Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 17 Malaikat di Neraka

Bab 17 Malaikat di Neraka

Mariana tergolek tidak berdaya di atas ranjang. Pakaiannya sudah tidak layak lagi dipandang, tercabik-cabik dan tersebar di seluruh penjuru kamar. Pipinya mulai membiru, bekas tamparan dari suaminya. Sekujur tubuhnya dipenuhi jejak kemerahan yang tentu saja ditinggalkan oleh Mario.

Mariana memejamkan matanya, menahan rasa sakit yang mendera inti tubuh bagian bawahnya. Nyeri, panas dan perih semuanya campur aduk menjadi satu. Tidak hanya tubuhnya, hatinya pun terasa amat sakit.

Sebenarnya, aku ini apa? Benarkah aku ini seorang istri? Ataukah, hanya pemuas nafsu semata? Apa sebenarnya yang dia inginkan dari diriku? Mengapa dia selalu mengancam dan memperlakukanku dengan kasar? Aku sungguh tidak mengerti, keluh Mariana dalam hatinya.

Mario keluar dari kamar mandi dengan wajah sumringah. Hatinya benar-benar puas setelah melampiaskan amarahnya pada Mariana. Tanpa mempedulikan kondisi sang istri, Mario melangkah menuju ke lemari untuk mengambil pakaian ganti.

“Bersihkan tubuhmu dan buang semua sampah yang mengotori kamar. Saat aku kembali nanti, aku ingin semuanya sudah bersih!”

Usai memberi perintah, Mario menyambar ponsel dan kunci mobilnya yang ada di atas nakas. Pria itu melangkahkan kakinya keluar dari kamar.

Dengan langkah ringan, Mario menuruni anak tangga. Citra mengerutkan kening heran, melihat putranya bersiap akan pergi.

“Kamu mau pergi, Rio?”

“Iya, Ma. Aku mau balik ke hotel. Bella masih ada di sana. Aku mau temani dia malam ini,” jawab Mario ringan.

“Lalu bagaimana dengan istrimu?”

Mario tersenyum penuh arti. “Mama tenang saja, aku baru saja menanamkan benih di tubuh istriku. Sekarang dia sedang tergeletak tidak berdaya di kamar. Biarkan dia istirahat dulu, Ma. Besok aku akan kembali menanam benihku.”

“Bagus, kamu memang bisa diandalkan,” jawab Citra bangga.

“Ok, Ma. Aku pergi dulu,” pamit Mario.

“Hati-hati di jalan, sayang. Mama titip salam untuk Bella, ya.”

Sepeninggal suaminya, Mariana berusaha bangkit dari ranjang. Dengan langkah tertatih-tatih, perempuan itu berjalan menuju ke kamar mandi. Ingin rasanya menggosok seluruh tubuhnya yang telah disentuh oleh suaminya. Mariana merasa seperti perempuan murahan. Ditinggalkan setelah puas dinikmati.

“Apa dosa yang sudah aku perbuat? Mengapa aku harus menanggung semua penderitaan ini? Aku tidak pernah ingin tinggal di rumah mewah. Aku juga tidak ingin menikah dengan orang kaya. Tapi, mengapa aku justru terjebak pernikahan dengan pria kejam seperti Mas Mario?” gumam Mariana sedih.

Tiga puluh menit dihabiskan Mariana untuk berpikir sambil berendam di kamar mandi. Usai membersihkan badannya dari sisa busa, Mariana melangkah keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang lebih baik.

“Ah, pakaian ini harus dibuang, padahal aku baru memakainya sekali,” gumam Mariana kesal. Perlahan-lahan dipungutnya satu per satu robekan gaun dan pakaian dalamnya yang bertebaran di seluruh penjuru kamar.

“Dasar orang kaya sombong! Mentang-mentang punya uang banyak untuk membeli pakaian, seenaknya saja merobek-robek pakaian,” gerutu Mariana.

Usai membersihkan sisa perbuatan suaminya, Mariana kembali membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Energinya terkuras habis, matanya pun terasa sangat berat. Dinginnya penyejuk udara membuat Mariana menarik selimut tebal hingga sebatas leher.

Menjelang tengah malam, Mariana terbangun dengan perut keroncongan. Baru disadarinya kalau makanan terakhir yang masuk ke perutnya adalah saat makan siang bersama dengan orangtuanya.

“Sebaiknya aku ke dapur, barangkali ada makanan atau buah yang bisa dimakan,” gumam Mariana pada dirinya sendiri.

Matanya menatap ke sisi ranjang yang kosong. “Ke mana Mas Mario? Mengapa sampai tengah malam dia tidak kembali?”

Mariana menggelengkan kepalanya. “Ah, masa bodoh. Justru bagus kalau dia tidak tidur di sini. Aku jadi aman dari serangannya.”

Mariana melangkahkan kakinya perlahan, berusaha untuk tidak membuat suara. Lorong di depan kamarnya sudah gelap. Hanya ada beberapa lampu kecil yang dinyalakan untuk sekedar menerangi jalan.

“Siapa itu?”

Sebuah suara mengagetkan Mariana. Apel yang dipegangnya terjatuh dari genggamannya. Perlahan, Mariana membalikkan badannya, menatap ke arah datangnya suara.

“Ma-Maudy, aku…”

“Mbak Ana, mengagetkan saja. Aku pikir tadi ada pencuri. Mengapa lampunya tidak dinyalakan?” tanya Maudy heran. Gadis itu menyalakan lampu dapur, kemudian mengambil apel yang menggelinding jatuh.

“A-aku...”

“Mbak lapar?”

Mariana menganggukkan kepalanya. Dia takut Maudy akan memarahinya karena mengambil makanan di kulkas tanpa ijin.

“Maaf, aku sangat lapar. Bolehkah aku minta apel atau apapun untuk mengisi perut?” tanya Mariana lirih.

Maudy tersenyum menatap kakak iparnya. “Bagaimana kalau kita membuat mie instan dan telur saja? Sepertinya itu lebih mengenyangkan daripada makan apel,” tawar Maudy.

“Boleh?” tanya Mariana ragu-ragu.

“Tentu saja. Mbak Ana bisa memasak? Tolong masakkan sekalian untukku, aku juga lapar,” bisik Maudy.

Mariana tersenyum kecil. “Baiklah, di mana mie instannya?”

Maudy mengambilkan mie instan dari dalam lemari penyimpanan. Tidak lupa, dia juga mengambil aneka bakso, sosis dan juga telur dari dalam kulkas.

“Mbak mau coklat panas? Atau teh mungkin?” tawar Maudy.

“Coklat panas, boleh.”

Maudy dan Mariana bekerja bersama di dalam dapur. Maudy menyeduh coklat panas untuk mereka berdua sementara Mariana membuat mie instan untuk mereka berdua.

“Sudah matang semua. Ayo kita makan,” kata Mariana sambil tersenyum bahagia. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya, karena ternyata Maudy tidak seperti Citra. Setidaknya, adik iparnya ini tidak memusuhi atau memperlakukannya dengan buruk.

“Kamu baru pulang, Maudy?” tanya Mariana. Pakaian yang dikenakan Maudy masih sama dengan yang dikenakannya sore tadi, saat bertemu dengan Mariana.

“Iya, Mbak. Aku habis jalan sama teman-teman. Oh, ya, aku ada sesuatu untuk Mbak Ana.” Maudy mengambil tas yang diletakkannya di meja makan. Dikeluarkannya sebuah paperbag bergambar ponsel dari sana.

“Ini buat Mbak Ana,” kata Maudy serasa memberikan paperbag itu pada kakak iparnya.

Mariana menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu, Maudy. Aku tidak membutuhkannya,” tolak Mariana.

“Mas Mario yang menyuruhku membeli smarthphone ini untuk Mbak Ana. Pakailah, Mbak. Mbak bisa menggunakannya untuk menelepon orangtua Mbak Ana.”

Mariana menatap Maudy ragu-ragu. “Benarkah Mas Mario yang menyuruhmu membeli ini untukku?”

Maudy menganggukkan kepalanya. Melihat anggukan dari Maudy, Mariana akhirnya menerima paperbag itu. “Terima kasih, Maudy.”

“Sama-sama, Mbak. Ayo, cepat habiskan mie instannya. Nanti kalau dingin, mienya tidak enak, lho.”

Mariana menghabiskan makanan yang ada di hadapannya. Dia sungguh tidak menduga masih ada orang baik yang tinggal di rumah ini.

Setelah menghabiskan makanannya, Maudy mengajarkan cara menggunakan smathphone pada Mariana. Smartphone yang dibelikan Maudy lebih canggih daripada milik Mutiara yang sering dipinjamnya dulu.

“Sudah larut malam, bagaimana kalau kita tidur, Mbak? Perutku kenyang, sekarang aku sangat mengantuk,” ucap Maudy. Gadis itu sudah beberapa kali menguap saat mengajari Mariana tadi.

“Iya, Maudy. Terima kasih banyak atas bantuanmu.”

Maudy mematikan lampu dapur, mengajak Mariana kembali ke lantai dua, tempat kamar mereka berada.

“Selamat tidur, Maudy.”

“Selamat tidur juga, Mbak.”

Mereka berdua berpisah jalan. Maudy berjalan ke sisi kiri, sedangkan Mariana berjalan ke sisi kanan. Senyuman terukir di wajah Mariana. Hatinya menghangat karena perlakuan Maudy yang hangat dan bersahabat padanya.

Ternyata, masih ada yang mau bersikap baik padaku. Maudy seperti malaikat di dalam rumah yang seperti neraka ini. Rupanya, Tuhan masih berbaik hati padaku, ucap Mariana dalam hatinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel