Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 18 Suara Aneh

Bab 18 Suara Aneh

Mario sering pulang larut malam, atau bahkan tidak pulang sama sekali. Mariana sama sekali tidak mempermasalahkannya. Dia juga tidak pernah berusaha mencari tahu apa yang dilakukan oleh suaminya.

Hanya satu alasan Mariana bertahan menjadi istri Mario, keselamatan kedua orangtuanya. Perlakuan buruk dari Citra diterimanya dengan sabar. Tidak sekalipun Mariana menentangnya.

“Ana, lambat sekali gerakanmu. Mana saladku?”

“Iya, Ma. Sebentar lagi Ana bawakan.”

Mariana membawa baki berisi salad milik Citra, jus buah untuk Mazhar dan Maudy, serta secangkir kopi hitam untuk Marcell. Sudah menjadi rutinitas baginya, menyiapkan sarapan sekaligus melayani seluruh penghuni rumah itu.

“Terima kasih, Mbak,” ucap Maudy saat Mariana meletakkan jus buah miliknya. Mariana tersenyum kecil mendengar ucapan adik iparnya itu.

“Kamu harusnya bangun lebih awal, Ana. Kamu juga harus bekerja lebih cepat. Kalau kamu lamban terus seperti itu, bisa-bisa kami semua terlambat,” hardik Citra tanpa perasaan.

“Maaf, Ma. Besok Ana akan bangun lebih awal.”

Mariana bisa menghela nafas lega saat seluruh penghuni rumah itu sudah memulai aktivitas mereka. Mazhar dan Mario selalu berangkat kerja di pagi hari.

Marcell yang tidak jelas kegiatannya. Pria itu terkadang berada di rumah seharian, terkadang malah pergi hingga berhari-hari. Sementara Maudy, masih sibuk dengan kuliah dan tugas-tugasnya.

“Ana, potong rumput di halaman! Rumput sudah setinggi itu, masih saja tidak ada inisiatif untuk memotongnya. Masa seperti itu saja harus disuruh dulu?” omel Citra.

“Iya, Ma. Nanti Ana potong rumputnya.”

Citra yang sudah berdandan rapi, melenggang santai meninggalkan rumah. Kegiatannya tidak jauh-jauh dari arisan. Entah itu arisan emas Antam, berlian atau arisan mutiara. Setiap hari ada saja acaranya.

Mariana menghela nafas panjang. Perempuan itu berdiri di sudut ruang makan, memandang ke sekelilingnya. Tidak ada siapapun di sana, karena seluruh penghuni rumah sudah selesai sarapan. Sekarang tugasnya adalah membersihkan meja makan beserta sisa-sisa makanan yang ada di sana.

“Argh.”

Mariana tersentak kaget saat ada tangan yang melingkar erat di pinggangnya. Aroma parfum yang sangat dikenalnya masuk ke dalam indra penciumannya.

“Mas Mario? Mas membuatku kaget. Mas mau sarapan?” tanya Mariana lembut.

Mario baru tiba di rumah menjelang dini hari. Pagi ini, pria itu tidak ikut sarapan bersama dengan anggota keluarga yang lain. Satu bulan menjadi istri Mario, membuatnya paham bagaimana menghadapi suaminya itu.

Bibir Mario menyentuh lembut leher sang istri yang terpampang jelas di hadapannya. Mariana selalu menggelung rambutnya saat sedang bekerja. Dengan demikian, dia tidak akan terganggu dengan rambut panjangnya.

“Kamu sudah sarapan, Ana?” bisik Mario di sela sentuhan-sentuhan kecil yang diberikannya di leher putih sang istri.

“Be-belum, Mas,” jawab Mariana terbata-bata. Jantungnya berdegup semakin kencang sebagai akibat dari perlakuan mesra yang diberikan suaminya.

“Aku ingin memakanmu, Ana,” bisik Mario di telinga Mariana. Detik berikutnya, Mario menggigit kecil telinga sang istri.

“Mas, jangan di sini, Mas. Bagaimana kalau dilihat orang?”

Mariana menatap sekelilingnya dengan panik. Dia takut ada yang memergoki tindakan mereka di ruang makan. Para asisten rumah tangga yang ada di rumah ini bisa setiap saat muncul dan melintas di sana.

“Ayo ke kamar.”

Mariana meninggalkan pekerjaannya begitu saja, mengikuti langkah Mario menuju ke kamar mereka. Mario langsung mengunci pintu kamarnya. Dia tidak suka ada gangguan saat sedang menikmati tubuh istrinya.

“Maas… aku… aku belum mandi, Mas,” ucap Mariana terbata-bata.

Mario langsung menghimpit tubuhnya di dinding kamar. Pria itu seperti serigala kelaparan yang bertemu dengan mangsa empuk.

“Lalu?” tanya Mario tanpa menurunkan intensitas serangannya. Tangannya terus bergerak melucuti gaun yang dikenakan Mariana, sementara bibirnya menelusuri tubuh sang istri yang kini tidak tertutup penghalang apapun.

“Badanku bau, Mas. Aku… aku baru selesai memasak,” desis Mariana dengan nafas terengah-engah. Hasratnya semakin meningkat seiring dengan terlepasnya seluruh penutup tubuhnya.

“Aku juga belum mandi, sayang. Nanti kita bisa mandi bersama.”

Hembusan dari penyejuk udara tidak mampu mendinginkan panasnya pergulatan sepasang suami istri yang sama-sama terbakar gairah. Mario meninggalkan banyak jejak kemerahan di tubuh sang istri.

Mariana yang dulunya pasif dan hanya menerima segala perlakuan yang diberikan Mario, kini menjadi lebih agresif. Berkat sang suami, dia belajar banyak. Dia semakin mahir dan berpengalaman dalam memuaskan suaminya.

“Kamu semakin pintar, sayang. Aku semakin menyukaimu. Hmmm,” desis Mario sambil memejamkan matanya. Kali ini, Marianalah yang memegang kendali. Dia bergerak semakin liar di atas tubuh suaminya.

Di saat-saat terakhir, Mario mengambil alih kendali, menghujamkan tubuhnya semakin dalam pada tubuh sang istri. Hingga pada akhirnya…

“Argh.”

Sepasang suami istri itu kini bermandikan peluh. Nafas mereka terengah-engah, namun senyum kepuasan terukir di bibir keduanya. Mario menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang.

“Cepat mandi sana! Tubuhmu bau!”

Tanpa membuka matanya, Mario mengusir istrinya. Mariana segera bangkit dari ranjang. Dia sudah sangat hafal dengan kelakuan suaminya. Selalu seperti itu. Lembut dan menggoda saat menginginkan tubuhnya, namun kembali bersikap kasar saat hasratnya sudah terpuaskan.

Mariana mendapati suaminya kembali tertidur pulas di atas ranjang. Perempuan itu berjalan acuh menuju ke lemari pakaiannya. Satu pekerjaan sudah selesai, masih ada banyak pekerjaan lain yang harus dikerjakannya.

Menjelang makan siang, barulah Mario keluar dari kamar dengan membawa sebuah koper kecil. Tanpa merasa perlu berpamitan dengan istrinya, pria itu melangkah pergi meninggalkan rumah.

“Baguslah. Setidaknya, selama beberapa hari ke depan, aku tidak menjadi pemuas nafsu suamiku sendiri,” gumam Mariana di sela pekerjaannya memotong rumput di halaman.

Langit sudah mulai gelap, saat akhirnya Mariana menyelesaikan pekerjaannya. Membersihkan halaman yang sangat luas seorang diri sungguh menguras tenaganya.

Usai membersihkan diri, Mariana merebahkan tubuhnya di atas ranjang. “Sungguh melelahkan tinggal di rumah ini. Aku rindu Bapak dan Ibu. Bagaimana kabar mereka sekarang, ya?” keluh Mariana.

Pikirannya menerawang, memikirkan orangtuanya. Hingga tanpa disadarinya, matanya mulai terpejam. Niat awalnya hanya merebahkan tubuh sebentar sebelum makan malam. Nyatanya, Mariana justru tertidur lelap.

“Ehhmm, jam berapa ini?” gumam Mariana saat akhirnya terbangun. Perutnya yang memberontak karena belum diisi makanan, membuatnya terbangun.

“Ya ampun! Sudah jam dua pagi. Pantas saja perutku lapar sekali. Aku melewatkan makan malam,” gumam Mariana.

Mariana merapikan rambutnya yang kusut. Dia berniat mencari makanan di dapur untuk mengisi perutnya. Dengan langkah perlahan, berusaha untuk tidak membuat suara sedikit pun, Mariana menuruni anak tangga menuju ke dapur.

“Ah, untung saja masih ada roti. Aku makan ini saja.” Mariana sudah sangat hafal dengan posisi barang yang ada di dapur. Sehingga, dengan mengandalkan lampu malam yang terpasang di sana, dia dapat dengan mudah menemukan apa yang dicarinya.

Dua lapis roti isi selai sudah berpindah dengan cepat ke dalam perut Mariana. Perempuan itu tengah berjalan kembali ke kamarnya, saat telinganya menangkap suara-suara aneh.

Rasa ingin tahu membawa Mariana mencari sumber suara aneh yang tertangkap telinganya. Keningnya berkerut saat menyadari kalau suara aneh itu berasal dari kamar Citra.

Mariana menajamkan pendengarannya. Kakinya melangkah mendekati pintu kamar yang tidak tertutup sempurna. Matanya terbelalak kaget saat mengintip ke dalam kamar itu. Refleks, tangannya terangkat untuk menutup mulutnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel