Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

1

"Seperti yang Mas mau. Aku akan ada saat mata Mas terbuka hingga menutup."

Mas? Kenapa kalimat itu bermakna dalam? 

Pintu apartemen sudah ditutup, dan Elora masih berdiri menyaksikan dua orang yang memiliki hubungannya. Manis kalimat Dinda didengar dengan jelas oleh Elora.

"Aku sudah menyiapkan makan malam," kata Dinda memberitahu. "Yuk El, kita makan bareng."

Elora menerima ajakan Dinda. Sikap biasa Dinda, diperhatikan Elora. 

"Jam berapa kamu datang?"

Dinda tersenyum manis. "Jam empat mungkin." artinya sesaat setelah Elang dan Elora pergi. "Aku ingin melakukannya." seperti ucapan Elang setelah mereka berciuman tadi sore.

"Karena aku tahu Elora juga akan mampir, aku masak teri balado."

Elora sedang tidak selera.

Elang melihat gadis yang duduk di hadapannya. Aneh sikap Elora sudah terlihat sejak keluar dari rumah. Hal apa yang membuat Elora bersikap aneh hari ini belum diketahui Elang.

Elora mengisi sedikit nasi dan teri, sebagai bentuk menghargai sepupunya. Gadis itu harus memaksakan diri agar nasi yang telah masuk ke dalam mulutnya bisa ditelan. Perhatian Dinda pada Elang, masih disangsikan Elora. Elora tidak ingin meyakini, mungkin penjelasan Elang dibutuhkan, walaupun Elora tidak akan siap.

Elora berharap ada yang menghubunginya disaat seperti ini. Berada di antara Elang dan Dinda membuatnya tidak nyaman. Gadis tersebut tidak sadar jika Elang memperhatikannya, karena Elora jarang menatap wajah lelaki itu sejak sore tadi.

"Aku ke kamar mandi sebentar." tidak menunggu jawaban kedua orang itu, karena Elora segera meninggalkan meja makan.

Di kamar mandi Elang, Elora menahan diri agar tidak menangis. Dadanya sakit, Elora menepuk agar rasa sakit itu berkurang. Sekalipun Elang memberitahu kenyataannya, hati gadis itu tidak akan siap. Karena tidak bisa bertahan, Elora menangis. Kenapa perasaannya begitu besar pada Elang?

Ketika keluar dari kamar mandi, ia tidak menemukan Elang dan Dinda. Elora tidak  mencari, karena yang diinginkan Elora saat ini adalah pulang. Saat melewati kamar Elang, Elora tidak melihat tapi bayangan kejadian di sana diketahui gadis itu.  Sesak itu kian menjadi, Elora membuka pintu apartemen dan berlari keluar dengan isak tangis menahan sakit dan kecewa.

"Sendiri?"

"Mama maunya aku pulang sama siapa?" tanya Elora. Wajahnya masih terpasang masker dan kacamata.

"Elang mana?"

"Ada urusan mendadak."

Ria tidak terlalu memperhatikan, sehingga ia tidak tahu jika putri semata wayangnya sedang terluka.

"Aku mau tidur." Elora tidak ingin mengobrol lagi. Keadaan hatinya sedang tidak baik-baik saja.

Apa yang dilakukan Elang di kamar menjadi bahan pikiran Elora. Bertemankan bantal, gadis itu mencurahkan kesakitannya. Air mata ikut menemani malam Elora hingga gadis itu terlelap. Mimpi indah Elora sudah hancur. Tidak ada alasan lagi bagi dirinya untuk menggapai singgasana tertinggi di hati Elang. Sudah ada nama yang dielukan, dah Elora harus sadar diri.

Menyambut pagi, tak lagi seperti biasa. Jam lima subuh, gadis itu sudah keluar. Kebiasaan Elang setiap pagi adalah mengunjungi rumah Elora. Apalagi di hari Minggu, seperti biasa Elang akan menikmati sarapan bersama keluarga Elora. 

"Enggak tahu juga, kenapa pagi-pagi buta El keluar." Ria tahu dari bi Tiar. "Bilang sama bibi cuma ada urusan."

Elang menelan ludahnya. Ia tahu salah, karena selama tujuh tahun, ini pertama kali Elora tidak mengangkat teleponnya. Bukan sekali, hampir lima puluh kali Elang menghubungi Elora sejak tadi malam.

Hari Minggu, selalu dihabiskan Elora bersamanya. Jika harus mencari, Elang tidak tahu. Karena Elora tidak pernah main ke rumah teman. Tempat favorit Elora adalah perpustakaan. Karena ini hari Minggu, tempat itu tutup.

Empat jam berputar mencari Elora di cafe, restoran hingga kampus, Elang tidak menemukannya. 

Jam dua siang, Elang kembali ke rumah Elora. Bukan gadis itu yang ditemui Elang, melainkan Dinda. 

"Aku menunggu Mas." 

Elang meraup wajahnya. Ia lupa telah membuat janji dengan wanita pujaan hatinya. "Mau pergi sekarang?" padahal dirinya sedang gelisah. Pagi ini ia belum melihat Elora. Ia belum tahu keadaan gadis itu.

Dinda mengangguk dengan senyum bahagia. Bersama keluar dari rumah Elora, mereka berpapasan dengan si pemilik rumah. Elang menatap tajam gadis yang menyunggingkan senyum kepada Dinda.

"Baru pulang, El?"

"Eum. Mama di rumah?" tanya Elora melihat keadaan rumah sepi.

"Arisan di rumah teh Nia."

Elora mengangguk, dan masuk melewati sepasang kekasih itu tanpa sedikitpun melihat Elang.

Elang melihat sebuah fakta, jika Elora sedang tidak baik-baik saja.

**

Sekitar jam lima sore, Elang kembali ke rumah Elora setelah mengantar Dinda. Laki-laki itu segera menuju ke kamar Elora. Elang menatap pintu yang tidak bisa dibuka. Biasanya, Elora tidak mengunci pintu kamar. Bukan lagi mengetuk, Elang menggedor pintu berwarna putih tersebut. Tindakan Elang menarik perhatian bi Tiar.

"Non El sedang pergi "

"Mobilnya ada Bi." Elang melihat wajah lelah bu Tiar. Elang teringat Elora. Saat berpapasan tadi, begitulah mimik wajah Elora. Kantung mata juga diri yang tidak terurus.

"Non El dijemput."

Elang tertegun. Siapa yang menjemput Elora? Tidak pernah, begitu yang diketahui Elang. Ketika Elora sedang tidak berada di rumah, biasanya Elang akan menempati kamar gadis itu hingga pemiliknya pulang. Tidak dengan hari ini.

"Aku kapok, Tik," kata Elora pada seseorang. 

"Karena kamu menutupinya, El. Coba kamu jujur."

Sapu tangan Elora tak lagi layak dipakai. Selembar kain kecil itu sudah menghapus air matanya sejak satu jam yang lalu. "Dia sudah memilih, artinya hatinya sudah berlabuh."

Tika mengusap lembut bahu Elora. Sejak dari tadi gadis itu menyaksikan dan menenangkan sahabatnya.

"Lebih baik berteman dengan sesama, dari pada canggung saat memiliki perasaan yang tidak salah, tapi aku menyalahkan karena takut Elang marah dan menjauh."

"Bukankah sekarang dia juga menjauh?"

Benar. 

"Jujur atau tidak, kamu terlebih dulu menyalahkan perasaanmu," lanjut Tika.

Elora diam dalam isak tangisnya.

"Sekarang mau kamu apa?"

"Aku rindu masa-masa dulu." karena Elora merasa dikhianati pada hal yang tidak diketahuinya. Sejak kapan hubungan Elang dan Dinda dimulai, Elora tidak tahu.

"Kamu akan selalu menyalahkan diri." Tika tahu, sahabatnya jatuh cinta pada Elang sejak duduk di bangku kelas dua SMA.

"Berdamai dengan keadaan, akan membantu El."

Tidak akan mudah. "Iya. Tapi aku harus pergi, tidak mungkin selamanya aku menyaksikan kebersamaan mereka."

Tika menjadi pendengar yang baik. Elora akan mengatakan isi hatinya jika memang tidak sanggup lagi dipendam. Seperti sore ini. Elora harus menempuh perjalanan selama satu jam lebih sepuluh menit untuk tiba di kediaman Tika.

"Kuliahmu?"

"Aku akan menyelesaikannya." Elora menangis lagi. Ia rindu pada Elang yang sudah menjadi kekasih sepupunya.

"Untuk sementara aku tidak akan tinggal di rumah."

Tika khawatir. "Aku tidak bermaksud meremehkan perasaanmu. Apakah karena seorang lelaki kamu harus kehilangan rasa nyamanmu?"

Tika kesal, "Aku tahu, mungkin Elang adalah sosok ternyaman, tapi tidak untuk sekarang. Kenapa tidak buka mata hatimu?"

Elora semakin terisak. "Karena aku mencintainya. Aku mencintai Elang."

Sahabatnya butuh proses. Ia baru patah hati, wajar jika bucinnya mendunia. Sahabat dan cinta, itu dua hal yang sangat menyakitkan. Terlebih pada posisi Elora saat ini. Demi menjaga persahabatannya, ia bisa diam. Tapi, ketika tahu Elang jatuh cinta pada wanita lain, rasanya cukup sakit.

"Belum tidur, Elang?"

"Nungguin El, Ma."

Ria melihat suaminya. "El tidak mengabarimu?"

Perasaan Emang memang sudah tidak enak sejak kemarin, ditambah lagi hari ini. "Tidak."

"El menginap di rumah temannya. Ada kepentingan Revisi katanya." Fahri, papa Elora yang menjawab. 

Elang berusaha terlihat baik-baik saja di depan orang tua Elora. "Boleh aku tahu di mana?"

"Ranti, anaknya pak Karim Kodim."

Elang mengangguk dan segera berpamitan pada dua orang tua itu. Elang tidak begitu mengenal Ranti, tapi tidak ada yang tidak mengenali ayahnya. Melajukan mobilnya, Elang menuju ke rumah Ranti. Dirinya sangat mengkhawatirkan Elora. 

Begitu tiba di sana, Elang merasa ditampar oleh keadaan. Elora tidak ada di sana. Elora sedang menghindarinya, ada apa dengan Elora?

Di kamar, Ria membicarakan Elora dan Elang. "Mereka lagi marahan, Pa?"

Fahri tidak tahu.

"Ini tidak seperti biasanya loh, Pa."

Fahri setuju. Mereka tidak menutup mata pada hubungan persahabatan Elora dan Elang.

"Atau jangan-jangan Elora sudah punya pacar?"

Tentang hal itu, Fahri kurang setuju. Bagaimana cara laki-laki lain menggoda Elora sementara Elang selalu ada di sisinya?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel