6
Ketika tiba di rumah, bukan hanya Elang yang dimarahi Dwi, Elora juga kena. Mereka sudah menunggu lama, begitu pulang Elang hanya membawa masuk arang, sedang Kemiri masih dipilih Elora karena jatuh tercecer di garasi.
Elang tidak ikut acara bakar ayam, laki-laki itu mengurung diri di kamar. Kalimat Elora dimobil telah membuat rasa percaya dirinya runtuh. Bukan hanya saat ini, Elora sudah tidak menghargainya sejak dulu.
Membuka lemari, Elang mengambil celengannya bersama Elora dulu. Elang ragu, jika Elora masih mengingatnya. Benda ini adalah keinginan Elora. Wanita itu ingin menabung bersama Elang, setelah penuh nanti mereka akan membuka dan sepakat membeli motor.
"Aku tidak akan masuk jika bukan mama yang meminta." maksudnya mama Elang.
Elang yang masih memegang celengan plastik besar, melihat si penerobos.
"Keluar. Aku tidak mau bolak-balik ketemu kamu."
Elang membelakangi Elora dan menuju ke balkon kamarnya tidak peduli pada ucapan Elora. Mengambil korek, Elang akan membakarnya.
Dari belakang Elora mengikuti langkah Elang. Ia mencium bau asap. Elora belum lupa pada benda itu, tapi ia tidak ada urusan lagi dengan celengan itu.
"Kamu gila?"
Elang menepis tangan Elora yang akan menyelamatkan benda itu.
"Tidak apa kamu membakarnya, tapi hargai uang itu. Banyak orang kesusahan mencarinya di sana!" Elora melemparkan bantal ke celengan yang mulai terbakar. Setelah itu ia mengambil benda itu dari lantai.
"Keluar dari kamarku." Elang berkata dengan nada rendah. "Jangan datang hanya karena mama menyuruhmu." intonasinya mulai naik. "Kamu tidak menghargaiku. Jadi, abaikan juga orang tuaku. Di antara kita tidak ada hubungan lagi." Elang kecewa.
"Jangan memasang wajah manis di depan mama." Elang berbicara tanpa melihat Elora. "Katakan pada mama. Aku berkhianat. Aku jatuh cinta dan menikahi sepupumu sehingga membuatmu terluka dan membenciku." selesai. Itu yang sudah dikatakan Elang pada Ria, mama Elora. Sekarang Elora harus mengatakan pada mamanya agar Dwi tidak salah paham lagi.
"Jangan kekanakan!" Elora meletakkan celengan di atas ranjang.
"Aku tidak salah paham lagi. Pada orang tuamu, aku sudah berkata jujur."
Langkah Elora tertahan.
"Karena aku menghargai hubungan kita."
Elang sudah berbicara dengan papa? Pantas, jika orang tuanya masih berhubungan baik dengan laki-laki itu.
"Aku akan mengatakan pada mama. Kamu cukup mendengarkan."
Elora menarik tangan Elang. "Sudah kukatakan, jangan kekanakan."
"Lantas sampai kapan kamu akan membuat mamaku terlihat bodoh?"
"Aku tidak sejahat itu!"
"Buktinya kamu jahat, El! Kamu jahat! Kamu tidak jujur tentang perasaanmu dan menghukumku karena mencintai Dinda! Kamu pergi tanpa memberitahuku! Jauh sebelum itu kamu mendiamkanku! Kamu ingat El?"
Jantung Elora berdetak kencang. Elang sedang marah.
"Aku tidak tahu perasaanmu, tapi aku mengatakan padamu jika aku akan menikahi Dinda. Dari mana aku harus tahu perasaanmu?!"
Elang menghancurkan cerminnya. "Aku menyayangimu sejak pertama kali kita bersahabat. Bisa kamu hitung sikap tulusku El?"
Tatapan laki-laki itu terluka. "Kamu pergi. Memutuskan segalanya sendiri!" Elang hilang kendali. "Lantas untuk apa kamu memintaku merancang rencana jika semua keputusan ada padamu?"
"Karena cintaku pada dia membuatmu terluka?" Elang menunjuk foto pernikahannya yang menggantung di dinding kamarnya, sedang mata menatap Elora. "Kamu bersikap seolah kamu sakit karena perbuatanku." suara Elang serak. "Ada cara El, jika kamu terluka. Bukan caramu yang memilih pergi sedang aku tidak tahu."
Mata Elora memerah. Ini pertama kali ia melihat Elang marah.
"Mungkin sampai detik ini aku masih mencintainya, tapi aku sudah sayang kamu sebelum dia hadir." suara Elang mulai putus-putus.
"Apakah titel sahabat kurang berharga dari sepasang kekasih El?" Elang berpaling. Ia sudah mengeluarkan isi hatinya.
"Pergilah." Elang mulai merasakan sakit di tangannya. "Aku akan mengundurkan diri dari perusahaan. Aku akan pergi. Kamu pernah kecewa padaku. Dan hari ini aku akan pergi."
Elora menggigit bibirnya. Mencari kotak P3K, wanita itu akan mengobati tangan Elang.
"Keluarlah." Elang menutup pintu yang menghubungkan kamar dan balkon.
Laki-laki itu duduk di sana. Kalimat Elora di mobil yang mengatakan debutnya bukan lagi sekedar ciuman telah memancing emosinya. Elang menjaga dengan baik wanita itu selama bersahabat dengannya. Emosi Elang kian menjadi ketika mengingat keberangkatan Elora ke Milan. Tidak tanggung-tanggung, enam tahun wanita itu menetap di sana khusus untuk melupakannya. Tidak tahukah betapa ia merindukan sahabatnya?
Elang sudah sayang. Sudah nyaman. Kenapa Elora harus menutupi perasaannya? Kenapa setelah akad, perasaan Elora diketahuinya?
Ketika ponsel Elang berdering, dan menampilkan nama Fahri di layar, Elora hanya bisa diam. Di kamar yang berantakan karena emosi Elang, Elora melihat laki-laki itu melalui kaca balkon. Tangan yang terluka itu masih berdarah. Ada ceceran darah di lantai itu.
Mereka tidak tahu, ada tiga pasang telinga yang mendengar pertengkaran sengit itu. Para ibu tersebut hanya bisa diam saling memandang.
Elora menunggu. Jika tadi Elang sudah mengalamatkan isi hatinya, Elora juga akan mengklarifikasi perasaan di masa itu. Elora tahu, ada alasan yang membuat Elang murka seperti saat ini. Kendati hati Elora tak lagi menyisakan rasa cinta, sedikitnya jejak sayang yang telah samar itu menampakkan diri.
Elora tidak beranjak sedikitpun dari sana. Sama hal dengan dirinya, jika sudah membuat keputusan maka Elang akan melakukannya. Bukan menghalangi keinginan Elang, Elora mau jika memang Elang ingin menjauh, bukan dirinya yang menjadi alasan. Terlebih Elang telah memiliki Emil, Elora ingin Elang berpikir dengan matang sebelum mengambil keputusan.
Para ibu di luar peduli pada masalah yang menimpa dua orang di dalam sana. Tapi mereka tidak sanggup melewatkan ayam bakar walaupun ada yang gosong. Saling, diam mereka makan menjelang sore ditemani Emil, putra Elang.
Entah berapa jam Elora menunggu tanpa menganggu. Wanita itu tidak sadar tidur di sofa milik Elang. Elora sudah bertekad, dan ia akan menunggu laki-laki itu masuk.
Mereka sudah dewasa, punya cara menyelesaikan masalah tanpa melibatkan hati.
"Tangan ini tak lebih sakit dari hatiku," kata Elang melihat kotak P3K di atas meja. Elora tidur di sofa berbantalkan lengan.
Elang mengangkat Elora ke atas tempat tidurnya, karena tidak tega melihat wanita itu tidur di sana.
"Maaf."
Elang juga menangis mendengar Elora mengigau, juga air di sudut mata wanita itu. Mencium kening wanita itu, Elang tidur di sampingnya melihat dengan puas wajah Elora hingga matanya ikut terpejam.
"Kenapa mereka egois?" perlahan Ria menutup pintu kamar Elang. Matanya sembab. Sedang Dwi masih diam dalam isak tangisnya. Ibu almarhumah Dinda ikut menangis melihat mantan menantu dan keponakannya terlibat perang batin yang baru diketahuinya hari ini.
******
Saat Elora bangun, ia tidak melihat keberadaan Elang. Melihat ke sekeliling, Elora merasa kesal kenapa dirinya bisa tidur di kamar laki-laki itu. Elora tidak mencari Elang, ia hanya harus keluar dari sana.
Elora lupa, bukankah para orang tua sedang bakar ayam tadi siang? Tidak mungkin mamanya menunggu ia bangun kan? Melirik jam dinding, ingin Elora menertawakan dirinya. Bisa-bisanya ia tidur di ranjang Elang dan almarhumah istrinya.
"Aku antarkan pulang." Elang memanggil mamanya ketika melihat keberadaan Elora.
"Mau pulang El?" tanya Dwi mengambil Emil dari gendongan Elang.
"Iya Ma." Elora sebenarnya malu, mama Dwi pasti tahu jika dia tidur di kamar Elang.
"Hati-hati ya."
Elora mencium tangan Dwi sebelum keluar bersama Elang.
"Maaf." sepertinya Elora harus meminta maaf. Cukup lama wanita itu tertidur. Pada tangan Elang, fokus Elora tertuju. Luka itu sudah dibersihkan tapi jejaknya masih terlihat segar.
Elang tidak menjawab. Laki-laki itu hanya memberi respons dengan tatapannya.
"Aku tidak tahu kenapa bisa tidur di kamar kalian." terlebih di ranjang.
Elang tidak perlu menjawab. Itu bukan masalah, lagi pula tidak seperti yang dipikirkan Elora.
Karena tidak mendapatkan jawaban, Elora memilih diam. Bukan malu, tapi lebih kepada sungkan melihat sikap dingin Elang. Sepanjang perjalanan, Elora dan Elang hanya diam saja. Tidak ada lirik-lirik apalagi tatap mata. Begitu tiba di rumah, Elang mengantar Elora hingga ke dalam, tepat di saat Fahri dan Ria sedang menonton usai makan malam.
"Enggak minum dulu Elang?"
"Emil demam, Ma. Khawatir ditinggalin.
Di tempatnya Elora mematung. Jujur, ia tidak memperhatikan sekedar bertanya. Sekalipun ia tidak pernah berinteraksi dengan putra Elang. Di saat anaknya sedang sakit, Elang mau mengantarnya.
"Aku pamit Pa, Ma." Ria mengantar Elang sampai ke teras rumahnya. "Kabarin Mama ya. Mama khawatir." Elang mengangguk.
Ketika Ria di sana, Emil baik-baik. Nanti ia akan menghubungi Dwi dan menanyakan langsung keadaan Emil.
Di kamar, Elora duduk di depan cermin memperhatikan dirinya. Yang sebenarnya, Elora tidak ingin menerima kenyamanan dari Elang, tapi hari ini secara jelas wanita itu memperlihatkan hal yang sebaliknya. Tidur dari siang hingga maghrib,di kamar orang pula, itu merupakan rekor terbaru.
"Elang tidak mengatakan apapun?"
Elora menoleh saat melihat ke arah pintu kamarnya.
"Tidak."
Ria melihat baik-baik putrinya. Masih berdiri di ambang pintu, Ria bertanya. "Kalian baik-baik saja?"
Bukan itu yang ingin dipastikan Ria, tapi tidak mungkin ditanyakannya kecuali Elora mau bercerita sendiri.
"Iya." Elora tidak paham maksud mamanya, tapi hatinya merasa memang ada sesuatu dan Elora tidak ingin menyibak.
"Tidurlah." Ria menutup kembali pintu kamar putrinya. Ria yakin, Elora menyembunyikan sesuatu. Ia hanya perlu menunggu wanita itu berbagi padanya.
Malam itu, Elora tidak tidur. Dibalkon kamar, ia duduk menatap langit. Sempat terpikirkan perihal Elang yang mau mengantarkan dirinya padahal anak lelaki itu sedang demam.
Menatap langit malam, sebuah bintang mencuri perhatian Elora. Elora mengikuti pergerakan bintang tersebut. Jika matanya mampu menunggu bintang itu hilang, maka harapnya segala gundah hari ini dibawa bersama. Jangan sampai pengorbanan yang dilakukan selama enam tahun kemarin hancur hanya karena kebersamaan sementara.
Siang tadi, Elora sudah mendengarkan keadaan yang menimpa Elang di masa lalu. Elora belum diberikan kesempatan mengatakan fakta yang membuatnya harus pergi jauh demi kesembuhan hati. Elora akan menunggu sampai Elang bertanya.
*****
Meeting pertama diikuti Elora. Tidak ada Elang, karena ini meeting bersama timnya. Bisa saja Elora ditempatkan langsung pada posisi penting, tapi hal itu tidak akan membantunya. Elora harus tahu semua divisi di perusahaan itu, mengenal kepala staf juga sistemnya. Dibantu Elang, Elora akan mudah memahami kinerjanya.
Jam makan siang bersama rekannya, Elora disamperin seorang lelaki. Excel dan Diora tidak mengenal saat Elora menanyakan sosok yang mendekati meja mereka.
"Elora Judistia?"
Elora mengangguk dan menyambut uluran tangan laki-laki itu.
"Jagat Triyuda."
Elora pernah mendengar nama itu,tapi ia tidak mengingatnya.
"Wicaksono. Orang tua saya."
Mata Elora menangkap sosok Elang yang melewatinya bersama Mutia, sekretaris Elang.
"Oh." Elora ingat, itupun karena dia melihat Elang. "Silahkan duduk."
"Bisa bicara berdua?"
Elora tidak enak. Ini pertama kalinya dia duduk bersama rekan. Dia baru mulai menjalin hubungan dengan rekan barunya.
"Jika keberatan bagaimana jika menunggu saya pulang?"
Jagat, putra sulung Wicaksono menarik sebuah bangku dari meja lain membawa ke meja Elora dan rekannya. Sesuai arahan orang tuanya, ia harus bertemu dan berkenalan dengan Elora. Setelah berkenalan terserah laki-laki itu mau dilanjutkan atau berhenti. Karena orang tuanya sudah menyukai Elora sejak pertama kali bertemu.
"Tidak apa kan saya bergabung?"
"Santai saja," jawab Excel dengan senyum ramah. Begitu juga dengan Diora.
"Dating pertama bareng rekan kerja, bukanlah hal bodoh." Diora melemparkan candanya dan membuat Elora tertawa.
"Kalau boleh tahu dari divisi mana?" Excel membuka percakapan.
"Saya tidak bekerja di sini."
Sangat terwakilkan dengan pertanyaan Excel.
"Saya seorang dokter."
Elora mengangguk. Sesuai dugaannya saat pertama kali melihat Jagat. Penampilan seorang dokter memang mudah sekali tertebak.
Obrolan berlanjut hingga jam makan siang berakhir. Jagat telah menyimpan nomor telepon Elora sebelum keduanya berpisah di hari itu.
Elora tahu, usianya sudah dewasa dan pantas jika ada lelaki yang mendekatinya walaupun ia belum menjanjikan ke depannya. Sebuah hubungan serius, mungkin akan menyita fokusnya, Elora akan berpikir matang sebelum menjalaninya.
Ketika tiba di rumah, Elora mendapatkan pesan dari Jagat. Lelaki itu bergerak cepat meleset dari dugaan Elora. Haruskah Elora membuka diri disaat hatinya belum siap menjalin hubungan dengan lelaki manapun? Elora teringat pada Elang, ia pernah jatuh cinta dan berakhir tragis, bagaimana dengan kali ini?
"Ada apa?" tanya Elora saat melihat Ria membuka pintu kamarnya.
"Tutup pintu, Mama ke rumah sakit." Ria bergegas pergi. Suaminya sudah menunggu di luar.
"Siapa yang sakit?" tanya Elora setengah berteriak namun ia tidak mendapatkan jawaban. Kenapa mamanya terlihat panik sampai tidak sempat memberitahunya?
