2
Hari yang dilewati Elora kian berat. Satu bulan tidak bertemu dengan kedua orang tua juga seseorang, pikiran dan energinya terkuras. Elora sedang melakukan penelitian di sebuah desa yang terletak jauh dari hiruk pikuk kota guna menyelesaikan semester akhirnya.
Hati gadis itu masih sama. Masih menyimpan rasa pada seseorang. Elora memiliki hati yang setia.
Sedang melakukan tugas penelitian, fokus Elora tidak bisa dipaksakan. Elora tidak bisa mengimbangi masalah yang menimpa. Alhasil seluruh kemampuannya diforsir agar mencapai kata sempurna.
Ketimbang masalah hatinya saat ini, Elora memilih masalah lain saja. Biar berat tak apa, asalkan persahabatannya dengan Elang masih baik-baik saja tanpa ada ikatan hati dengan siapapun.
Lusa, jadwal pulang. Gadis itu memutuskan pulang besok. Mamanya pasti akan memberitahu Elang perihal kepulangannya.
Sedang dirinya merasa rindu dan sesak pada rasa yang tak ingin dicurah lagi, Elora malah mendapati jika Elang baik-baik saja. Elora meyakinkan diri, jika Elang layak bahagia dengan siapapun. Insta story Dinda telah menjawab semuanya. Dengan dinda, Elang bahagia. Elora tidak bisa merelakan tapi ia tidak akan menganggu.
Panggilan masuk dari nomor mamanya, diangkat Elora. "Iya Ma?"
"Kamu baik-baik saja?"
Darah Elora berdesir kala mendengar suara seseorang yang sangat dirindukannya. Elora hendak menekan tombol End tepat saat Elang mengatakan sebuah kalimat dengan tegas.
"Lusa, aku menunggumu. Aku akan membuat keputusan besar."
Elora menangis dan mematikan telepon saat mendengar suara parau Elang. Di sudut kamar, gadis itu terpuruk menangisi keadaannya. Lusa Elang menunggunya. Elora diminta mendengar kabar yang telah diketahui dari Insta story sepupunya.
Entah sejak kapan Elora tidak membuka room chat-nya dengan Elang. Chat dari lelaki itu sudah menumpuk, tak satu pun dibaca Elora.
Elora akan pulang, bukan untuk menyaksikan hari bahagia Elang. Gadis itu pulang untuk menyelesaikan pendidikannya seperti yang dikatakannya pada Tika.
Jam tiga dini hari, Elora tiba di rumahnya. Bi Tiar yang membukakan pintu. Hati Elora berteriak rindu ketika melihat Elang tidur di sofa ruang tengah.
"Mas Elang menunggu Non setiap malam."
Elora mengerjap. Sebelum ada yang menyadari kedatangannya, gadis itu segera masuk ke kamar. Elora pulang bersama keadaan yang sangat tidak baik. Hati dan tubuhnya sedang sakit.
Elora tidak tidur lagi. Membersihkan diri, gadis itu menunggu waktu sarapan pagi untuk menyapa semuanya. Gadis itu tidak penasaran lagi pada keputusan yang akan dilakukan Elang. Karena ia membawa kabar untuk keadaan baru hatinya. Elora sudah siap, pada segala konsekuensinya.
Elang akan membuat keputusan setelah berbicara dengannya, sedang Elora tidak ingin lagi bicara.
Ketika turun dari kamarnya, semua orang terkejut melihat Elora. Tidak ada yang tahu kepulangannya, karena Elora telah meminta bi Tiar menutup mulut.
"El, kapan kamu pulang?" Ria yang pertama kali menghampiri putrinya.
"Tadi subuh."
Elora mendapat pelukan hangat dari mamanya. Gadis itu juga mencium tangan papanya. Elora melewatkan seseorang karena dia telah menarik sebuah bangku dan duduk di sana.
"Kurus kamu El." Ria merasa tidak enak karena putrinya tidak menyapa Elang.
"Penelitian memang melelahkan, Ma." Elora mengambil piring dan mengisi dengan sepotong roti.
