4
Enam tahun belum dirasa cukup oleh Elora. Perintah Fahri juga keinginan sang mama membawa langkah gadis itu kembali ke tanah air. Elora tidak ragu untuk pulang, tapi jiwanya sudah menyatu dengan negara yang sudah ditempati selama ini.
Elora membiarkan orang tuanya menunggu selama satu jam di parkiran sementara dirinya masih berada di dalam bandara dengan segelas latte. Elora sudah meminta pada orang tuanya agar tidak ada sambutan apa-apa. Ia bukan pulang dari medan tempur. Setelah dirasa cukup me time pertama di tanah air, gadis itu turun dan keluar dari bandara menuju ke parkiran.
"El-nya Mama kan?"
Elora mencebik dengan candanya mendengar reaksi sang mama. Penampilannya biasa saja, lagi pula setiap hari mamanya melihat dirinya di layar panggilan video.
Melihat sang putri, senyum bahagia Fahri terukir. "Enam tahun cukup kan?"
Elora tidak suka tanya itu.
"Papa memaksa. Jelas itu dilarang oleh undang-undang. Setiap orang berhak memilih negara untuk menetap."
"Sayangnya, kamu bukan lahir karena undang-undang itu."
Elora tertawa.
Gadis itu kini telah menjelma dewasa, bertambah cantik dan tentunya sudah memiliki pengalaman hidup karena kemandiriannya di negara orang.
Karena Elora tidak mau singgah di restoran, Fahri langsung membawa putrinya pulang ke rumah.
"Kamu makan banyak di sana El sampai bisa segede ini sekarang," celutuk Ria setelah keluar dari mobil.
"Mood booster di sana enggak kaleng-kaleng, Ma."
Mendengar jawaban Elora, Ria tertawa. Ibu satu anak itu sepertinya mendapat energi baru sejak pertama kali melihat anaknya setelah enam tahun merantau di negeri orang.
Bersama orang tuanya, Elora masuk ke rumah. Ada bahagia ketika Elora menginjak lagi di rumah yang penuh kenangan masa kecilnya.
Sementara mamanya menyapa seseorang, kaki Elora terhenti tiba-tiba. Matanya menangkap sosok lelaki yang sedang menggendong seorang anak laki-laki berdiri membelakanginya.
"Sudah lama, Lang?"
Ketika tubuh itu berbalik, mata Elora beradu dengan manik si kecil yang berada dalam gendongan laki-laki tersebut. Tidak lama, karena dia tahu siapa pemilik mata mungil itu.
Hebatnya, Elora tidak mengaitkan tatapannya pada lelaki yang pernah menjadi sahabatnya. Tatapannya hanya sekilas, dan Elora tidak merasakan getaran atau detak tak normal dari organ jantungnya.
Enam tahun, bukan waktu yang singkat. Elora harus bertahan dan membunuh rindu pada orang tersayang. Enam tahun dipergunakan Elora untuk menyembuhkan hati dan mengenali dirinya dengan baik agar tahu di mana celah lemah yang selalu dikuasai rasa tak bertuan itu.
Dehaman Fahri, mencairkan suasana. "Kamu menungguku?"
"Iya."
"Masuklah. Sempatkan malam di sini." Fahri berjalan ke ruang kerjanya.
"Tentu. Elang tidak buru-buru. Ya kan?" Ria yang menyela. Ia mengulurkan tangan untuk menggendong putra Elang sementara laki-laki itu berbicara dengan suaminya.. Baru jam empat sore, memang masih lama menunggu waktu makan malam, tapi Ria merasa tidak enak membiarkan Elang pergi begitu saja sementara mereka sedang bahagia menyambut kepulangan Elora.
Elang tidak menjawab. Ia hanya mengulas senyum tipisnya.
Sebelum Elang menyusul Fahri, Elora terlebih dulu berpamitan masuk ke kamarnya.
Elang memperhatikan Elora. Tidak detail, tapi penampilannya menegaskan jika gadis itu memang telah berubah.
Elang tidak menyapa, begitu juga dengan Elora. Mereka telah mengasingkan hati dengan alasan yang berbeda. Masing-masing telah menetapkan hati untuk tujuan yang tidak sama. Jika keadaan tak lagi sama, itu karena ada sebab yang mengakibatkan sepasang sahabat itu menjaga jarak.
Elang datang karena urusan pekerjaan, bukan karena Elora. Ia tidak tahu Elora pulang. Wajar jika ia terkejut melihat Elora berada di rumah.
"Kalian tidak saling menyapa?"
Mendapat pertanyaan dari Fahri, Elang merasa tidak enak. "Aku akan menyapanya nanti."
Dan saat makan malam, Elang melakukannya. Saat wanita itu sedang mengisi piring, Elang menyapa walau sekedar bertanya kabar.
"Apa kabar El?"
Di luar dugaan orang tuanya, Elora menjawab sapa Elang dan bisa bersikap santai.
"Baik. Kamu juga terlihat baik sepertinya."
Elang tidak bisa tersenyum. Bukan karena kalimat yang tidak berpeluang mendapatkan balasannya, melainkan sesuatu yang Elora pikirkan tentang dirinya yang baik-baik saja.
Giliran Ria yang kesal dengan jawaban sang putri.
"Kita makan dulu," kata Fahri karena tahu istrinya akan mengeluarkan kalimat yang akan membuat salah satu di antara mereka tidak akan ikut makan malam bersama.
Harusnya, Elora bertanya bukan berujar dengan kalimat pasti selalu tahu keadaan Elang. Karena Ria yakin jika Elora tidak lagi memiliki perasaan pada Elang.
"Dinda sudah meninggal." usai makan malam, Ria mengatakan sebuah kabar duka.
Elora menatap Ria, Tidak mungkin mamanya bercanda masalah nyawa seseorang. Kepada Elang, Elora mengucapkan bela sungkawa. "Aku ikut berdukacita."
Elang merespons dengan tatapannya, sementara Elora kembali fokus pada menu penutup yang belum dihabiskan olehnya. Elora teringat pada ayunan di ruang tengah, ia yakin jika anaknya Elang sering ditinggalkan pada mamanya.
Elora tidak tahu menahu keadaan rumah tangga Elang. Di Milan, Elora benar-benar bekerja dan fokus pada diri sendiri. Ia juga meminta mamanya tidak menyinggung siapapun selama ia berada di sana. Syukurnya, Elora bisa melewati hari-harinya di sana.
Elora sudah melupakan masa lalunya yang memalukan itu.
"Aku pulang dulu, Ma. Makasih makan malamnya."
Ria ikut bangun ketika Elang berpamitan. "Papa bilang besok pendataan objek. Emil di sini saja. Lagian ada Elora kok."
"Aku sibuk," kata Elora. Dia pulang karena keinginan orang tuanya, bukan jadi baby sitter.
Ria tidak suka melihat sikap putrinya. Tidak adakah cara Berbasa-basi?
"Makasih Ma. Aku sudah meminta Mutia menjaganya."
Elora tidak peduli. Ia memang sibuk. Elang sudah pernah memilih jalan hidup, sekarang jangan sangkut pautkan hidup lelaki itu padanya. Atasi saja masalah masing-masing, kenapa harus merepotkan?
Elora tidak melihat raut Elang. Dirinya benar-benar tidak peduli.
"Hatimu belum sembuh."
Elora menyambut ucapan papanya. "Minggu depan, kukenalkan Papa pada calon menantu. Jaminan Papa suka."
Elang bisa mendengar kalimat Elora, karena ia berada di ambang pintu ruang makan untuk mengambil ponselnya yang tertinggal di meja.
"Ponselku ketinggalan," kata Elang menyadari tatapan Fahri. Setelah mengambilnya, Elang keluar dari sana bersama sesak yang mendera.
******
Kedekatan Elang dan keluarga Elora dikarenakan persahabatan mereka dulu. Elora tahu, tapi tidak pernah menyangka, ketika dirinya memutuskan pergi karena perasaan tak terbalasnya, lelaki itu masih menjalin silaturahmi dan semakin dekat. Dengan papanya perihal pekerjaan, sedang dengan ibunya tentang anak lelaki itu.
Hari ini, setelah Elora kembali dari luar negeri, laki-laki yang telah dipercayakan oleh papanya akan menjadi atasannya di perusahaan. Bisa dikatakan sejak semalam, karena mereka berdua pergi menemui calon tamu undangan.
Flashback.
"Kita mau bertemu tamu penting, yakin tidak mau ganti baju?" kemeja flanel dan celana jeans lengkap dengan sepatu flat.
"Jalan saja," jawab Elora. Ia duduk di belakang, membiarkan Elang menyetir sendiri layaknya seorang sopir.
Sepuluh menit pertama keduanya masih diam, Elora memilih menikmati langit malam dari kaca mobil.
"Maaf kalau aku merepotkanmu kemarin."
Tidak ada jawaban, dari spion depan Elang melihat, jika Elora sedang asyik melihat keluar jendela. Elang tidak menganggu. Menyetir dengan serius, lelaki itu mengalihkan fokusnya. Hingga tiba di tempat tujuan, mereka masih diam. Saat memperkenalkan pada calon tamu undangan, barulah wanita itu membuka mulutnya dan berbicara dengan ramah.
"Tidak asing dengan wajahnya."
"Memang pasaran, Bu." canda Elora renyah dan bisa membuat tamu tersebut tertawa.
"Masih gadis, Elora?" tanya istri Wicaksono, salah satu target Fahri.
"Dijamin masih ting-ting, Bu." Elora tidak tertawa, lain dengan sepasang suami istri tersebut.
"Kapan-kapan bisa ya ketemu Jagat, putra kami."
Senyum Elora terukir. "Aman, Bu. Bisa diatur."
Tentu saja mereka senang mendengar jawaban Elora. Kesan pertama telah terlihat dari seorang Elora. Ramah dan baik hati, orang tua mana yang tidak suka?
Baik Elora maupun Elang, disukai oleh Wicaksono dan istrinya. Pamor Elang tidak terbantahkan di kalangan pebisnis. Jika mereka memiliki anak gadis, pasti akan dinikahkan dengan duda satu anak tersebut.
"Kenapa dikunci?" Elora tidak bisa membuka pintu belakang.
"Macet," jawab Elang asal.
Bisa macet pintu mobil mewah seperti ini? "Jangan bercanda."
"Masuklah. Sudah malam. Kita masih harus bertemu dengan yang lainnya."
Membuka pintu mobil, Elora duduk di samping Elang. Ia kesal, tapi tidak diperlihatkan pada lelaki itu.
"Kamu sedang cari jodoh?"
Elora menggeleng.
"Kenapa tidak bilang, jika kamu pernah hamil?"
Elora tidak peduli pada tanya Elang. "Bukankah masih ada orang yang harus didatangi?" komentar Elora beralasan karena Elang mengemudi dengan santai.
"Mereka menyukaimu," sama halnya dengan Elora, Elang pun tidak menggubris kalimat wanita itu.
"Eum." Elora tidak terlalu menanggapi. Mereka tidak sedekat itu sekarang, kenapa Elang tidak merasa?
Tidak mungkin selamanya Elang diam. Setelah malam ini akan ada hari-hari esok mengisi kebersamaan mereka. Fahri meminta Elang mengajarkan Elora segala hal yang menyangkut dengan perusahaan.
"El."
Elora ingin Elang bersikap biasa saja. Atau bisa menganggapnya anak atasannya, bukan sahabat yang harus bersikap seperti masa lalu.
"Aku minta maaf."
"Aku sedang tidak memainkan peran."
Mobil dihentikan oleh Elang tepat di bawah sebuah pohon pinggir jalan.
"Enam tahun sudah mengubahmu Elora Judistia?" Elang menatap tajam wanita yang dahulu selalu senang membalas tatapannya, tidak seperti ini. Membuang muka setiap kali berbicara.
"Ada apa denganmu? Apakah ini bagian dari acara malam ini?"
"Berhenti bersikap aneh di depanku."
Raut Elora masih datar, sedatar nada suaranya. "Kamu mau aku bagaimana? Aku lupa, seperti apa aku di masa lalu." karena Elora tidak lagi hidup di bawah bayangan Elang. Elora sudah mandiri selama ini.
Elang tidak percaya. Elora bukan keluar dari rumah sakit karena kecelakaan otak, wanita itu pergi merantau. Begitu kan?
"Perlukah aku mengingatkanmu?"
"Kamu merasa perlu?"
Elang mengerang dalam hati. Kenapa Elora memaksa diri untuk merubah hal yang semakin menantang. Hal itu biasanya dilakukan oleh wanita dewasa.
Ketika Elang mendekat, Elora tidak gelisah. Raut datarnya membuat elang tidak tenang.
"Apakah kita pernah melakukannya di masa lalu?"
Elang memejamkan mata. Bukan sedang menikmati tapi marah pada pertanyaan yang dilontarkan Elora.
"Kamu pernah memintaku agar tidak pergi jauh. Setelah itu siapa yang menjauh?" Elang sedang tidak menuntut. "Kamu mengerti diamku saat marah, lantas kenapa pergi?" Elang yakin, Elora mengingat masa itu sekalipun ia pernah pergi jauh.
"Jangan baper. Keberadaanku di sini karena menghargai papa."
"Anggap aku egois, tapi aku masih menganggapmu sahabat, El." Elang tidak baper, ia hanya menyangsikan sikap Elora yang mengasingkannya.
"Sahabat? Aku tidak merasa seperti itu." posisi keduanya masih dekat. Elora bisa melihat banyak perubahan dari wajah Elang. Terutama mimik seorang lelaki yang pernah menjadi suami. Ah, Elora jadi mengingatnya.
"Aku tegaskan." Elora mengerjap, rautnya mulai dingin. "Tentang kita tak ada lagi. Apapun anggapanmu telah lama kubuang. Hidupku tidak tergantung padamu karena hanya aku yang bisa membahagiakan diriku sendiri." Elora tidak ingin mengulas cerita, ia hanya ingin Elang hidup dengan realita sekarang dan menghargai dirinya, bukan sebagai mantan sahabat melainkan anak atasannya.
"Jangan berlebihan. Kamu mengenalku di masa lalu bukan berarti kamu memahamiku saat ini." cara Elora mengawal diri cukup bagus, tanpa disadari olehnya, ada yang terluka karena ucapannya.
"Begitu pandanganmu untuk seseorang yang pernah jadi sahabat?"
"Iya. Dan, aku tidak peduli." jika satu kalimat itu telah diucapkan, maka memang tidak ada perasaan apapun lagi yang harus dijaga.
Elang terluka. Elora pernah pergi tanpa memberitahunya. Elora pernah menjauh tanpa tahu ia merindu. Apakah satu kata cinta dari Elora yang terlambat diketahui Elang merusak segalanya? Apakah karena Elang tidak peka? Elora membencinya karena memilih Dinda? Benar begitu?
Elang sudah kembali ke posisi semula dan mengemudi membelah kesunyian malam. Ia pikir, Elora tidak menganggapnya karena belum mengajaknya bicara, ternyata jauh sebelum hari ini, Elora telah menyiapkan keputusan besar. Elang menunggu kabar selama enam tahun ini, dari hati yang paling dalam ia masih menyayangi wanita itu. Laki-laki itu masih ingin bersahabat kendati ia telah berumah tangga saat itu, Elang akan menutup rapat tentang perasaan Elora padanya karena Elang tidak ingin Elora malu atau risih padanya. Elang tulus. Tapi hari ini, Elora telah mengabarkan tentang hati yang memang tidak ada lagi perasaan apa-apa.
Ayah Emil tidak mengharapkan hubungan lebih, karena jauh di lubuk hatinya, ia masih menganggap Elora sebagai sahabatnya. Dan Elang masih mencintai almarhumah istrinya. Sampai di sini, apakah laki-laki itu salah?
"Maaf sudah salah paham. Maaf sudah mengganggu malammu." Elang tahu diri. Ia tidak layak menjadi seorang sahabat. "Aku tidak akan mengusikmu." berat, tapi Elang harus mengatakannya. "Terimakasih sudah pernah mengisi hari-hariku." itu adalah kalimat Elang sebelum Elora turun dari mobil di depan kediaman Fahri.
Elora tidak tahu, jika malam ini adalah malam kesekian Elang menitikkan air mata untuk gadis itu.
