Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3

"Kenapa membohongi Papa?"

Mendapati tanya dari papanya, Elora merasa tidak enak.

"Kamu tidak takut jika benaran terjadi? Ucapan itu doa."

"Maaf," kata Elora tulus. Ia ingin meminta maaf dan menunggu waktu yang tepat, tapi apalah daya dokter yang memberitahu jika dia tidak mengandung. Seandainya saja ia bisa mengendalikan hatinya, mungkin ia tidak akan berakhir di rumah sakit. "Tuhan juga tahu, alasan aku berbohong."

"Apapun itu tetap salah."

"El masih sakit, Pa," tegur Ria. 

Fahri berdeham. "Kamu tidak tahu, bagaimana perasaan Papa kemarin, ditambah kamu yang tidak sadarkan diri."

"Pa!" Ria kembali menegur. "Syukur saja kenapa kalau El baik-baik saja."

Fahri menarik nafas dalam. "Keluarga kita enggak ada satupun yang jadi artis. Bakat akting dari mana kamu?"

"Tuhan lebih tahu," sahut Elora lagi. Suaranya masih lemah.

Fahri memperingati putrinya. "Apapun masalahmu, cari jalan keluar yang benar. Kalau tidak sanggup, berembuk. Kamu masih punya orang tua."

Elora meminta maaf lagi, sebelum papanya pergi.

"Kamu jatuh cinta?"

Elora terkejut mendengar pertanyaan mamanya.

"Kenapa tidak bilang sama Mama?"

"Mama salah paham."

Ria tidak tersenyum saat menggoda putrinya. "Salah paham gimana, jelas-jelas Mama baca chat kamu sama Tika."

Elora jadi salah tingkah. 

"Friendzone, El?"

Elora memilih diam.

"Kenapa tidak kasih tahu Elang?"

"Jangan sebut nama dia lagi, Ma." Elora ingin melupakan nama itu.

"Elang sudah----"

"Ma. Please!" Elora menutup telinganya. Apapun tentang laki-laki itu Elora tidak ingin tahu lagi.

"Aku mau kuliah. Mau gapai cita-citaku. Mau jadi anak yang dibanggakan. Mau dapat pekerjaan hebat. Mau bahagiain papa dan Mama." Elora tidak sadar jika air matanya mulai menitik. Yang ia tahu, dadanya sakit setiap membayangkan langkah ke depannya tak lagi dibersamai laki-laki itu.

"Aku butuh support Mama dan papa. Aku juga bisa bahagia dengan caraku asalkan Mama dampingi."

Ria tidak sanggup melihat luka hati putrinya yang begitu nyata. "Sedikitpun tidak mau mendengar tentangnya?"

"Boleh kalau Mama mau melihatku tinggal selamanya di rumah sakit." 

Pelukan anak dan ibu itu begitu syahdu. Mungkin benar, mulai sekarang Ria harus selalu mendampingi Elora karena putrinya tidak mau lagi berhubungan dengan Elang. Baik Fahri dan Ria mempercayai Elang, dan mereka melihat di tangan Elang, putrinya pernah bahagia dan sedang belajar dewasa saat ini.

Elora tahu, mungkin akan butuh waktu yang lama untuk menyembuhkan luka hatinya juga move on dari sosok Elang.

Ketika sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit, yang pertama dilakukan Elora adalah membersihkan kamarnya dari kenangan kebersamaannya bersama Elang. Elora benar-benar membersihkan tanpa menyisakan satupun sisa dari lelaki itu.

"Apa itu?"

"Kasihkan kalau dia ke sini." Elora meletakkan dua kotak besar di depan mamanya.

Ria menarik kontak mendekat ke arahnya, lantas ia membuka kotak tersebut. Foto, buku, bandana dan masih banyak yang lainnya.

"Mama sumbangkan boleh?"

"Balikin saja. Enggak enak kalau dipakai orang tanpa sepengetahuannya." Elora memang kecewa, tapi gadis itu masih menjaga perasaan Elang. Tak peduli jika yang dijaga Elang saat ini bukan perasaannya.

Menutup kembali kotak tersebut, Ria akan mengembalikan saat Elang datang nanti. Di atas meja, Elora melihat tumpukan undangan, dadanya kembali sesak saat melihat gambar Elang tersenyum bahagia bersama Dinda.

Elang pernah membuat dirinya nyaman, akibat yang harus dirasakan Elora saat ini karena terlalu menikmati kenyamanan tersebut.

Mereka sudah menikah, dan Elora harus melupakannya. Iya, Elora harus melupakan demi kebaikan dirinya.

"Sudah makan Lang?"

Elora menoleh saat mamanya menyebut nama lelaki itu. 

"Sudah." Elang hanya melirik sekilas pada Elora. "Ketinggalan map penting, aku ke kamar sebentar." kepada Ria Elang pamit ke kamarnya.

Berapa lama ia tidak melihat Elang? Elora merasakan jika Elang sedikit berubah. Baik dari mimik maupun sikap. Begitukah jika seorang laki-laki telah menjadi suami?

"Kenapa?"

Elora menggeleng. "Aku siap-siap dulu, Ma." Elora harus semangat agar pendidikannya cepat  selesai. Jika Elang saja bisa semangat, kenapa dirinya harus terpuruk?

Saat menaiki tangga menuju kamarnya, air mata kembali menitik. Baru satu minggu, wajarkan wanita itu masih meratap? Elora masih sangat muda saat ini.

Jangan lupakan, ini cinta pertamanya. Mencintai dalam diam selama ini, dan terpaksa harus merelakan saat Elang sudah menemukan wanita idamannya.

Elora terkejut melihat Elang duduk di sisi ranjang saat ia masuk. 

"Kamu sudah baik-baik saja?" Elang bertanya tanpa melihat Elora. Duduk di sisi ranjang wanita itu dengan tangan saling bertautan menunggu hampir sepuluh menit di kamar Elora.

"Kamu bisa melihatnya." Elora menjawab seperti biasa.

"Kandunganmu tidak gugur tiba-tiba kan?"

Kali ini, Elora tidak menjawab.

"Aku yakin tidak salah masuk kamar." Elang belum juga menatap wajah Elora. "Tapi, saat sudah berada di sini, aku merasa jika ini bukan kamat Elora."

Bingkai besar yang melukiskan kebersamaan mereka saat berlibur tak lagi menggantung di dinding kamar itu. Pose manis saat Elora merayakan ulang tahun laki-laki itu juga tidak ada lagi di atas meja rias wanita itu. Jangan lupakan gantungan bulan dan bintang di atas ranjang wanita itu hadiah pertama dari Elang, entah di mana letak benda itu saat ini, Elang tidak akan bertanya.

"Kamu akan pergi, hati-hati." Elang bangun. "Milan jauh, semoga hatimu lekas sembuh." kini sepasang mata lelaki itu menatap tepat di manik Elora.

Mendengar ucapan Elang, Elora tertegun. Elang tidak tahu kan tentang perasaannya? 

"Baik-baik di sana." 

Elora tidak ingin menilai detail wajah suami Dinda.

"Temukan orang-orang baik, yang tidak akan melukai hatimu baik disengaja ataupun tidak." Elang berjalan mendekat. 

Elora telah membuat batasan, dan Elang berharap bisa menghargai batasan yang telah dibuat oleh gadis itu.

"Kamu sudah besar, aku kurang memperhatikan." kini tak ada lagi jarak di antara keduanya.

"Sekedar untuk kamu tahu, apapun yang pernah kita lewatkan tak akan pernah kulupakan." 

Elora tidak tahu maksud dari ucapan Elang. Karena jarak keduanya cukup dekat, logika Elora mengais kesadarannya.

"Aku tidak akan meminta." Elang tidak tahu untuk apa ia melakukannya, sedang hatinya sudah memilih wanita lain. Sebagai tanda milik atau perpisahan, tidak ada yang tahu.

"Selamat ulang tahun, El," kata Elang beberapa saat setelah melepaskan pagutan bibirnya. "Jaga diri baik-baik. Aku menyayangimu."

Elang keluar dari kamar setelah memberikan ucapan ulang tahun kepada Elora satu bulan lebih awal karena Elang tidak tahu apakah masih sempat melakukannya nanti?

Elang menciumnya, setelah itu pergi. Elora menangis, karena Elang telah merelakan dan Elora juga harus merelakan.

Langit tahu cintanya.

Tak berkisah, tapi cukup mendebar.

Cinta tak pernah salah, salah insan yang tak bisa menahan rasa.

******

"Dinda sehat, Lang?" 

"Sehat Ma." Elang sudah jarang datang ke rumah, sejak menikah. 

"Akhir pekan nanti, aku ajak." 

Ria tersenyum. Dinda adalah keponakannya. Dulu sering bermain ke rumah, bahkan menginap. Dinda dan Elora beda lima tahun. 

Tidak ada yang tahu perkara jodoh, dan Ria juga tidak tahu sejak kapan Elang dan Dinda menjalin kasih hingga cinta terpendam Elora harus diakhiri. Ria yakin, anaknya kini sudah melupakan Elang, terbukti setiap menghubungi anak gadisnya, tak pernah lagi ada raut suram di wajah Elora. Tiga tahun berada di Milan, Elora belajar banyak dari pengalaman barunya.

"Masih berobat?"

Elang mengangguk. "Bagiku, yang penting dia sehat. Selama kita berobat, tidak menekannya."

Ria senang mendengarnya. Dinda tidak divonis mandul, tapi letak rahim yang tidak seperti pada wanita normal umumnya, kendati begitu perasaan Elang tidak memudar.

"Dinda sudah bekerja di taman kanak-kanak." 

"Biarkan. Selama kamu di kantor pasti dia kesepian."

Elang tahu, tapi mau bagaimana lagi. "El, bagaimana kabarnya, Ma?"

"Baik."

Elang senang mendengarnya.

"Tahun depan Mama menyuruhnya pulang, enggak tahu El mau apa tidak."

Sudah lama gadis itu di sana. Elang tidak pernah menghubunginya, jika rindu pada sahabatnya itu, dia akan mendoakan kebaikan untuk Elora.

Ria meletakkan dua majalah model yang dikirim oleh Elora dari Milan. "Dia sudah besar. Mama enggak nyangka putri Mama bisa mandiri di sana."

Elang jarang pulang, sesekali pulang ke rumah orang tua sahabatnya tak lain adalah untuk kepentingan perusahaan. Setelah menikah dengan Dinda, Fahri memintanya bekerja di perusahaan. Dan hari ini, ia pulang karena dipanggil oleh Fahri.

"Ini El?" pelan suara Elang.

Ria mengangguk. Mata Elang menelusuri gambar seorang wanita yang pernah menjadi sahabatnya. Dua majalah itu adalah ekslusif data perjalanan karier Elora selama berada di Milan.

Elang bisa melihat jika Elora sudah dewasa, seperti kata Ria. Di majalah itu, terlihat Elora mengenakan gaun glamour berwarna Lavender. Jelas sekali pesona sahabatnya di negeri itu.

Elang menutup majalah tersebut dan meletakkan kembali di atas meja. "El sudah berubah, ya Ma?" sebenarnya itu adalah pernyataan. Elang ingin meyakinkan pada dirinya, jika foto di majalah itu bukanlah Elora.

"Karena profesi mungkin. Tapi dia masih manja setiap ngbrol sama Mama."

Elang tidak berkomentar lagi. Kehidupan Elora bukan lagi urusannya. Ia sudah memilki Dinda. Elang sudah punya keluarga.

"Sudah datang?" 

Elang sigap bangun ketika melihat Fahri. Permisi pada Ria, laki-laki itu mengikuti Fahri ke ruang kerja. Diberikan jabatan sebagai sebagai manager penting oleh Fahri, Elang tidak menyia-nyiakan waktu dan tenaganya. Setahun sekali jabatannya naik, dari sini bisa dilihat jika Elang tidak pernah main-main dengan tanggung jawab.

Di Milan, sebuah negara pusat keuangan Italia seorang gadis yang kariernya tengah melejit hidup glamour dengan kemewahan. Di hadapan orang tuanya, Elora tidak berubah tidak di hadapan orang lain.

Dia bukan lagi gadis lugu yang tiga tahun silam pernah menangis hanya karena seorang lelaki. Dia bukan lagi wanita cengeng yang pernah pingsan lantaran logikanya dilenyapkan perasaan. Kini, Elora sudah menjadi seorang bintang. Bukan hanya di Milan, Elora hampir dikenal oleh seluruh dunia. 

Elora pernah menertawakan dirinya saat mengaku hamil di depan orang tua dan Elang. Tujuannya saat itu adalah menahan diri agar tidak merasa dikalahkan dan tidak terlihat menyedihkan. Elora takut, Elang tahu perasaannya saat itu dan hal itu akan membuat Elang menjauh darinya. Gadis itu tidak mau melihat masa lalunya yang sungguh memalukan jauh dari keadaanya sekarang. 

Elora sudah berhasil melewati prosesnya. Syukurnya, di Milan tidak ada yang menyebut nama Elang. Pilihan Elora pergi jauh dari tanah air membuahkan hasil yang bagus. Ia tidak rindu Indonesia, jika kangen Ria dan Fahri, cukup baginya menghubungi mereka. Sedewasa itu dia sekarang.

Kepada orang tuanya, Elora mengatakan akan pulang sepuluh tahun lagi, tentu saja Ria tidak setuju. Tiga tahun yang sudah berlalu cukup membuat hari-hari kedua orang itu terasa berat. Elora pernah mengusulkan agar Ria dan Fahri pindah saja ke Milan, dan hal itu ditolak mentah-mentah oleh Fahri.

"Kalau tidak mau pulang lagi, bilang saja. Sekalian Papa coret dari kartu keluarga. Kami mau mungut anak yang tahu cara berbakti." begitu kata Fahri. Cara itu pasti akan berhasil, jika bukan tahun depan, mungkin mereka akan menunggu dua tahun lagi.

Fahri menghargai perjuangan putrinya, tapi sebagai orang tua ia tidak membiarkan kendali dipegang oleh Elora. Elora masih muda, jelas semangatnya masih menggebu untuk berkarir.

Saat datang berkunjung, paling lama mereka menginap satu minggu. Setelah itu jika rindu, sambungan telepon-lah yang akan meredamnya.

"Jangan ada drama Mama mau cucu pas aku pulang." salah satu syarat dari Elora disenyumin oleh Ria. 

"Mama juga sama kaya mama orang lain," jawab Ria. Bisa dilihatnya wajah merengut sang putri. "Di sana enggak ada cowok tampan ya, El?"

"Banyak, Ma. Emang Mama sudah bosan sama Papa?"

"Hush! Ngawur kamu." Ria melihat ke kanan dan kiri, karena takut ada yang mendengar.

"Kalau banyak, kenapa tidak ada yang nyangkut?"

Tawa Elora di sana menular pada Ria. "Aku di sini kerja Ma. Bukan mancing."

Elang baru saja keluar dari ruangan Fahri saat mendengar suara tawa dari ponsel Ria. Suara itu dirindukannya, karena itu suara sahabatnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel