Bab 9 Hatred
Darren membenarkan kancing lengan kemejanya dan segera memakai jas hitam yang ia sampirkan asal di sofa ruang kerjanya. Hari ini, ia ada janji untuk makan siang dengan rekan bisnis dan sekaligus membicarakan tentang kerja sama di antara mereka.
Baru saja Darren akan melangkah pergi, ponselnya bergetar menandakan satu pesan masuk. Ia segera membacanya.
Wajahnya mengeras melihat pesan yang ternyata adalah dari detektif yang ia bayar untuk menyelidiki Mikaela sewaktu ia berada di Paris beberapa hari yang lalu. Orang suruhannya itu mengatakan, bahwa ia sudah mendapat informasi penting dan sedang menuju kantor Darren.
Selain untuk berbisnis dengan Leo, Darren juga penasaran kenapa Mikaela dapat pergi dan tinggal di Paris dengan kebangkrutannya tanpa Darren ketahui, padahal dulu Rendy sudah menyuruh detektif terbaik kepercayaan ayahnya untuk mencari keberadaan Mikaela tetapi hasilnya nihil, Mikaela hilang tanpa jejak. Walaupun saat itu mantan pengacara ayah Mikaela mengatakan bahwa Mikaela mendapat uang asuransi untuk pendidikannya, tetapi sangat tidak mungkin jika uang itu mampu membiayai pendidikan dan biaya hidupnya di Paris.
Dulu Darren tidak punya kuasa apapun, dia hanya seorang pria yang baru akan tumbuh dewasa, sehingga ia hanya mengandalkan Rendy yang juga mengandalkan kekuasaan ayahnya. Sekarang ia memiliki segalanya, uang, kekuasaan, kekuatan. Walaupun itu masih hasil dari perusahaan ayah Darren, tetapi Darrenlah yang membesarkan perusahaan itu dan diam-diam Darren akan membangun sendiri kerajaan bisnisnya.
Darren kembali duduk di kursi kebesarannya, sambil menautkan jari-jarinya, ingatannya berputar pada kejadian tujuh tahun lalu, ketika ia menemukan dirinya tidak berdaya melihat Daffa yang kesakitan dengan alat-alat rumah sakit yang terkutuk. Ia tidak dapat menemukan Mikaela dimanapun, harapannya musnah untuk membuat Daffa kembali membaik, karena Daffa sangat mencintai gadis itu, Darren berharap agar gadis itu mau menjadi penyemangat Daffa ketika kembarannya itu sedang drop, tetapi Mikaela malah menghilang tanpa sedikit rasa bersalah pun pada Daffa.
Darren sadar kesalahan bukan hanya pada Mikaela tetapi juga padanya. Semenjak saat itu Darrenlah yang berusaha mati-matian untuk menjaga Daffa. Setelah Caroline mengatakan cara satu-satunya untuk menyelamatkan Daffa adalah dengan donor jantung, Darren sempat menawarkan jantungnya untuk Daffa, tapi kedua orangtuanya menolak dengan tegas ide gilanya itu.
Melihat ibunya yang setiap malam menangis dan ayahnya yang semakin mengurus membuat Darren semakin terpuruk. Ini adalah salahnya dan salah Mikaela, jika gadis itu tidak meninggalkan mereka dan kembali pada Daffa, mungkin Daffa akan cepat membaik, bukannya memburuk.
Semuanya berubah, hingga sebulan kemudian dengan tergesa-gesa dan menangis Caroline mendatangi Darren dan mengatakan bahwa ia sudah menemukan pendonor jantung Daffa, korban kecelakaan yang dengan rela menyerahkan jantungnya pada Daffa sesaat sebelum meninggal, saat itu ada sedikit kelegaan di hati Darren. Ia sangat berterima kasih kepada Caroline karena dialah satu-satunya dokter muda yang mau mengambil resiko mengoperasi Daffa.
Ketukan pintu membuyarkan lamunan Darren.
Terlihat Mikaela dengan takut-takut membuka pintu dan memandanginya.
"Ada tamu yang mencari anda pak."
"Masuk."
Mikaela mundur ke belakang mendengar perintah Darren dan mempersilakan beberapa orang masuk ke dalam ruangan Darren sambil menunduk sopan.
"Saya permisi."
"Suruh salah satu office girl untuk membawakan minuman." ucap Darren sebelum Mikaela kembali menutup pintu.
Dengan cepat Darren berdiri dan mempersilakan orang-orang suruhannya untuk duduk.
"Apa informasi yang kalian dapatkan?" tanya Darren tanpa basa basi.
"Tentang gadis yang bernama Mikaela itu, kami sudah menyelidikinya, dia tinggal di apertemen mini, yang tidak mewah tetapi juga tidak terlalu buruk di Paris, ia tinggal bersama seorang wanita paruh baya, yang kira-kira usianya sekitar 50 tahun. Namanya Salma."
Darren ingat wanita itu adalah pembantu Mikaela. "Lalu?"
"Dia dibantu seseorang pak, untuk mengurus kepindahan sekolahnya, serta masuk ke perguruan tingginya. Dan agar jejaknya tidak terlacak. Semua sudah dipersiapkan dengan begitu rapih."
Darren sudah menduganya, tidak mungkin gadis itu bisa menghilang begitu saja dalam kondisi yang tidak memiliki apapun selain asuransi.
"Siapa yang membantunya?"
"Walinya."
"Siapa? Kenapa kau sangat bertele-tele." Darren mulai kesal.
"Danu Setiawan. Dia adalah mantan pengacara Ayah dari gadis itu."
Sialan. Geram Darren dalam hati. Orang itu sudah menipunya dan mengatakan tidak tahu menahu tentang Mikaela pada Darren dan Rendy saat itu.
"Dimana Danu bekerja sekarang?"
"Dia tergabung dalam tim pengacara pak Sandjaya."
Darren memandang para detektifnya. Sandjaya adalah nama ayah Rendy, susah untuk mengganggu karir Danu mengingat Sandjaya adalah orang yang sangat hebat sejak dulu.
"Ada lagi?"
"Ada informasi lain pak, dan ini sangat penting."
"Katakan."
"Apertemen yang gadis dan wanita itu tinggali, bukan apertemen mereka."
"Lalu?"
"Apertemen itu atas nama teman dekat anda."
Darren mengerutkan keningnya. Semakin tidak sabar untuk mendengar lanjutannya.
"Rendy Leonard Sandjaya."
.
Bunyi deringan telpon terus saja terdengar di meja kerja Mikaela. Gadis itu segera mengangkatnya dan menjawabnya dengan sopan. Setelah beberapa menit berbicara ia menutup kembali telpon itu, begitu sejak tadi banyak sekali yang bermaksud membuat janji dengan Darren dan Mikaela harus mencatatnya dan memberitahukan pada Darren nanti apakah ia akan menyetujui atau tidak untuk bertemu.
Mikaela kembali mengambil tumpukan kertas yang tadi sudah ia susun dengan rapih, ia akan turun ke bawah untuk mengkopi kertas-kertas dokumen itu dan sekaligus menemui Tiwi. Ia sudah mengirim pesan secara diam-diam kepada Tiwi agar temannya itu pergi ke tempat potokopi, Mikaela sudah membeli dua coklat untuknya dan Tiwi.
Sambil bernyanyi-nyanyi Mikaela berjalan menuruni beberapa anak tangga setelah keluar dari lift.
Disana Tiwi sudah melambaikan tangan padanya. Ia duduk di sofa lobi samping potokopi. Tiwi mendekati Mikaela begitu Mikaela sampai ke mesin potokopi.
"Mana coklatku?" Pinta Tiwi.
Mikaela segera mengeluarkan coklat dari kantong roknya dan memberinya ke Tiwi.
"Aku lelah." keluh Mikaela.
"Ya aku juga penat."
"Kau mau makan apa nanti?" Mikaela mulai mengutak-atik kertas-kertasnya.
Tiwi melihat jam ditangannya. "Jam makan masih lama Mikaela." Ia mulai memakan coklatnya.
"Aku lapar, tadi pagi aku tidak sempat sarapan, aku bangun kesiangan. Pekerjaanku sangat banyak."
"Darren sengaja memberimu banyak pekerjaan." kekeh Tiwi.
"Pak Darren." ralat Mikaela.
Tiwi merebut kertas-kertas yang Mikaela pegang.
"Hei, apa yang kau lakukan?"
"Berikan itu padaku dan makanlah coklatmu."
"Aku bisa sendiri."
"Santailah sebentar saja."
Mikaela tersenyum dan membuka coklatnya sambil bersandar pada dinding. Matanya menatap gerombolan pria berjas yang baru saja keluar dari lift di depannya. Pria-pria yang tadi mendatangi Darren, wajah mereka nampak serius dan berjalan tergesa-gesa keluar pintu lobi. Mikaela sedikit mengintip saat mereka memasuki mobil yang sudah disiapkan.
"Apa yang kau lihat?" tanya Tiwi.
"Bukan siapa-siapa, orang penting, tamu bos."
Mengabaikan hal itu Mikaela kembali memakan coklatnya sambil tertawa-tawa kepada Tiwi karena Tiwi menceritakan tentang hal yang lucu yang terjadi di divisinya.
Hingga sebuah benda mengagetkan Mikaela, benda yang hampir terlempar ke arahnya, benda yang terlempar ke lantai tepat disampingnya. Benda yang mungkin terlempar sangat kuat karena hancur berkeping-keping.
Suasana menjadi hening, semua mata memandang asal lemparan itu dan ponsel mahal yang sudah remuk di atas lantai.
"Maaf, tanganku licin." Darren berdiri dengan tatapan tajam memandang Mikaela.
Senyum Mikaela pudar diganti dengan raut wajah ketakutan, begitupun dengan semua karyawan yang ada di lobi.
Beberapa orang yang sedang potokopi memilih kembali ke ruangannya masing-masing dengan terdiam.
Mikaela menelan ludah saat Darren mendekatinya. Wajah Tiwi menjadi pucat pasi dan kaku karena Tiwi melihat dengan jelas kemarahan di wajah Darren.
"Kau meninggalkan ruanganmu, dan bergosip disini saat jam kerja?"
Tiwi menundukkan kepalanya. "Maaf pak, saya sedang mengkopi pekerjaan saya."
"Kembali ke ruanganmu." Suruh Darren datar tetapi dapat membuat sekujur tubuh Tiwi merinding.
Tiwi melirik Mikaela sekilas dengan pandangan kasihan kemudian ia pergi untuk kembali bekerja.
Tinggalah Mikaela yang menatap Darren dengan menahan napas. Ia berkali-kali menelan ludah karena Darren menatapnya seperti ingin membunuh.
"Maaf pak, saya sedang mengkopi dokumen-dokumen yang bapak minta." ucap Mikaela hati-hati sebelum Darren mengatakan sepatah katapun padanya.
Tangan Darren mengepal erat mengingat para karyawannya sekarang tengah memandangi dirinya dan Mikaela dengan wajah yang penasaran. Darren harus bisa mengontrol emosinya saat ini. Ia memanggil salah satu office boy yang berada di lobi dan mengacuhkan Mikaela.
"Mulai besok, beri semua ruangan beberapa mesin potokopi." Perintahnya sambil meninggalkan lobi.
Mikaela memejamkan mata dan mengambil kertas-kertasnya.
"Apa non tidak apa-apa?" tanya office boy itu membantu Mikaela membereskan kertas-kertasnya.
"Tidak apa-apa pak."
"Biar saya yang potokopi, nanti saya antar ke atas. Bos memang sedikit galak non."
Mikaela tersenyum. "Iya pak saya tahu, terimakasih ya pak."
Dengan cepat Mikaela berjalan ke arah lift, sempat Mikaela dengar bisik-bisik karyawan yang sedang membicarakannya.
"Habislah dia, besok pasti gadis itu dipecat."
"Bukankah itu sekretaris baru?"
"Ia meninggalkan mejanya saat ada tamu, pak Darren paling tidak suka itu."
"Apalagi ketika dilihat meja sekretarisnya kosong."
"Dan lagi tadi dia memakan coklat bersama temannya."
"Aku yakin gadis itu akan dipecat."
Mikaela menghela napas berat. Ia memencet tombol ke lantai atas tempatnya bekerja. Benar yang dikatakan mereka, Darren marah besar kepadanya saat ia meninggalkan meja kerjanya disaat jam kerja dan ketahuan memakan coklat bersama Tiwi, tetapi tidak sampai harus melempar ponselnya ke arah Mikaela hingga hancur seperti tadi, walaupun tidak sampai mengenai Mikaela, tapi Mikaela yakin apa yang dilakukan Darren itu untuk menegurnya dan marah padanya.
.
Darren berendam di kolam air hangat mini dalam apetemen miliknya, kolam itu terbuat dari bebatuan yang disusun rapi seperti dalam pemandian air hangat di Jepang, dengan beberapa tanaman hijau di sampingnya.
Sambil menyesap sampanye, Darren memejamkan matanya.
Kemarahan masih memenuhi kepala Darren ketika mengingat ucapan orang suruhannya tentang Mikaela. Ternyata Rendy, teman baiknya lah yang membawa Mikaela ke Paris, yang menutupi segala akses pencarian Mikaela, yang membiayai hidup Mikaela selama berada disana.
"Ternyata dia memang seorang pelacur. Dia pelacur Rendy. Dasar sampah." gumam Darren.
Rendy dan Mikaela benar-benar membodohinya. Rendy berpura-pura mencari keberadaan Mikaela, padahal ia sendiri yang menyembunyikan gadis itu disaat Daffa membutuhkannya. Rendy telah mengkhianatinya dan Daffa.
"Gadis licik itu benar-benar brengsek, sampai dia benar-benar hancur aku tidak akan berhenti menyakitinya." ucap Darren penuh dendam.
Darren kembali memejamkan matanya, meremas gelas kaca ditangannya hingga pecah menjadi dua mengingat pengkhianatan yang dilakukan Rendy dan Mikaela.
Rendy, pria itu benar-benar sudah mengkhianati Daffa dengan membawa Mikaela pergi, sejak dulu Darren memang tahu bagaimana perasaan Rendy pada Mikaela dan ia tak menyangka Mikaela juga lebih memilih Rendy daripada Daffa. Ternyata hanya gadis murahan yang dicintai Daffa.
Padahal Daffa benar-benar mencintai Mikaela dan menyayangi Rendy sebagai sahabat. Darren berjanji akan membongkar kebusukan Rendy pada Daffa suatu saat nanti.
Tiba-tiba seseorang memeluk Darren dari belakang.
"Apa yang kau pikirkan sayang?"
Darren menaruh pecahan gelas ditangannya ketika Caroline memeluknya.
"Tanganmu terluka, apa kau marah pada seseorang?"
Darren tak bergeming, Caroline bertanya tepat di telinganya.
"Aku hanya heran, di dunia ini, orang yang paling dekat dengan kitalah yang akan menusuk kita."
Caroline melepas pelukannya dan masuk ke dalam kolam itu bersama Darren, ia duduk di pangkuan Darren manja sambil merangkul pundak Darren.
"Siapa yang kau ceritakan?"
"Seseorang."
"Apa yang dia lakukan padamu?"
Darren memposisikan Caroline dihadapannya dan memeluk wanita itu erat. "Seorang temanku bercerita padaku tentang masalahnya, bukan aku." jawabnya mencari alasan klasik.
"Aku mengenalmu Darren, aku tidak memaksamu untuk bercerita sekarang. Tapi tanganmu terluka." Caroline mengusap telapak tangan Darren dengan handuk kecil yang ia bawa.
"Ini hanya luka kecil sayang, aku pernah mendapatkan luka yang sangat-sangat dalam." Darren kembali mengeratkan pelukan pada tunangannya itu, kemudian menenggelamkan wajahnya ke bahu Caroline, membuatnya sedikit melupakan apa yang sudah terjadi.
