-laki itu menarik selimutnya agar menutupi seluruh tubuh. Masih sama, ketukan pintu kamarnya semakin terasa keras. Mungkinkah mama ada keperluan dengannya?

"Masuk saja." Elang belum sepenuhnya bangun, walaupun matanya sudah terbuka.

Ketika pintu dibuka, Elang tidak melihat sosok yang berdiri di ambang pintu kamarnya. Sepasang mata Elora menangkap pigura besar yang tergantung di kamar laki-laki itu.

"Mama menyuruhmu bangun."

Elang menoleh ketika mendengar suara seseorang.

"Mereka sudah menunggu."

Dua pasang mata itu saling beradu tatap. Elang tidak tahu kenapa Elora yang membangunkannya, kenapa wanita itu di rumahnya, dan apa yang dilakukan Elora di sini?

"Arangnya, kamu letakkan di mana?"

Arang?

Elang tidak tahu apa yang dibicarakan Elora. Menyingkap selimut, laki-laki itu duduk di sisi ranjangnya. "Apa yang kamu lakukan di sini?"

Perlukah tanya Elang dijawab Elora? "Keluarlah mama dan ibu mertuamu sedang menunggu."

Apa?

"Sebentar." Elang menahan Elora ketika Elora akan menutup pintu kamarnya. Kenapa Elang harus melihat wanita yang memintanya menjauh tepat saat ia membuka mata pagi ini?

"Bilang sama mama, aku akan keluar setengah jam lagi."

"Eum." Elora menutup pintu kamar Elang, tapi tidak bisa menutup ingatan pada foto yang sempat dilihatnya tadi.

Kembali ke ruang tamu, Elora baru menyadari jika tidak ada satupun foto pernikahan yang terpajang.

"Sudah bangun Elang?"

"Sudah Ma. Lagi mandi."

Ria menatap heran pada putrinya, Elora membangunkan Elang? Demi apa? Di rumah, anak gadisnya itu tidak mau berurusan dengan Elang walaupun sekedar mendengar. Tapi, Ria tidak menampik mungkin karena hubungan Elora dan mama Elang memang sangat dekat, sedekat Elang dengan dirinya.

Setengah jam yang dijanjikan Elang menjadi satu jam. Entah apa yang dilakukan laki-laki itu baru keluar dari kamar jam sepuluh lewat tiga menit.

"Arangnya mana Lang?" Dwi menghampiri Elang.

"Aku enggak beli."

Dwi kesal, "Kan Mama sudah nyuruh, artinya memang penting. Enggak lihat tuh dibelakang kami sudah siapin semua, tinggal nungguin arang."

Dua hari yang lalu, Dwi menyuruhnya tapi Elang lupa.

"El!" Dwi meneriaki Elora yang berada di belakang.

"Kenapa Ma?" Elora berlari ke arah Dwi dan Elang.

"Temenin dulu Elang beli arang. Sekalian kemiri, beli saja seperempat lagi. Awas lupa lagi. Kemiri!"

"Iya."

Elang bisa sendiri, kenapa mamanya harus menyuruh Elora menemaninya?

"Maaf mama merepotkan," kata Elang ketika mereka sudah masuk ke dalam mobil.

"Eum."

Elang menoleh sekilas. Hari ini ia ditemani oleh Elora, wanita yang meminta agar laki-laki itu menganggapnya sebagai mantan sahabat.

"Kita ke pasar, tidak apa?"

"Kenapa?"

"Kamu seorang model, cantik juga orang ternama ,tidak malu masuk ke pasar?"

"Aku disuruh temanin. Bukan nenteng belanjaan."

Elang mengangguk. "Jalan sama laki-laki yang enggak peka sama perasaanmu, semoga tidak membuatmu kesal."

Elora menelan ludah ketika Elang menyinggung hal itu.

Setelah mengatakan itu, Elang diam. Elang hanya mengajaknya bicara agar tidak bosan. Elang tidak tahu jika Elora terkejut dengan ucapannya.

Tiba di pasar mereka turun. Pesanan Dwi hanya arang dan Kemiri, tidak susah mencarinya. Karena tidak mau merepotkan Elora, Elang menyuruh wanita itu menunggu di pangkalan es dawet jalan masuk ke pasar. Tapi, Elora tidak mau dan mengikuti Elang dari belakang.

Lumayan ramai, dan aroma ikan dan daging mulai menusuk indera penciuman. Elora memegang ujung kemeja Elang dan berjalan di belakang laki-laki itu, ia tidak membantu sana sekali, benar-benar menemani hingga mereka kembali ke mobil.

"Enggak ada yang mau kamu beli?"

"Tidak."

Elang mengemudikan mobilnya dan mulai meninggalkan area pasar tradisional tersebut.

Yang ingin dikatakan Elang adalah setiap mereka bertemu, ada hal yang dikenang Elang tentang Elora. Nostalgia mungkin. Tapi yang terucap dari bibir Elang adalah, "Saat itu harusnya aku jujur tentang hubunganku dengan Dinda. Tapi, aku menunggu kamu."

"Aku tidak berharap dari masa lalu." Elora berbicara dengan santai.

"Perihal kamu pergi untuk melupakan tentang kita, bisa kuterima." Elang tidak peduli pada ucapan Elora. "Yang tidak kumengerti, kenapa menyudutkanku seolah aku salah dalam hubungan kita?"

Elora merasa terganggu dengan bahasan masa lalu yang tiba-tiba dibicarakan Elang. Elora sudah melupakan, tidak ada hak bagi Elang untuk menanyakan masa lalu yang sudah lama dibuangnya.

"Aku akan mengatakan, tapi kamu memilih menjaga jarak denganku, ingat?" Elang tidak pulang dari jalan biasanya, ia mencari jalan lain agar bisa sedikit lebih lama. Entahlah, tiba-tiba saja dirinya ingin berbicara dengan Elora, menyelesaikan jika benar-benar harus selesai.

"Setelah akad, kamu pergi. Kamu membuka kado ulang tahun dariku?"

"Aku membuangnya." Elora berkata jujur.

Darah Elang berdesir. Artinya Elora tidak membaca surat dalam kotak kecil itu. "Aku menciummu, apakah kamu juga melupakannya?"

Elora terbatuk. Elora tidak lupa. Tapi, "Itu bukan sesuatu yang berarti." Begitu untuk saat ini.

"Oh." Elang menghentikan mobilnya. Laki-laki itu belum menatap ke samping di mana Elora berada.

"Aku mau tanya." Elang tahu jika Elora tidak akan suka dengan pertanyaan ini, sekalipun mereka tidak lagi bersahabat.

"Aku turun di sini saja," kata Elora berusaha membuka pintu. Bukan takut, tapi jika diam saja, Elang semakin nekad melakukan keinginannya sedang Elora tidak suka.

"Jawab saja, jika memang benar." tangan Elang sudah mengunci pergerakan Elora. Matanya menelisik keyakinan di mata gadis itu. "Selama di sana benarkah kamu sudah melupakan tentang kita?"

"Apa yang istimewa menurutmu?" tanya Elora tenang. Penguasaan diri gadis itu cukup bagus.

Elang tidak menjawab. Ia akan tahu, tanpa harus memaksa. Mimpinya semalam, mungkin bisa dipercaya.

"Ciumanmu?" tanya Elora dengan nada sinis. "Debutku di Milan bukan lagi tentang ciuman." Elora berkata seperti mengeja kata, dengan ujung matanya ia melihat jika jemari lelaki itu memutih.

"Kamu mau buktinya?" Elora melemparkan kalimat yang dijadikan senjata sehingga membuat Elang diam seribu bahasa.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel