Bab 7 Worries
"Kau yakin tidak akan terjadi apapun?" Tanya Daffa pada Rendy setelah Mikaela dan Tiwi meninggalkan mereka.
"Aku tidak yakin, kau paling tau karakter Darren, dia pasti merencanakan sesuatu."
"Hmm, kalau begitu apa yang harus kita lakukan?"
"Aku sudah memikirkan ini sejak tadi, sebaiknya kau pulang saja Daff, kau tau kan bagaimana istrimu?" Rendy menyilangkan tangan ke dadanya dan menatap Daffa serius. "Aku akan membeli apertemen disini, sekaligus untuk mengawasi proyek pembangunan gedung baru kita."
"Apa kau yakin?"
"Tentu saja, serahkan padaku, sesekali datanglah kalau kau khawatir."
"Aku pasti akan datang, kau tidak ingat kalau aku juga pemilik gedung yang sedang kita bangun itu?"
"Well, ya, ajak istrimu." canda Rendy.
"Kau selalu mengingatkanku kalau aku bukanlah pria yang melajang lagi ya."
Rendy terkekeh, ia meminum habis sisa kopi dinginnya dan mengelap pinggiran bibirnya dengan tisu. "Sekedar membuatmu sadar, ayo pergi."
Daffa mengikuti sahabatnya itu meninggalkan cafe, mengendarai mobil mereka masing-masing. Mereka datang sekaligus akan melihat pembangunan gedung perusahaan mereka yang letaknya tidak jauh dari kantor Darren.
Dalam hati mereka bersyukur karena dapat mengawasi gerak-gerik Darren, walaupun Rendy merencanakan akan memanggil orang sewaannya yang berada di Paris untuk mengawasi Mikaela seperti yang selama ini ia lakukan di Paris. Itu alasan mengapa ia tau kalau Mikaela bekerja di perusahaan Darren.
Dia tidak ingin gadis itu terluka. Cukup sudah Rendy melihat Mikaela hancur dan menangis tujuh tahun lalu, ketika Mikaela kehilangan segalanya. Ketika Rendy menyuruhnya pergi ke Paris untuk memulai kehidupan yang baru dengan bantuan Rendy. Sedikit kejam memang, ketika Rendy menyuruhnya pergi sama saja dengan menyuruhnya meninggalkan Daffa dan Darren. Dalam pikiran Rendy saat itu, itulah yang terbaik untuk Mikaela, Daffa dan Darren. Walau ia harus melukai ketiga belah pihak. Dan jika sekarang terjadi sesuatu pada Mikaela karena Darren, Rendy tidak akan memaafkan dirinya sendiri, karena ia lah yang membuat Darren membenci Mikaela.
Walaupun benar kata Mikaela, Darren tidak mungkin akan membunuhnya, tetapi mungkin akan membunuh hatinya. Rendy tau, selama ini Mikaela masih mencintai Darren, dan jika Darren tau akan hal itu, pria itu pasti akan memanfaatkan kelemahan Mikaela itu untuk menyakiti gadis itu, membunuh hati Mikaela perlahan-lahan.
Drrrttt Drrrttt
Getaran ponsel Rendy menghentikan otaknya yang sedang berpikir, ia memasang headsetnya dan menekan tombol yes untuk panggilan yang ternyata berasal dari nomer Daffa.
"Ada apa?"
"Jangan melamun, kau salah berbelok."
Rendy celingukan melihat jalan disekitarnya yang bebas macet, ternyata Daffa benar, dia mengendarai mobilnya terlalu jauh. Ia segera mematikan panggilan Daffa dan berputar menyusul Daffa.
.
Tepat pukul lima sore Mikaela sampai ke apertemennya bersama Tiwi.
Tiwi yang sebenarnya sudah pulang sejak pukul tiga sore harus menunggu Mikaela yang baru boleh pulang setelah pekerjaannya selesai. Rupanya gadis itu harus belajar dengan cepat karena dua hari lagi sekretaris Darren yang lama harus sudah keluar dari kantor itu tanpa kejelasan. Lina tidak mengatakan alasannya kepada Mikaela kenapa dia harus berhenti bekerja di perusahaan Darren.
"Bi Salmaaaaaa."
Tiwi berteriak begitu pintu apartemen mungil Mikaela terbuka menampilkan wanita paruh baya yang rambutnya sudah memutih dibalik gelungannya.
"Non Tiwi." Salma membalas pelukan erat Tiwi yang menggoncang-goncangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri.
Dibelakang Tiwi Mikaela hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum melihat tingkah mereka.
"Aku rindu masakan bibi, bisakah kau memasak untukku bi?" Pinta Tiwi.
"Tentu saja non, aku sudah memasak saat mengetahui kau akan datang, masuklah, kita akan makan bersama." Ajak Salma merangkul lengan Tiwi yang lebih tinggi darinya.
"Jadi aku terlupakan?" Mikaela pura-pura merajuk.
"Pergilah ganti baju dulu, kami akan menunggumu di meja makan." Salma membelai rambut Mikaela sayang, yang kemudian di balas ciuman di pipi oleh Mika.
Ck. Tiwi hanya berdecak.
"Non Mikaela masih sama seperti dulu, dia tidak berubah."
"Ya bi, kau benar, sifatnya sama sekali tidak berubah."
"Maafkan kami sudah menghilang tujuh tahun yang lalu dan membuat kalian khawatir."
Tiwi mengambil tangan Salma kemudian menggenggamnya erat. "Sudahlah, lupakan itu bi. Dulu aku sangat marah padanya ketika dia menghilang tanpa memberi kabar padaku dan Siska, dan baru enam bulan sesudahnya dia menghubungi kami."
"Dia sangat kesepian saat itu tanpa kalian."
"Aku tau bi, mendengar dia baik-baik saja sudah membuat kami bahagia." Tiwi tersenyum lembut memandang Salma.
"Bagaimana kabar non Siska?"
"Dia sangat sibuk sekarang bi, aku sudah menyuruhnya datang kesini, tapi dia belum bisa, mungkin bulan depan."
Salma membuang napas, pandangannya menerawang mengingat masa lalu suram yang pernah ia alami.
"Sudah lama sekali ya sejak kejadian itu terjadi, bibi tidak menyangka kalian sudah besar sekarang." Terlihat gurat-gurat kesedihan diraut wajah Salma.
"Bi, aku sudah lapar, bolehkah aku makan sekarang?" Tiwi meminta manja sekaligus mengalihkan pembicaraan, dia tidak ingin melihat Salma berlarut-larut dalam kesedihannya yang dulu.
Salma hanya mengangguk, menuntun Tiwi ke meja makan minimalis yang hanya bisa ditempati oleh empat orang itu. Dapur yang sangat rapat dengan meja makan, dapur minimalis yang seadanya tapi tertata sangat rapi dan bersih. Tiwi menyukai hal itu, tidak seperti apertemennya yang sangat berantakan, maklum saja Tiwi tinggal sendiri di Singapura.
"Kalian ingin makan tanpa menungguku?"
Mikaela hadir diwaktu yang tepat, kemeja formalnya tadi sudah diganti dengan kaus biasa, pakaian yang sangat biasa untuk seorang Mikaela, Tiwi dapat melihat perbedaan Mikaela yang dulu dengan yang sekarang, bajunya yang dulu walaupun hanya T-shirt, tapi Tiwi tau harga baju itu tidak murah. Kini Mikaela benar-benar terlihat seperti gadis biasa, walau wajahnya masih tetap cantik.
Itulah yang membuat Tiwi merasa iri dengan Mikaela, gadis itu memiliki kecantikan yang alami walau tanpa make up seperti sekarang.
"Ada apa denganmu, kenapa kau memandangku seperti itu?" Mikaela melambai-lambaikan tangannya ke depan wajah Tiwi.
Tiwi terkesiap. "Eh, em... maaf."
"Apa aku aneh?"
"Aku hanya sedikit iri padamu Mikaela, kapan wajahmu terlihat jelek huh?"
"Kau memujiku? Sepertinya kau sangat lapar, cepat makan, dan setelah itu kita akan video call dengan Siska. Aku ingin membuatnya iri karena bersamamu."
Tiwi menyetujuinya, ia mengandeng tangan Salma dan Mikaela bersamaan. "Ayo makan bersama, akhirnya aku punya keluarga juga disini." ucapnya lega.
.
Rendy sedang menunggu kedatangan Mikaela dan Tiwi di Dream Cafe, cafe kecil yang berdiri sebelah kantor Darren. Akhirnya Rendy mengetahui nama cafe itu, sepertinya Dream Cafe menjadi tempat favorit mereka sekarang. Walau tidak terlalu besar tetapi kopi dan kue di cafe itu rasanya cukup enak.
Sudah seminggu lebih Rendy berada di Singapura, sedangkan Daffa sudah kembali ke Indonesia. Rendy sudah mengutus beberapa orang kepercayaannya untuk mengurus bisnisnya di Indonesia. Sedangkan dia fokus dengan pembangunan perusahaan barunya dengan Daffa.
Mikaela dan Tiwi baru terlihat setelah selama satu jam Rendy menunggu.
"Kalian lama sekali." Protes Rendy.
"Kenapa kakak masih disini?" Tanpa menghiraukan ucapan Rendy, Mikaela menarik santai kursi tepat di depan Rendy dan duduk dihadapan pria itu.
"Tentu saja, aku sudah bilang bukan kalau aku akan tinggal disini bukan?"
"Jika itu hanya karena aku bekerja disini sebaiknya kakak pulang."
"Percaya dirimu terlalu tinggi Mikaela."
"Itu ajaran darimu kak."
Rendy tertawa. "Kau lupa kalau aku sedang mengawasi pembangunan gedung baruku?"
"Ya, ya, ya, aku percaya kak."
"Kalian pesan apa?" Tawar Rendy pada Mikaela dan Tiwi.
"Kalian asik mengobrol sejak tadi dan mengabaikanku" Tiwi mencebik, ia memanggil seorang pelayan untuk mendekat dan mencatat pesanannya dan pesanan Mikaela.
"Apa dia melakukan sesuatu padamu?" Tanya Rendy tiba-tiba.
Mengerti siapa yang dimaksud Rendy, Mikaela memutar bola matanya malas. "Kau lihat kan kak kalau aku baik-baik saja?"
"Aku hanya bertanya."
"Lagipula, aku tidak bertemu dengannya, sudah seminggu ini dia pergi ke Paris."
"Benarkah? Dia tidak memberitahuku."
"Untuk apa dia memberitahumu, memangnya kau kekasihnya huh?" Sambar Tiwi.
Mikaela terkekeh, begitupun Rendy. Tiwi memang tidak berubah sejak jaman sekolah dulu, ia masih sangat ketus dengan Rendy.
"Baiklah, aku akan pergi sekarang, aku masih ada urusan, kalian makanlah sepuasnya, aku sudah membayarnya." Rendy bangkit dari tempat duduk dan membenarkan jas mahalnya.
"Bagaimana kau bisa membayarnya, bahkan kau belum tau apa yang kami pesan."
"Aku tau segalanya Tiwi."
"Ck, memangnya kau cenayang?"
Rendy menaikkan bahunya, sambil memasang ekspresi yang menurut Tiwi sangat menyebalkan, lalu dengan genitnya ia mengedipkan satu mata ke arah pelayan wanita yang selalu saja memandangnya jika ia datang.
"Dasar genit." umpat Tiwi yang dibalas cengiran oleh Rendy.
"Kak." Panggil Mikaela sebelum Rendy beranjak pergi.
Rendy menoleh dengan tatapan ada apa.
"Aku baik-baik saja, percayalah padaku, percayalah aku bisa menyelesaikan semua masalahku, aku sudah cukup dewasa untuk itu kak."
"Kau tau Mikaela, aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja selama berada disini. Walau kau mengatakan apapun padaku, aku akan tetap disini. Tenang saja, aku hanya mengurus bisnisku." Rendy menepuk-nepuk pundak Mikaela sambil tersenyum kemudian meninggalkan mereka.
Mikaela menghela napas berat.
"Seharusnya kau bahagia Mikaela, mereka sangat menyayangimu, maksudku kak Daffa dan kak Rendy." Ucap Tiwi.
"Aku bahagia, baik kak Daffa dan kak Rendy, mereka selalu menjagaku."
"Lalu?"
"Aku hanya takut."
"Apa yang kau takutkan?"
"Hutang budiku sangat banyak pada kak Rendy, aku takut suatu hari aku tidak mampu membayarnya ketika ia meminta."
Tiwi mengerutkan keningnya. "Itu tidak mungkin, dia tidak mungkin memintamu untuk membayarnya, dia sangat tulus membantumu. Aku tau itu."
"Iya, kau benar Tiwi, mereka sangat tulus padaku."
Tidak lama brberapa pelayan datang menghantarkan banyak makanan dan minuman ke atas meja mereka. Meja berukuran sedang itu kini penuh dengan berbagai macam kue dan makanan, serta beberapa macam minuman.
"Wow, apa ini?" Tanya Tiwi kebingungan kepada salah satu pelayan yang datang.
"Tuan Rendy sudah memesan seluruh makanan andalan cafe ini untuk kalian berdua, jika ada tambahan, kami siap menghantarnya lagi." ucap pelayan itu sopan.
"Dia gila Mikaela."
Mikaela tertawa mendengar komentar Tiwi. "Ya, itulah dia."
"Tapi aku menyukai kegilaannya."
