Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Reflection

Mikaela berjalan dengan tumpukan kertas ditangannya, ia harus mengkopi semua kertas-kertas itu ditengah jam kerja, tumpukan kertas yang merupakan pekerjaannya dan pekerjaan karyawan lain yang sudah merasa senior dan dengan seenaknya menyuruh-nyuruh Mikaela. Tidak heran, Mikaela sudah tahu beberapa karyawan memandangnya dengan tatapan tidak suka.

Ia menghela napas berkali-kali dalam lift untuk turun ke lobi, di bawah berjejer mesin potokopi pada pojok sebelah kiri dekat pintu masuk. Seharusnya kantor itu meletakkan satu atau dua mesin potokopi di setiap lantai dan tidak mengumpulkannya dalam satu lantai seperti ini, hal itu lebih efisien dan untuk menghemat waktu karyawan agar tidak naik turun ruangan. Nanti Mikaela akan memprotesnya pada Darren. Ya, jika ia berani.

Mikaela tertawa miris dalam hati, untuk menyapa Darren saja ia tidak berani.

Gadis itu memperhatikan sekelilingnya, sambil terus memperbanyak lembar per lembar kertas yang ia bawa. Disana juga banyak karyawan yang sedang mengkopi pekerjaan mereka yang rata-rata adalah wanita.

Mereka tampak sedang tertawa, berbicara pada temannya, begitu juga dengan yang lain, tertawa, bercanda sambil memakan coklat dan beberapa camilan. Mikaela paham sekarang, mereka justru senang pergi ke lantai bawah seperti ini untuk beristirahat sejenak dari pekerjaan mereka, memanfaatkan waktu untuk bertemu dengan teman lainnya yang mungkin dari divisi yang berbeda. Mikaela akan mencobanya nanti dengan mengajak Tiwi janjian di tempat itu kalau ia sedang penat.

"Yah." Mikaela mengeluh karena salah mengkopi salah satu bagian. Ia terlalu asik melamun.

Ia kembali membuka mesin potokopi itu untuk mengganti kertas dengan kertas baru yang seharusnya ia potokopi.

"Selamat pagi pak."

Refleks, Mikaela menengok sekilas ketika mendengar suara satpam menyapa seseorang yang baru saja masuk. Kemudian menengoknya kembali, kali ini benar-benar menengok.

Mata Mikaela terkunci oleh sosok dua orang yang datang sambil bergandengan tangan. Seorang wanita yang sangat cantik yang Mikaela hanya pernah melihatnya dari jauh yang sedang menggandeng tangan Darren. Wanita itu tunangan Darren. Ternyata dari dekat, ia jauh jauh lebih cantik. Mereka berjalan ke arah lift pribadi yang dikhususkan untuk Darren.

Mikaela memalingkan wajahnya menatap ke depan, disana nampak cerminan dirinya di kaca jendela kantor. Dalam hati Mikaela membandingkan dirinya dengan tunangan Darren, betapa cantik, tinggi dan anggunnya wanita itu. Dengan wajah yang dewasa serta senyum yang sangat ramah kepada karyawan yang menyapanya dan pakaian yang ia pakai juga sangat mahal, Mikaela tahu itu karena dulu ketika ia punya segalanya ia pernah memimpikan untuk bekerja dengan pakaian seperti itu, setelan blazer dengan rok pensil yang mahal dan tas yang diimpikan semua wanita, ya walau sekarang Mikaela juga mempunyai tas mahal hadiah dari Rendy. Ia memandang dirinya sendiri dalam pantulan kaca, dirinya yang tidak ada apa-apanya dibanding dengan tunangan pria itu.

"Mereka sangat serasi ya."

Terdengar seorang wanita mulai bergosip.

"Iya, aku juga sangat iri."

"Yang pria tampan, yang wanita cantik, dokter lagi, dia itu dokter terkenal."

"Ya, aku pernah melihatnya di televisi, ketika ia diundang menjadi narasumber."

"Gosipnya salah satu stasiun televisi akan mengontraknya dan membuatkannya suatu acara."

"Benarkah? Dia akan makin terkenal. Benar-benar membuatku iri, padahal dia lebih cocok menjadi model, cantik dan tinggi."

"Tidak sombong lagi, dia selalu ramah pada karyawan dan selalu tersenyum."

"Perfect, mereka benar-benar sangat serasi. Andai pak Darren masih sendiri."

Mikaela mendengar para wanita di dekatnya membicarakan Darren dan tunangannya. Salah satunya ada yang tertawa.

"Kau jangan bermimpi, walau pak Darren masih sendiri dia tidak akan mau dengan karyawan biasa seperti kita, apalagi wajah kita biasa saja." Timpal salah satu gadis berblazer ungu.

"Lagipula, sudah empat tahun mereka menjalin hubungan, sudah bertunangan dan akan menikah, itu sangat tidak mungkin."

Ucapan gadis itu menyadarkan Mikaela pada kenyataan. Benar, ia hanya berharap Darren mau bersikap baik padanya dan menjadi teman dekat seperti Rendy dan Daffa, tidak ingin punya harapan lebih.

Mikaela segera menyelesaikan pekerjaannya dan kembali ke atas, ia takut jika Darren akan marah-marah kalau sekretarisnya tidak ada di tempat, Lina sudah meninggalkan kantor ini sejak dua hari yang lalu. Tidak ada lagi yang membimbingnya, ia harus mengerjakan semua pekerjaan dengan kemampuan yang ia punya.

Sewaktu ada Lina, tidak ada orang yang berani menyuruh-nyuruh Mikaela. Sebelum Lina pergi, ia juga berpesan agar Mikaela kuat dan sabar dalam bekerja dan menghadapi bosnya itu. Sepertinya bukan hanya kepada Mikaela Darren bersikap kejam, tetapi juga pada Lina dan karyawan lain, jadi Mikaela bisa bernapas lega karenanya, karena kekhawatiran Rendy dan Daffa tidak beralasan.

Tenang saja, Mikaela sudah kebal dengan segala tingkah dingin Darren sejak dulu, ia tidak tahu jika sekarang Darren lebih bersikap kejam padanya. Darren pernah membuatnya sakit hati, patah hati dan segala macam sakit lainnya. Sekarang dia belum tahu, seperti apa Darren yang ia hadapi, jadi ia akan menjalani hari-harinya dengan kuat, mengingat ada banyak orang yang selalu menyemangatinya.

Mikaela sudah kembali ke meja kerja setelah memberikan titipan-titipan seniornya. Ia menumpuk kertas-kertas tersebut di atas meja. Baru saja pantatnya terduduk di kursi, telpon di mejanya berdering. Ia segera mengangkat panggilan dari Darren itu.

"Buatkan dua cangkir kopi, jangan terlalu manis."

"Baik pak."

Darren menyuruh Mikaela untuk membuat kopi untuknya dan tunangannya. Mikaela sudah bisa menebak, mereka berdua-duaan dalam ruangan Darren.

Gadis itu segera bangkit untuk membuat kopi yang dipesan oleh Darren. Salah satu office boy memberikan cangkir yang di ambil dari lemari kaca yang berbeda. Ia mengatakan jika itu khusus untuk bos dan tamu-tamu penting mereka. Cangkir keramik warna cream dengan garis hitam itu khusus untuk Darren dan tunangannya.

Tak lama Mikaela selesai membuat kopi hitam pesanan Darren, ia segera menuju ruangan Darren untuk menghantarkan kopi itu.

Sebelum masuk tak lupa Mikaela mengetuk pintu terlebih dahulu, mengingat sebelumnya Darren memarahi Lina karena wanita itu lupa mengetuk pintu ketika bersamanya.

"Masuk."

Suara tegas dari dalam terdengar, Mikaela memegang nampan dengan satu tangannya sedangkan tangan yang lain membuka pintu. Ia sedikit melirik untuk melihat posisi Darren dan tunangannya duduk. Mereka duduk berseberangan di sofa, tidak seperti bayangan Mikaela sebelumnya. Ia membayangkan bagaimana tunangan Darren duduk berdekatan dengan Darren di sofa sambil bermesraan.

Dengan sedikit terburu-buru Mikaela meletakkan kopi panas itu diatas meja. "Silahkan pak." ujarnya memeluk nampan yang ia pegang, sudah seperti pembantu.

"Jadi ini pengganti Lina?" Tanya wanita cantik itu seraya tersenyum memandang Mikaela.

"Ya, saya pengganti Lina." jawab Mikaela berusaha tenang dan membalas senyuman itu.

Wanita yang Mikaela ketahui bernama Caroline itu berdiri, memberikan tangan kanannya untuk Mikaela. "Perkenalkan, aku Caroline." ucapnya ramah.

Dengan sedikit kaku dan malu-malu, Mikaela membalas uluran tangan Caroline. "Mikaela."

"Salam kenal Mikaela."

"Salam kenal Bu Caroline."

"Ei, jangan memanggilku Bu, apakah aku terlihat tua?"

Mikaela merasa tidak enak dengan ucapannya. "Oh, tidak. Anda sangat cantik dan.. "

"Biarkan saja Caroline, sudah sepantasnya dia memanggilmu seperti itu, karena dia bekerja padaku, dia juga harus menghormatimu sebagai calon istriku." potong Darren tanpa memandang Mikaela.

"Tapi Lina memanggilku Caroline."

Caroline kembali duduk, kali ini di samping Darren, ia memegang lengan Darren, menandakan bahwa ia sedang protes.

"Caroline itu temanmu. Dia berbeda."

"Aku tidak mau terdengar sangat tua dengan panggilan 'ibu' Darren."

Walaupun Mikaela tahu bahwa itu adalah perdebatan manja mereka, tetapi Mikaela merasa tidak nyaman berada di situasi ini, apalagi mendengar ucapan Darren.

"Pak Darren benar. Saya harus memanggil anda seperti itu." ucap Mikaela akhirnya.

"Jangan sungkan Mikaela, aku akan senang jika kau menganggapku teman."

Mikaela hanya membalas ucapan Caroline dengan senyuman. "Saya pamit keluar dulu."

Ia bersiap melangkahkan kaki keluar ruangan, sebelum terdengar suara tegas Darren menghentikannya.

"Aku tidak menyuruhmu keluar." Kali ini Darren menatap Mikaela tajam. "Kau lihat kertas-kertas yang ada di atas mejaku? Bereskan itu sekarang."

Mikaela menengok meja Darren yang di atasnya sudah menggunung tumpukan kertas. Selama ia pergi, Darren melarang siapapun masuk ke dalam ruangannya.

Caroline terkekeh melihat Mikaela dengan lesu melangkah ke meja kerja Darren. "Kau harus tahan dengan sifat bosmu ini Mikaela." ucapnya sembari menggoda Darren. "Dia memang tukang suruh yang handal."

"Tidak apa-apa." Mikaela mulai membereskan kertas-kertas itu dengan memunggungi keduanya.

"Kebiasaanmu belum berubah ya, kau selalu saja mengunci ruanganmu kalau kau pergi, ruanganmu jadi pengap dan berdebu Mr. Darren."

Mikaela mendengar tanpa melihat Caroline sedang mengajak Darren berbicara.

"Aku sudah memerintahkan beberapa office boy untuk membersihkannya tadi."

Selalunya Darren selalu menyuruh karyawannya untuk membersihkan ruangan tanpa membereskan meja kerjanya, karena pengalaman yang sudah-sudah banyak dokumen penting yang ikut terbuang karena ketidakpahaman mereka dan itu membuat Darren memecat mereka semua. Darren tidak mau hal itu terulang, maka dari itu ia mempercayakan sekretarisnya untuk memisahkan dokumen-dokumen penting dan tidak penting di atas mejanya. Termasuk Mikaela, gadis itu harus bisa mengurus segala sesuatu yang Darren butuhkan dan tidak butuhkan, selain memanfaatkan keadaan untuk membuatnya menderita.

"Kau harus tau apa yang perlu kau bereskan dan kau singkirkan." tukas Darren.

"Baik pak."

Caroline memandang Darren dengan tatapan teduh, ia tahu bahwa tunangannya itu ada dalam kategori kejam sebagai atasan, tapi Darren sangat profesional dalam pekerjaan. "Kau terlalu galak sayang."

Mengabaikan ucapan Caroline, Darren bangkit dari sofa dan berjalan mengambil wine yang ia simpan dalam lemari pendinginnya di dalam ruangan.

Mikaela melirik sekilas. Darren benar-benar berniat mengerjainya, ia meminta kopi hitam pada Mikaela tetapi tetap wine yang ia minum.

"Kau tidak meminum kopimu?" Tanya Caroline mengikuti arah gerak Darren.

"Terlalu manis, kau tau aku tidak suka yang terlalu manis bukan? Padahal aku sudah memintanya jangan terlalu manis." sindir Darren.

Mikaela menegakkan tubuhnya, menghadap Darren dan Caroline yang sudah berada di samping jendela, kemudian ia menundukkan kepalanya. "Maafkan saya pak, lain kali saya akan mengurangi gulanya lagi."

"Tidak apa kau kan masih baru." Bela Caroline. Wanita itu berjalan memandang hamparan perumahan dari ketinggian ruangan Darren. Ada gunung yang jauh disana, tetapi masih dapat dilihat oleh mata. Dan awan-awan yang menyelimuti gunung itu.

Sementara Mikaela kembali membereskan kertas, dokumen-dokumen penting yang sangat rumit karena Mikaela harus memisahkannya dan menatanya dengan rapih dan benar.

"Apa yang kau lihat sayang?" Darren memeluk Caroline dari belakang.

Mikaela menengok melihat apa yang Darren perbuat pada Caroline, dengan secepat kilat ia kembali memalingkan wajahnya dari pasangan itu.

"Apa yang kau lakukan? Ada sekretarismu disana." Ucap Caroline malu-malu dengan kekehannya yang masih bisa Mikaela dengar.

Mikaela merasakan ngilu di dadanya, sambil menelan ludah dengan ketidaknyamanan, ia buru-buru membereskan sisa kertas-kertas itu.

"Anggap saja dia tidak ada." ucap Darren yang terdengar kejam bagi Mikaela.

"Darren." Caroline berbalik memegang kedua tangan Darren, memperingati kalau pria itu harus menghentikan perbuatannya.

"Mrs. Darren." Darren kembali memutar lengan Caroline dan memeluknya erat dari belakang.

Caroline terkekeh girang.

"Apa yang kau inginkan dihari ulangtahunmu?"

"Hmmmm" Caroline bergumam mendengar tawaran dari Darren itu. "Ulangtahunku masih lama."

"Ya, dua bulan lagi sayang. Aku akan menyiapkan pesta yang meriah untukmu." Darren mengecup pipi Caroline.

Sedangkan Mikaela hanya bisa menatap nanar pantulan pemandangan mesra mereka dari lemari kaca yang ada di depannya dengan hati yang tidak bisa digambarkan. Menyaksikan orang yang ia cintai memeluk wanita lain dengan sayang. Bukankah hati Mikaela sangat kuat?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel