Bab 14 Tugas Istri
Bab 14 Tugas Istri
“Selamat siang Pak Joko.”
Wajah Joko pucat pasi melihat kedatangan orang yang tidak diduganya. Dia tahu, waktunya bersama putri kesayangannya sudah berakhir. Mereka akan segera berpisah.
Sepertinya aku harus mencari waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya pada Ana. Setidaknya, sekarang dia sudah memiliki obat itu. Semoga dia tidak ketahuan, batin Joko.
“Si-siang, Pak Jimmy.” Joko menjawab sapaan dari tangan kanan menantunya dengan gugup.
“Selamat siang, Pak Joko. Saya diminta Pak Mario untuk menjemput Pak Joko beserta keluarga untuk menikmati santap siang bersama.”
“Ba-baik, Pak. Mari silakan masuk dulu. Saya akan memanggil Susi dan Ana terlebih dahulu.” Joko membuka pintu kamar semakin lebar untuk memberikan ruang bagi Jimmy masuk.
“Tidak perlu. Saya akan menunggu di sini.”
Jimmy membalikkan badannya, membelakangi Joko. Dengan langkah tergesa, Joko masuk ke dalam kamar menemui istri dan anaknya.
“Pak Jimmy datang untuk menjemput kita. Sudah waktunya makan siang, ayo kita turun,” ajak Joko.
Susi menggenggam tangan Mariana. Dengan suara berbisik, dia berkata, “Ana, jangan lupa pesan ibu tadi! Kamu harus selalu meminumnya, jangan sampai lupa!”
Mariana menganggukkan kepalanya. Dia langsung menyimpan botol berisi obat yang ada dalam genggamannya. Beberapa kali menghela nafas panjang, nyatanya bisa membuat debaran jantungnya kembali normal.
Ketiganya melangkah keluar, menemui Jimmy yang berdiri tegak di depan pintu. Melihat kedatangan Mariana dan kedua orangtuanya, Jimmy mengayunkan langkahnya menuju ke lift. Orang kepercayaan Mario itu memimpin rombongan menuju ke restoran yang ada di lantai satu.
“Silakan duduk di sini. Pelayan akan datang untuk mengantarkan daftar menu,” kata Jimmy menunjukkan sebuah meja untuk Mariana dan orangtuanya.
Setelah menyelesaikan tugasnya, Jimmy melangkah pergi tanpa pamit. Kepergiannya berganti dengan kedatangan pelayan yang membawa buku menu.
Tepukan ringan di bahunya membuat Mariana terkejut. “Halo, Sayang.”
Entah dari mana datangnya, Mario kini sudah berada di belakang Mariana. Bulu kuduk Mariana meremang saat mendengar suara suaminya berbisik di telinganya. “Mas Mario.”
“Selamat siang, Pak Joko, Bu Susi. Ijinkan saya meminjam Mariana sebentar. Saya ingin memperkenalkannya pada klien bisnis saya,” kata Mario sambil meremas lembut bahu sang istri.
“Tentu, Pak. Silakan.”
Seulas senyuman terukir di bibir Mario. Mariana bangkit dari kursinya, mengikuti sang suami dengan patuh. Tangan Mario yang semula ada di bahu Mariana, kini sudah berpindah ke pinggangnya.
Bibirnya masih menampilkan senyum menawan. Pria itu mendekatkan bibirnya ke telinga sang istri. “Senyum, Sayang! Lakukan tugasmu dengan baik!”
Orang yang melihat pasti mengira Mario tengah membisikkan kata-kata mesra di telinga istrinya. Nyatanya, hanya kalimat ancaman dan penghinaan yang keluar dari mulutnya.
Mariana berusaha menguatkan hatinya. Dia harus bisa menjadi sosok pengantin yang berbahagia. Hidup kedua orangtuanya berada di tangannya.
“Selamat atas penikahan anda, Pak Mario.” Seorang pria paruh baya menghentikan langkah Mario, mengulurkan tangan padanya.
Mario menyambut hangat uluran tangan pria itu. “Terima kasih Pak Luqman. Kenalkan, ini Mariana, istri saya.”
Luqman mengalihkan pandangannya pada sosok yang ada di sisi Mario. “Saya tidak menyangka, anda pintar memilih istri. Istri anda cantik sekali, Pak Mario,” puji Luqman. Pria itu melepaskan tangannya dari genggaman Mario dan mengalihkannya pada Mariana.
Mariana tersenyum kecil, menyambut uluran tangan Luqman. “Senang bisa berkenalan dengan anda. Saya Mariana, Pak.”
Basa-basi singkat mewarnai obrolan Mario dan Luqman. Mariana hanya mendengarkan tanpa minat, sesekali tersenyum dan menyahut jika namanya disebut.
“Baiklah, saya permisi dulu. Saya ingin menyapa tamu lainnya,” pamit Mario.
“Silakan, Pak Mario.”
Entah sudah berapa banyak orang yang diperkenalkan padanya, Mariana sama sekali tidak mengingat wajah dan nama mereka. Semuanya tampak sama di matanya, palsu dan munafik.
“Kerja bagus. Itu baru istriku. Sekarang kamu bisa kembali ke mejamu. Orangtuamu pasti sudah menunggumu. Aku harus menemui tamu yang lain,” kata Mario pada akhirnya.
“Baiklah.”
Mariana langsung memutar tubuhnya, berjalan menuju ke meja tempat orangtuanya berada. Tidak ada lagi topeng dengan senyum kepalsuan yang dipasangnya saat bersama dengan Mario.
“Ibu sama bapak sudah selesai makan?” tanya Mariana heran. Dia tidak melihat makanan di meja itu. Hanya ada secangkir kopi di hadapan Joko dan segelas jus di hadapan Susi.
“Ibu sama bapak sudah makan, Ana. Kamu sudah makan?” tanya Susi.
Mariana menggelengkan kepalanya. Susi langsung memanggil pelayan, memintanya untuk datang.
“Mbak, pesanan saya yang tadi tolong dikeluarkan, ya,” pinta Susi.
Pelayan itu menganggukkan kepalanya, seulas senyum formal terukir di wajahnya. “Baik, Bu. Segera saya keluarkan.”
Hanya berselang beberapa menit saja, pelayan itu datang dengan membawa nampan berisi semangkuk sup tom yum dan segelas jus jeruk.
“Silakan Ibu. Selamat menikmati.”
Mariana menatap makanan di hadapannya dengan wajah berbinar. Perutnya benar-benar lapar, baru disadarinya kalau berakting menjadi istri yang bahagia itu sungguh menguras tenaga.
“Makanlah, Nak. Kamu butuh banyak energi untuk bertahan hidup. Maafkan bapak yang sudah membuatmu terjerumus ke dalam pernikahan ini,” kata Joko dengan suara berbisik. Matanya melirik ke sekelilingnya, berharap tidak ada yang mendengar ucapannya.
Mariana mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Tidak ada Jimmy, Mario ataupun anggota keluarga mereka yang lain. Namun, dia harus tetap waspada, Mario mampunyai telinga di mana-mana.
“Pak, jangan mengatakan hal itu di sini. Kita harus menjaga kata-kata, supaya bisa bertahan hidup,” bisik Mariana memperingatkan Joko.
Joko menganggukkan kepalanya. Dia juga sadar, Mario adalah pria yang sangat berbahaya. Kesadaran itulah yang membuatnya semakin bersalah pada putri kesayangannya. Cukup sekali dia berbuat kesalahan dan membuat putrinya terjebak dalam pernikahan bersama dengan Mario. Jangan sampai ada kesalahan kedua yang bisa membuat hidup Mariana semakin sengsara.
Mario membuka pintu kamarnya perlahan. Pria itu berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Ada seorang perempuan yang tengah meringkuk di atas ranjangnya. Seulas senyum terukir di wajahnya, melihat perempuan itu masih tertidur pulas.
Setelah berpisah dengan istrinya, Mario langsung meninggalkan restoran untuk kembali ke kamarnya. Dia sudah berpesan pada Jimmy untuk mengawasi Mariana dan kedua orangtuanya.
Mario duduk di tepi ranjang, mengusap wajah perempuan itu dengan sayang. Disingkirkannya anak rambut yang menutupi wajah cantik itu. Matanya terpaku pada satu titik. Bibir merah jambu yang terlihat menggoda untuk dikecup.
Mario menundukkan wajahnya, mengecup bibir kekasihnya. Matanya terbelalak kaget, saat sang kekasih membalas kecupannya, bahkan menarik kemejanya.
“Putri tidurku sudah bangun rupanya,” goda Mario saat tautan bibir mereka akhirnya terlepas.
“Kamu ini ingin membangunkanku atau membakar gairahku? Mengapa tanganmu tidak bisa diam?” tanya perempuan itu frustasi. Matanya kembali terpejam, menikmati sentuhan Mario di balik selimut.
“Aku masih merindukanmu, Sayang,” bisik Mario dengan suara bergetar menahan gairah. Disibakkannya selimut yang menghalangi pandangan matanya.
Seulas senyum menggoda terukir di wajah perempuan itu. “Ayo kita lakukan dengan caraku,” gumam perempuan itu. Ditepisnya tangan Mario yang tidak berhenti bergerilya di atas tubuhnya. Ditariknya pria itu hingga jatuh di atas ranjang.
Tanpa memberi kesempatan Mario untuk menyentuhnya, perempuan itu menyatukan pergelangan tangan Mario, mengikatnya dengan scarf yang tergeletak di atas nakas.
“Nikmati saja permainannya, wahai Pangeran Kodok.”
Kesejukan yang diberikan oleh pendingin ruangan nyatanya tidak mampu menurunkan api gairah yang membakar sepasang kekasih itu. Saling memberi, saling menikmati, hingga mencapai puncak kenikmatan tertinggi. Satu hal yang baru mereka sadari, hubungan terlarang terasa jauh lebih mendebarkan dan menggairahkan.
