Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 19 Ancaman Citra

Bab 19 Ancaman Citra

Rasa ingin tahu membawa Mariana mencari sumber suara aneh yang tertangkap telinganya. Keningnya berkerut saat menyadari kalau suara aneh itu berasal dari kamar Citra.

Mariana menajamkan pendengarannya. Kakinya melangkah mendekati pintu kamar yang tidak tertutup sempurna. Matanya terbelalak kaget saat mengintip ke dalam kamar itu. Refleks, tangannya terangkat untuk menutup mulutnya.

Dengan jantung yang masih berdegup kencang, Mariana bergegas kembali ke kamarnya. Dia masih tidak bisa mempercayai pemandangan yang sempai dilihatnya tadi.

“Apa aku bermimpi?” gumam Mariana pada dirinya sendiri. Tangannya bergerak mencubit tangannya sendiri.

“Sakit. Jadi, yang tadi itu benar-benar nyata. Ya ampun, apa yang harus aku lakukan? Aku melihat sesuatu yang tidak seharusnya aku lihat,” gumam Mariana sambil mengusap tangannya yang terasa sakit.

Hingga pagi menjelang, Mariana masih tidak dapat memejamkan matanya. Bayang-bayang kejadian di kamar Citra tadi masih menghantuinya.

“Ah, sudah waktunya memasak. Aku harus segera turun,” keluh Mutiara.

Dengan langkah gontai, Mariana menuruni tangga menuju ke dapur. Matanya terasa berat karena tidak bisa tidur lagi. Langkah kakinya terhenti saat berpapasan dengan Bram dalam perjalanan menuju ke dapur.

“Selamat pagi, Non Ana,” sapa pria itu sambil tersenyum kecil.

Mariana membalas sapaan pria itu dengan gugup. “Ehm, selamat pagi, Pak Bram.”

Mariana terdiam di tempatnya, menatap kepergian Bram, pria yang tak lain adalah supir pribadi Mario.

Apa aku yang baru menyadarinya sekarang? Pak Bram begitu santai keluar masuk rumah ini. Bahkan, ini masih sangat pagi, kata Mariana dalam hatinya.

“Ana!”

Suara Citra yang memecah keheningan pagi itu membuat Mariana tersadar dari lamunannya. “Hah! Iya, Ma.”

“Apa yang kamu lakukan di sana? Bukannya masak malah melamun di tengah jalan!” hardik Citra.

“Iya, Ma. Ana ke dapur sekarang!” Mariana bergegas ke dapur, meninggalkan Citra yang berdiri sambil berkacak pinggang. Mutiara berusaha menghindari mertuanya, ingatan tentang kejadian semalam masih membayang dalam benaknya.

Pikiran yang tidak fokus membuat Mariana tidak bisa berkonsentrasi dalam memasak. Alhasil, masakannya berantakan pagi ini. Ada yang kurang matang, ada yang terlalu asin, bahkan ada yang hangus.

“Makanan apa ini!” bentak Citra. Setelah semalam kurang tidur, ditambah dengan makanan yang tidak bisa dimakan membuat emosi Citra memuncak.

“Kamu mau meracuni kami?” Citra melemparkan sendok dan garpunya di atas meja makan.

“Ma-maaf, Ma. Ana…”

“Apa lagi alasanmu sekarang? Karena Mario tidak ada di rumah, kamu mulai bertingkah seenaknya? Lihat saja nanti, aku akan melaporkanmu pada Mario.”

Ancaman Citra membuat Mariana ketakutan. Dia langsung menghampiri Citra dan menggenggam tangan mertuanya.

“Ma, tolong jangan bilang pada Mas Mario. Ana mohon, Ma. Tolong, Ma.” Mariana memohon belas kasihan Citra.

Citra tersenyum sinis. Dengan kasar, dia menarik tangannya dari genggaman Mariana. Dirinya bagai di atas awan, melihat Mariana memohon-mohon di hadapannya.

“Aku jadi penasaran, hukuman seperti apa yang akan diberikan Mario padamu. Hmm, sepertinya akan lebih menyenangkan kalau kedua orangtuamu saja yang menerima hukumannya,” ucap Citra tanpa perasaan.

“Ma, jangan Ma. Ana mohon, Ma. Tolong jangan hukum Bapak dan Ibu. Mama hukum Ana saja, Ma.” Mariana tidak mampu lagi menahan air matanya. Dia begitu ketakutan dengan ancaman Citra. Mertuanya itu tidak pernah bermain-main dengan ucapannya.

“Kamu sendiri yang memintanya, Ana. Sekarang pergi ke garasi, cuci semua mobil yang ada di sana. Jika ada yang membantumu, bersiaplah untuk mendengar kabar buruk tentang orangtuamu.”

Mariana melangkah menuju ke garasi mobil. Hatinya mencelos kala melihat banyaknya mobil yang harus dicucinya.

“Sebanyak ini yang harus aku cuci? Huft.” Belum mulai saja, Mariana sudah merasa lemas. Kalau harus mencuci mobil sebanyak ini, entah kapan akan selesai pekerjaannya ini.

Mariana melangkah gontai menuju ke lemari penyimpanan yang ada di sudut garasi. Di sana, dia menemukan perlengkapan untuk mencuci mobil.

“Ada sepuluh mobil yang harus dicuci. Oke, kita mulai dari mobil yang ada di ujung saja.”

Mariana menata perlengkapannya di depan garasi. Dia memasang selang pada kran air, kemudian bersiap menyalakan semprotan air. Tanpa disadari olehnya, ada sepasang mata yang mengamatinya sedari tadi.

“Mbak Ana sedang apa di sana?”

Mariana menatap sekelilingnya, mencari asal suara yang menyebut namanya. “Eh, Marcell. Aku mau mencuci mobil.”

Marcell yang baru saja pulang dari lari pagi, sedikit terkejut melihat Mariana yang berkutat dengan selang dan semprotan air di depan garasi. Bahkan, sampai beberapa menit berlalu, kakak iparnya itu masih sibuk memutar-mutar ujung semprotan selang air.

“Mau sampai kapan diputar terus, Mbak?” tanya Marcell lagi.

“Semprotan ini sepertinya rusak, Cell. Airnya tidak mau keluar,” keluh Mariana.

Marcell tertawa geli melihat tingkah kakak iparnya. Pria itu memutuskan untuk mendekati sang kakak ipar yang masih kebingungan.

“Berikan padaku!” Mariana memberikan semprotan air yang dipegangnya pada Marcell, berharap adik iparnya itu bisa memperbaiki semprotan air itu.

“Begini caranya.” Marcell mengajari Mariana cara menggunakan semprotan air itu, termasuk cara mengatur kekuatan semprotan air sesuai kebutuhan.

“Terima kasih, Cell. Ternyata bukan selangnya yang rusak, tapi aku yang tidak bisa menggunakannya,” kata Mariana malu. Dia langsung mempraktekkan penjelasan Marcell tadi.

“Ok. Jangan sentuh mobilku! Aku mau menggunakannya.”

Mariana membuka mulutnya hendak bertanya yang mana mobil milik Marcell, tapi pria itu sudah melangkah masuk ke dalam rumah.

“Mobilnya Marcell yang mana, ya? Ah, sudahlah. Aku cuci yang ada di dekat sini saja dulu,” gumam Mariana.

Mariana baru selesai mencuci dua mobil, saat pandangannya terasa kabur. Tangannya berusaha menggapai mobil terdekat untuk berpegangan, namun detik berikutnya kesadarannya justru hilang.

“Ya ampun, mengapa mobilku basah? Ah, Mbak Ana pasti mencucinya. Apa dia tidak mendengar ucapanku tadi? Aku sudah bilang untuk tidak mencuci mobilku, mengapa dia malah mencucinya,” gerutu Marcell saat keluar dari rumah.

Pria itu kembali ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobilnya yang lain. Dia tidak bisa menggunakan mobil basah untuk pergi bertemu dengan teman-temannya.

“Mbak Ana ini membuat masalah saja,” gerutu Marcell. Langkahnya terburu-buru menuju ke mobil yang jarang digunakannya. Saat itulah, sudut matanya menangkap sesuatu yang aneh di lantai garasi.

Marcell memutuskan untuk memeriksanya terlebih dahulu. Matanya terbelalak kaget saat melihat Mariana tergeletak di lantai garasi dengan pakaian basah dan wajah pucat pasi.

“Mbak Ana! Bangun, Mbak!” Berulang kali Marcell menepuk pipi Mariana, namun perempuan itu masih saja tidak sadarkan diri.

Marcell langsung menggendong kakak iparnya masuk ke dalam rumah.

“Maudy! Maudy!”

Maudy yang mendengar teriakan kakaknya, langsung keluar dari kamarnya. “Apa apa, Mas? Mengapa kamu teriak-teriak seperti itu?” Dengan langkah malas-malasan, Maudy mencari keberadaan Marcell.

“Mbak Ana! Mas, apa yang terjadi sama Mbak Ana?” tanya Maudy terkejut melihat Mariana yang tidak sadarkan diri dalam gendongan Marcell.

“Bukakan pintu kamarnya! Kamu ganti pakaiannya yang basah, aku akan menelepon dokter!”

“Iya, Mas.”

Marcell meletakkan tubuh Mariana di atas ranjang. Pria itu langsung keluar untuk menelepon dokter. Sementara itu, Maudy memanggil beberapa asisten rumah tangga untuk membantunya membersihkan tubuh Mariana dan mengganti pakaiannya dengan pakaian yang bersih.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel