

Prolog
"Kamu kenapa Lang?"
Elang tersenyum lebar. "Kamu lihat bahagia di wajahku?"
Elora tidak menampik, wanita itu mengangguk. "Kerjaan lagi happy?"
Elang tergelak. "Kamu belum pernah bekerja, mana tahu jika tidak ada masa bahagia saat bekerja."
Mengendikkan bahu, Elora bertanya lagi, "Aku tidak boleh tahu?"
Elang akan memberitahu Elora, tapi bukan sekarang. Dan Elora tidak menebak jika ini ada kaitannya dengan keluarga Elang.
"Mama mau ke sini?"
"Sabar El. Jangan ngebut." Elang masih tertawa.
Oke. Elora menunggu seperti ucapan Elang.
"Aku yakin, kamu pasti ikut senang nantinya. Dan, jangan terkejut."
Elora bersiap. "Aku menunggu."
"Dinda."
Satu nama disebut, namun hati Elora belum merespons.
"Itu kata kuncinya."
Elora tidak suka permainan. Ia tidak akan menebak lagi untuk saat ini. Elang akan memberitahunya, meski bukan sekarang.
Dering ponsel mengharuskan Elora pergi. Mahasiswa akhir semester sedang disibukkan dengan skripsi.
"Aku pergi dulu." Elora mencium pipi Elang. "Sayang kamu."
Tulus ucapan Elora dibalas Elang, "Too."
Melihat Elang bahagia, Elora senang. Wanita itu memang belum tahu, apa yang menyebabkan Elang bahagia? Setidaknya, Elora adalah orang pertama yang menyaksikan kebahagiaan Elang.
Hubungan Elang dan Elora sudah berlangsung selama tujuh tahun. Baik dan jelek, masing-masing sudah mengetahuinya. Elora yang sering datang ke apartemen Elang begitu juga Elang yang sudah dianggap seperti keluarga di rumah Elora. Tidak ada jarak antara keduanya, karena baik Elang maupun Elora tidak pernah menutupi apapun. Keterbukaan mereka membuat hubungan persahabatan itu langgeng.
Suatu sore, Elora baru selesai mandi. Elang datang menjemput untuk mengajaknya keluar seperti biasa di akhir pekan. Elang yang mengerti Elora sedang lelah karena skripsi, maka akhir pekan ini lelaki itu akan membawanya ke sebuah tempat.
Seperti biasanya, putri pengusaha Cokelat itu selalu tampil cantik tanpa mengenakan makeup. Ia sudah siap dan menunggu Elang turun dari kamar. Elora sudah menunggu selama setengah jam lebih, kenapa Elang belum keluar juga?
Kebiasaan Elora ketika masuk ke kamar Elang tidak mengetuk pintu. Jika Elang sedang mandi pintu biasanya akan dikunci, berbeda saat lelaki itu sedang bersantai. Ketika pintu dibuka oleh Elora, sebuah pemandangan menakjubkan terpampang di depan mata.
Di sudut kamar, dua orang sedang berciuman. Mata Elora melihat dengan jelas, jika Elang lah yang terlihat mendominasi ciuman itu. Wanita di pojok kamar Elang adalah sepupunya, Dinda. Nama yang disebut Elang beberapa hari lalu.
Wajah Elora pucat saat menutup dengan perlahan pintu kamar Elang. Bukan Elora yang membuat lelaki itu bahagia. Bukan juga Elora yang akan disebut Elang alasan terbaik laki-laki itu tersenyum.
Elora tidak bertanya kenapa Elang membawanya ke atap gedung cafe milik Aris yang merusakkan sahabat Elang. Biasanya mall atau restoran, mereka menghabiskan weekend. Tidak dengan sore hari ini. Tempatnya tidak buruk, cukup nyaman seandainya hati Elora baik-baik saja. Tapi, kejadian beberapa saat lalu, mengacaukan fokusnya.
Disaat Elang mengajaknya bicara, Elora tidak begitu menanggapi. Gadis itu lebih banyak bergumam ketimbang memperjelas suaranya. Elora masih linglung. Ia sudah menjawab kebingungannya, namun masih linglung pada rasa bertuan namun tidak mendapat pengakuan. Elora tidak ingin mengungkit, tapi dadanya memaksa terlalu keras untuk mengingat banyak hal yang telah dilewatinya bersama Elang.
"Kamu lagi halangan?"
Elora menggeleng. "Bab 3 banyak yang salah." Elora berbohong. "Mungkin, besok aku tidak bisa keluar."
Elora tahu, jika kata-katanya sudah merusak suasana. Setiap weekend mereka tidak pernah menyinggung tugas dan kerjaan. Waktu yang digunakan tidak banyak, mulai dari sore hingga jam sembilan malam untuk hari sabtu, sedang hari minggu dari pagi hingga sore. Selain dua hari itu mereka bertemu usai kegiatan dikampus dan tempat kerja Elang.
"Ada apa?" jelas sangat membingungkan, karena ini bukan sikap Elora. "Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?"
Elora tersenyum, belum satu jam menghabiskan waktu bersama, bisa dihitung berapa kali Elora menatap Elang. Sungkan atau enggan, entahlah.
Senja sore itu tidak begitu indah, Elora kurang menikmati. "Males lihat mukanya. Perasaan enggak kelar-kelar."
"Jujur. Ada apa?"
"Tempat ini kurang bagus."
Elang menahan lengan gadis itu. Sikap Elora terlalu tiba-tiba dan membingungkannya.
"Kita cari tempat lain?"
"Aku mau pulang saja," jawab Elora tanpa melepaskan tangan Elang yang menahannya.
Elang tidak memaksa Elora untuk tinggal, tapi tidak diam saja pada sikap yang cukup asing. Turun dari atap lelaki itu menuntun Elora, Elang masih menggenggam tangan Elora.
"Aku melakukan kesalahan?"
Elora menggeleng.
"Jangan diam. Kumohon."
"Aku lelah. Jalan saja." Elora mau pulang. Jangankan mengobrol, melihat wajah Elang saja Elora tidak sanggup. Bayangan Elang mencium Dinda semakin membuat dadanya berkecamuk.
Jika Elora sedang menahan sesak di dadanya, maka Elang tengah dilanda gelisah. Ini bukan Elora-nya. Tangan Elang enggan melepaskan genggaman, Elang khawatir, tapi Elora belum berkata jujur.
"Aku mau pulang," kata Elora ketika melihat apartemen Elang. Elang tidak menjawab. Elora tidak bisa marah pada lelaki itu. Ketika Elang membukakan pintu agar Elora turun, Elora malah tidak melakukan keinginan Elang.
"Kita makan malam dulu."
"Aku tidak lapar." nada suara Elora rendah.
"Aku akan mengantarmu pulang, setelah kita makan." tangan Elang masih terulur, namun tak ada sambutan dari Elora.
"Aku bisa pulang sendiri." ketika mengatakan itu, Elora belum juga keluar dari mobil Elang. Ia menunggu laki-laki itu bergeser.
"Kamu tahu, aku tidak bisa marah, El." saat itu Elang menahan gejolak di dadanya. Ada apa dengan Elora, masih menjadi bayangan terkaan dalam benaknya.
"Aku cuma mau pulang."
Dua jam bersama, Elora menahan diri agar tidak menyebut nama Elang. Elang tidak akan membiarkan Elora pulang sebelum mereka bicara. Kali ini, Elang akan memaksa Elora.
Tanpa basa-basi, Elang menarik tangan Elora sedikit kasar agar wanita itu keluar dari mobil dan caranya berhasil.
Bukan hanya Elang, Elora pun tidak bisa marah. Tidak pernah ada masalah serius sehingga mereka harus membungkam mulut. Elang dan Elora selalu membuka diri, karena itu salah satu syarat agar hubungan persahabatan mereka langgeng.
Hingga sampai di depan pintu apartemen, genggaman Elang tidak terurai. Setelah memasukan sandi, pintu terbuka.
Elora melihat sepasang sepatu wanita. Ketika Elang menariknya, Elora melepaskan diri. "Aku melupakan sesuatu." Elora belum siap, ia tidak tahu apa yang akan terjadi jika kakinya masuk ke apartemen Elang.
Dengan gesit, Elang menangkap lengan Elora dan memeluk gadis itu. Elora ingin menangis, tapi sekuat hati ia menahannya.
Apa arti pelukan ini dan ciuman sore tadi bersama Dinda?
Elora harus menguatkan hatinya, karena tahu Elang tidak akan membiarkannya pergi. Keberadaan seseorang di dalam, tentu akan membuat dadanya remuk.
"Dinda."
Elora tidak ingin melihat raut Elang saat menyadari keberadaan Dinda di apartemennya.