"Kenapa tidak makan nasi?"
Elora merasakan kembali hangat keluarganya. Mama yang cerewet saat melihat cara makan hingga menu yang dipilih Elora.
"Enggak tahu. Nafsu makan kurang bagus akhir-akhir ini."
Mereka menikmati sarapan bersama. Yang paling mencurigakan adalah sikap Ria. Diam-diam, wanita itu memperhatikan gelagat dari putrinya juga Elang.
"Ada yang mau aku omongin dengan Papa, juga Mama."
Elora sudah selesai makan, begitu juga dengan kedua orang tuanya. Gadis tidak tahu dengan lelaki yang duduk di sampingnya, karena Elora tidak melihatnya.
"Ada apa?" tanya Ria.
Elora bangun dari bangkunya. Kedua tangan gadis itu dimasukkan ke dalam saku hoodie yang dikenakannya pagi itu.
Elora sudah siap.
"Aku hamil."
Bagai siraman air mendidih di kepala, sontak Fahri berdiri.
"Kamu bilang apa?" tajam kata Fahri tidak membuat Elora gentar. Dalam hati, Elora memohon ampun.
"Aku hamil." kedua kali, Elora mengulang ucapannya. "Kami saling mencintai. Dia juga pria terhormat, seorang direktur."
"Plak!"
******
Elang tidak melakukan apapun, ketika Elora mendapatkan tamparan dari Fahri. Ia sendiri masih syok pada kabar buruk yang dikatakan Elora. Di depan pintu kamar gadis itu, Elang berdiri tengah menimbang sikap aneh Elora, apakah berhubungan dengan masalah ini? Jika memang benar, siapa lelaki yang telah menghamili sahabatnya? Kenapa Elang tidak tahu apapun? Kenapa Elora menyembunyikan hal sebesar itu darinya? Masih banyak tanya lainnya yang ingin disampaikan pada pemilik masalah.
Elora sedang istirahat setelah mengacaukan perasaan orang tuanya. Setelah semuanya selesai, gadis itu akan meminta maaf. Cara ini yang bisa dilakukan Elora sebagai pertahanan diri. Sekalipun tidak rela, ia tidak akan mengganggu hubungan Elang dan Dinda. Dengan cara ini, Elora akan bersabar agar hatinya pulih dari kecewa yang terlanjur menyusup.
Mulai hari ini, mungkin akan ada banyak hal yang berubah. Dari mereka yang sering menghabiskan waktu bersama hingga terbuka dengan pribadi masing-masing. Esok, tidak ada lagi waktu itu karena Elang telah memilih untuk mengisi hari seseorang, satu hal yang membuat Elora juga memilih caranya.
Dua kali mengetuk pintu kamar Elora, tidak mendapatkan respons Elang mengetuk ketiga kalinya dengan cukup keras.
"Aku boleh masuk?"
"Ada apa?" Elora bertanya balik. Tidak ada tanda-tanda jika gadis itu mengizinkannya masuk seperti saat dulu.
Elang tidak suka dengan sikap Elora. "Jika tidak bisa, ikutlah denganku."
"Aku mau istirahat. Capek."
Elang menahan tangan Elora dan mendorong pintu kamar gadis itu agar bisa masuk ke kamarnya.
"Apa yang ingin kamu katakan?" Elora menatap tajam saat Elang mengunci pintu kamarnya.
Saat berbalik, yang pertama kali diperhatikan Elang adalah perut Elora. "Yang kamu katakan, benar?"
Tidak perlu mengatakan hal yang sama. "Aku menunggu, katakan jika memang ada perlu."
"Kamu tidak terbebani, benar kamu hamil?"
Elora tersenyum, "Apakah aku harus menangis disaat sedang bahagia karena mengandung anak lelaki yang aku cintai?"
Elang tidak percaya, kenapa Elora berani berbicara seperti itu. "Tidak ada laki-laki baik yang menyentuh seorang wanita."
Termasuk kamu? "Kami saling mencintai, apakah ada hal yang tidak mungkin?" senyum Elora masih bertahan. Raut jatuh cinta tidak dibuat-buat, karena cinta wanita itu masih menggebu pada lelaki yang sama. "Nanti, kalau kamu jatuh cinta pada seseorang, kamu juga akan melakukan hal yang sama." mata Elora tidak berkedip saat mengatakan kebenaran yang pernah dilihatnya.
"Kita sering bersama, apakah aku menyentuhmu?"
"Sering. Kamu sering memelukku." Elora harus menahan diri agar tidak berteriak. "Tapi bukan karena cinta. Kita sahabat." menjeda sejenak, gadis itu mengalihkan tatapannya dari wajah yang amat dirindukannya akhir-akhir ini. "Tapi, dulu."
"Kamu benaran hamil?"
Elora membuka kancing kemejanya, cara ini yang bisa membungkam mulut Elang. "Kamu mau buktinya?"
Elang memalingkan muka ketika tangan Elora sudah menyentuh kancing ketiga. "Apa yang kamu lakukan?"
Nada kecewa dari kalimat Elang sudah membuatnya aman. Artinya Elang percaya. "Sekalipun aku telanjang, kamu tidak akan bernafsu. Kita cuma sahabat." dibalik kata-kata itu, tersimpan banyak kesakitan yang tengah merajut luka yang belum ada kepastian arah.
"Setiap menit aku di sampingmu, apakah tidak pantas aku tahu apa yang sedang menimpamu?" wajah Elang memerah. Ia marah, kenapa masalah sebesar ini menimpa sahabatnya?
Sebelum menjawab, Elora kembali melihat lelaki yang tidak akan lama lagi akan mempersunting sepupunya. Laki-laki yang telah memupuskan harapnya. "Kamu tidak seistimewa itu bagiku."
Tangan Elang mengepal. Lantas selama ini, bagaimana anggapan Elora untuknya? Tujuh tahun mereka menghabiskan waktu bersama, baik dirinya maupun Elora sudah mengenali pribadi masing-masing, sedetail Elang mengetahui jadwal tamu bulanan Elora. Tidak ada yang terlewatkan.
Melihat Elang diam, Elora menyuruh laki-laki itu pergi. "Keluarlah jika tidak ada kepentingan."
"Aku akan menikah."
Elora sadar, inilah titik terendah dalam hidupnya. Disaat Elang mengakui perasaan dan kayakinannya melamar wanita pilihan lelaki itu yang jelas bukan dirinya.
"Selamat." datar nada dan sikap Elora menyembunyikan getaran yang siap.meretakkan hati dan membawanya ke dasar bumi.
******
"Kamu tidak mau bertanya?"
Elora ingin Elang pergi. Elora ingin sendiri. Ia tidak sanggup mendengar rangkaian kalimat Elang yang tengah menggambarkan kebahagiaan lelaki itu dengan wanita lain. Elora ingin menyadarkan diri, setidaknya untuk saat ini bantal bisa menampung kesakitan dan kekecewaannya.
"Siapapun yang kamu pilih, pasti yang terbaik. Semoga bahagia." senyum Elora kembali merekah. Gadis itu tidak tahu di menit keberapa nanti dirinya ambruk.
"Aku pernah memilihmu. Kamu sahabat terbaik." tulus, Elang mengatakannya.
Hal yang tidak diinginkan Elora terjadi. Elang sedang berbicara, dan ia harus mendengar. Mau tidak mau, Elora harus menahan diri agar tidak ambruk di depan Elang. Mata Elang yang tidak berhenti menatapnya, memaksa sikap Elora tetap terkendali.
"Jujur. Aku kecewa." Elang menunduk. Perkara kehamilan Elora membuatnya hancur. Seolah dunia tengah mengejeknya jika dia tidak bisa menjaga sahabatnya.
"Katakan padaku, siapa lelaki itu?"
"Aku tidak pernah bertanya apapun sehingga hari ini aku mendengar jika kamu akan menikah. Siapa wanita itu, di mana kalian bertemu? Bagaimana caramu jatuh cinta, sudah berapa lama menjalin cinta? Pernah aku bertanya sekalipun sebagai sahabat aku berhak mengetahuinya?"
Elang tertegun. Kalimat panjang itu semacam isi hati yang terluka.
Air mata Elora menitik. Dua kali mendapati Elang dan Dinda bermesraan, mulai saat itulah kepercayaannya pada sosok bernama Elang memudar.
"Hari ini, kamu tidak perlu bertanya. Karena aku memberitahu tanpa merepotkanmu harus mencari tahu siapa lelaki itu." karena Elang tidak punya waktu untuk itu. Dia akan sibuk mengurus pernikahannya.
"Mendengarmu telah memiliki kekasih hati, jujur aku terkejut. Aku mendoakan kebahagiaanmu." Elora mengusap air matanya. Suaranya mulai parau. "Cukup dahulu, kita berbagi kisah mengisi hari. Tidak lagi sekarang. Baik aku dan kamu tidak lagi harus tahu tentang kita." tak apa jika sakit, Elora harus melepaskan laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suami orang.
"Kamu telah memilih jalan hidup, begitu juga denganku yang akan menyusul."
Elang pernah melihat Elora menangis, tapi tidak pernah membuat gadis itu menangis. Hatinya sakit melihat gadis itu.
"Maaf."
"Pergilah. Antara kita tidak ada lagi hubungan." Elora terisak. Gadis itu tidak rela, tapi tidak bisa melakukan apa-apa. "Aku juga akan bahagia." itu harap terbesar Elora.
"Kita masih sahabat."
Elora menggeleng. "Tidak ada persahabatan abadi antara wanita dan laki-laki. Terlebih kamu akan menjadi seorang suami."
"Apa maksudmu?" Elang tidak mau salah mengartikan kalimat Elora. Tidak ada persahabatan abadi antara wanita dan lelaki, apakah karena sebuah hal?
Elora membuka pintu kamarnya. "Aku mau tidur."
Elang merasa ada sesuatu yang menyayat hatinya. "Dia Dinda. Sepupu kamu."
Apakah Elang harus berbicara lagi? Hati Elora sedang sekarat. Gadis itu tidak tahu apakah masih akan hidup setelah Elang benar-benar pergi?
"Aku mencintainya."
Dua kata yang merupakan pengakuan Elang untuk wanita lain, membuat Elora hampir jatuh. Elora tidak sekuat wanita lain. Ini cinta pertamanya, dan laki-laki itu sudah menghabiskan waktu selama tujuh tahun bersamanya.
"Aku mau tidur." Elora memaksa agar jiwanya masih bertahan.
"Aku ingin memelukmu."
Elora ingin menghentikan, tapi ia terlalu lemah karena keadaan yang semakin menghimpit kesadarannya. Pelukan Elang, masih sehangat dulu, sayangnya pelukan itu bukan hak milik Elora.
"Baik-baik. Katakan apa yang kamu butuhkan. aku masih sahabatmu."
Elora memejamkan matanya. Ia menggigit bibir menahan rasa sakit dan kecewa yang cukup besar di hatinya.
"Jaga kandunganmu. Sebagaimana doamu, begitu juga doaku untukmu. Aku lebih berharap kamu bahagia."
Kapan terakhir kali Elang melihat Elora tersenyum dan bermanja kepadanya? Akhir-akhir ini, yang ditinggalkan Elora adalah kesan asing seolah mereka tidak saling mengenal.
Tubuh Elora bergetar. Detak jantungnya melemah.
Sebelum keluar meninggalkan sahabatnya, Elang mengusap sayang kepala Elora. Merangkum Wajahnya, Elang mencium dalam, kening gadis itu. "Aku menyayangimu."
Elora ambruk di lantai kamarnya dalam keadaan tidak sadarkan diri begitu pintu kamar ditutup oleh Elang.
Di dinding batas kamar Elora, Elang merunduk menangis. Ia menyayangi Elora, laki-laki itu menyayangi sahabatnya. Sama hal dengan Elora, Elang juga berat berpisah maka dari itu ia tetap ingin bersahabat kendari Elora menolaknya.
