Bab 20 Istirahat Total
Bab 20 Istirahat Total
“Apa yang terjadi, Mas? Mengapa Mbak Ana sampai pingsan? Mengapa tubuhnya basah dan kotor seperti itu?” tanya Maudy saat Marcell kembali menemuinya di kamar Mariana.
Tubuh Mariana sudah bersih, pakaiannya yang basah juga sudah diganti. Kini, hanya ada mereka bertiga di kamar itu. Para asisten rumah tangga sudah pergi setelah menyelesaikan tugasnya.
“Aku juga tidak tahu. Aku hanya tahu kalau dia sedang mencuci mobil di garasi. Saat aku mau menggunakan mobil, aku malah menemukannya tergeletak di lantai garasi,” cerita Marcell.
Suara ketukan di pintu kamar membuat perhatian Marcell dan Maudy teralihkan. “Dokternya sudah datang Non Maudy,” lapor salah satu asisten rumah tangga mereka.
“Ajak beliau kemari!”
Tidak lama berselang, asisten rumah tangga itu sudah datang bersama dengan seorang pria paruh baya yang mengenakan jas putih dan juga seorang anak muda berseragam putih. Marcell dan Maudy menunggu kedatangan mereka di depan pintu kamar.
“Selamat pagi, Om,” sapa Marcell pada Dokter Vicky, dokter keluarganya.
“Pagi, Cell. Halo, Maudy. Kamu tidak kuliah?”
“Hari ini tidak ada jadwal kuliah, Om,” jawab Maudy. Vicky sudah bertahun-tahun menajdi dokter di keluarga mereka. Selain itu, Vicky juga sahabat dari Manggala, almarhum papa mereka.
“Jadi, siapa yang sakit?”
“Mbak Ana, istrinya Mas Mario, Om.”
“Ok. Om akan memeriksanya dulu.”
Perawat yang berdiri di belakang Dokter Vicky langsung mengeluarkan alat-alat yang akan digunakan oleh Dokter Vicky.
“Dia kelelahan dan juga kekurangan nutrisi. Dia harus berisitirahat selama beberapa hari,” kata Vicky setelah memeriksa kondisi Mariana.
Perawat yang ikut bersamanya itu langsung membereskan peralatan yang sudah digunakan. Dia juga memasangkan infus ke tangan Mariana.
“Nanti siang, aku akan mengirim salah satu perawatku untuk ke sini, mengganti infusnya sekaligus mengantarkan obat dan juga vitamin untuk Ana. Di mana Mario? Apa dia ada di kantor?” tanya Dokter Vicky.
“Ya ampun! Aku lupa mengabari Mas Mario, Om. Dia ada di Lombok sekarang, sedang ada pertemuan di sana,” kata Marcell sambil menepuk keningnya.
“Jangan sampai lupa untuk memberi kabar pada Mario. Aku pergi dulu. Kalau Ana demam atau kondisinya memburuk, langsung hubungi aku,” pesan Dokter Vicky.
“Baik, Om. Terima kasih banyak.”
Sepeninggal Dokter Vicky, Marcell menatap adik bungsunya. “Dy, kamu jaga Mbak Ana, ya. Aku harus pergi. Ada pertemuan yang harus aku hadiri. Aku sudah sangat terlambat sekarang,” kata Marcell.
Maudy menganggukkan kepalanya. “Pergilah, Mas. Aku yang akan menjaganya. Aku ambil laptop dan buku kuliahku dulu di kamar.”
Kakak beradik itu berpisah di anak tangga teratas. Maudy melangkah ke kamarnya untuk mengambil laptop dan juga buku kuliahnya. Sementara Marcell melangkah pergi meninggalkan rumah.
Maudy mengerjakan tugasnya di kamar Mariana. Meskipun hari ini dia tidak ada kuliah, namun banyak tugas yang harus diselesaikannya di rumah. Dia bahkan meminta asisten rumah tangga untuk mengantarkan makan siangnya ke kamar Mariana.
“Eeehh.” Suara erangan dari arah ranjang membuat perhatian Maudy teralihkan dari layar laptopnya. Gadis itu bangkit dari sofa, berjalan mendekat ke arah ranjang.
“Mbak Ana sudah sadar?”
“Maudy? Aku di mana ini?” tanya Mariana dengan suara parau. Suaranya masih terdengar lemah, bibirnya pucat dan matanya bergerak gelisah, menatap ke sekelilingnya.
“Mbak ada di kamar. Mbak tadi pingsan di garasi,” jelas Maudy. Tangannya terulur menyentuh dahi Mariana. “Syukurlah, Mbak tidak demam.”
“Aku diinfus?” tanya Mariana terkejut.
“Iya, Mbak. Mbak harus istirahat selama beberapa hari. Dokter mengatakan kalau Mbak Ana kelelahan dan juga kurang nutrisi.”
“Hmm, begitu ya.”
“Apa yang Mbak rasakan sekarang? Mana yang sakit?” tanya Maudy.
“Kepalaku pusing sekali.”
Maudy menatap jam yang menempel di dinding kamar. “Sudah waktunya makan siang. Mbak makan siang dulu, ya. Setelah itu minum obat dan istirahat. Tunggu di sini sebentar, Mbak.”
Maudy melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Mariana terbaring seorang diri. Beberapa menit kemudian, Maudy kembali dengan diikuti seorang asisten rumah tangga yang membawa nampan berisi makan siang untuk Mariana.
“Ayo, Mbak. Aku bantu duduk,” kata Maudy. Gadis itu dengan telaten membantu Mariana untuk duduk bersandar di headboard ranjang. Maudy juga menumpuk bantal di belakang Mariana, untuk sandaran punggungnya.
“Terima kasih, Maudy.”
“Sama-sama, Mbak. Ayo, makan dulu. Aku suapin, ya.”
Mariana menggelengkan kepalanya. “Biar aku makan sendiri saja,” tolak Mariana.
Asisten rumah tangga yang datang bersama Maudy, meletakkan sebuah meja kecil di atas ranjang. Setelahnya, dia meletakkan nampan berisi makanan di atas meja itu.
Mariana berusaha menyendok makanan. Namun, saat akan menyuapkan makanan itu ke mulutnya, tangannya bergetar. Maudy langsung mengambil alih sendok itu dari tangan Mariana.
“Biar aku saja, Mbak. Tubuhmu masih sangat lemah.”
Mariana akhirnya menurut. Dia membiarkan Maudy menyuapinya, kemudian menyiapkan obat dan vitamin yang harus diminumnya.
“Istirahatlah, Mbak. Aku akan menemanimu sambil mengerjakan tugas di sofa. Kalau Mbak butuh sesuatu, panggil saja aku,” kata Maudy.
Mariana sudah selesai makan dan minum obat. Maudy membantunya kembali berbaring di ranjang. Dirapikannya selimut yang menutupi tubuh kakak iparnya itu.
“Terima kasih, Maudy. Maafkan mbak yang merepotkanmu.”
“Tidak apa-apa, Mbak. Istirahatlah.”
Selama dua hari penuh, Mariana beristirahat di kamarnya. Dia tidak melakukan pekerjaan apapun. Citra merasa geram karena tidak bisa menyuruh-nyuruh Mariana. Selama dua hari ini, dia tidak bisa berbuat seenaknya, karena perawat dokter Vicky secara rutin datang ke rumah untuk memeriksa kondisi Mariana.
“Apa dia masih belum sembuh?” tanya Citra pada Maudy.
“Baru saja infusnya dilepas oleh perawat, Ma. Mbak Ana sudah lebih baik sekarang,” jawab Maudy yang baru saja keluar dari kamar Mariana.
Citra tersenyum penuh kepuasan. Akhirnya, besok dia bisa kembali berlaku seenaknya pada menantunya itu.
Selama dua hari ini, Mariana memang diharuskan beristirahat untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Maudy yang setia menemaninya, karena Mario masih berada di Lombok. Saat Maudy akan kuliah, dia menyiapkan novel atau buku-buku lainnya di atas nakas.
“Nanti kalau Mbak sudah sembuh, aku akan ajak Mbak membaca buku di perpustakaan yang ada di dekat ruang kerja Mas Mario. Aku yakin, Mbak pasti betah di sana,” janji Maudy saat Mariana masih terbaring lemah di atas ranjang.
Mariana baru selesai mandi, saat Mario masuk ke dalam kamar. Pria itu baru saja pulang dari Lombok. Wajahnya terlihat letih dan pakaiannya kusut.
“Kamu sakit? Sakit apa?” tanya Mario acuh. Pria itu melepaskan kancing kemejanya, kemudian melemparkan kemejanya asal.
Mariana yang terkejut melihat kepulangan suaminya, menjawab dengan terbata-bata. “Aku… aku sudah sehat sekarang, Mas.”
Mario tersenyum penuh arti. “Bagus. Siapkan air hangat! Aku mau mandi.”
Mariana melangkah masuk kembali ke dalam kamar mandi untuk menyiapkan air mandi bagi suaminya. Mario melepaskan seluruh pakaiannya, kemudian melangkah tanpa mengenakan sehelai kain di tubuhnya.
“Waktunya melemaskan otot yang kaku,” gumam Mario saat masuk ke kamar mandi, tidak lupa dia mengunci pintu kamar mandi.
