Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 15 Pulang

Bab 15 Pulang

Tubuh yang lelah dan lengket setelah olahraga siang itu kini sudah bersih dan segar. Bella sudah duduk manis di sofa sambil menikmati makan siang yang dipesankan oleh sang kekasih. Dalam waktu singkat, makanan yang tersaji di atas meja sudah berpindah ke dalam perutnya.

Bella tersenyum kecil mengingat kemesraan yang diberikan kekasihnya dalam beberapa jam terakhir ini. Tidak pernah sebelumnya, kekasihnya itu bersikap begitu mesra dan hangat. Nampaknya benar kata pepatah, seseorang akan menghargai miliknya saat hampir kehilangan.

Bella hampir saja mencampakkan pria itu, sama seperti pria itu yang tega menikahi perempuan lain. Namun, untuk kali ini Bella mengurungkan niatnya. Otaknya menuntut untuk menjalankan rencana itu, namun hatinya tidak dapat diajak bekerja sama. Sentuhan, kemesraan dan janji manis yang diucapkan sang kekasih mampu membuatnya luluh.

Seorang pria berjalan menghampiri Bella dengan penampilan rapi. Bertolak belakang dengan Bella yang masih mengenakan bathrobe.

“Bella sayang, aku harus pergi sekarang. Kamu istirahat saja di sini.”

Bella menghela nafas panjang, menatap kekasihnya dengan tatapan sedih. Perempuan itu menyandarkan punggungnya di sofa, melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah cemberut. “Jadi, waktuku bersamamu sudah habis? Kamu akan kembali bersama dengan istrimu?”

Pria itu mengambil tempat di sisi Bella. Tangannya terulur, meraih sang kekasih ke dalam pelukan hangatnya. “Waktumu tidak terbatas bersamaku, Sayang. Justru waktu istriku yang terbatas. Aku hanya akan bersamanya sampai dia melahirkan anak untukku.”

“Rio, sadarkah kamu, kalau saat ini aku seperti perempuan simpanan,” ucap Bella lirih. Tangannya mencengkeram baju Mario, menahan sakit di hatinya saat mengatakan kalimat itu.

Mario mendekap kekasihnya semakin erat. “Kamu bukan perempuan simpanan, Sayang. Kamu adalah Bella, satu-satunya perempuan yang aku cintai. Satu-satunya perempuan yang ada di hatiku, yang akan menjadi pendampingku selama sisa hidupku.”

“Benarkah itu, Rio?” Perempuan itu mendongakkan kepalanya, menatap Mario. “Kamu tidak akan jatuh cinta padanya?”

“Tentu saja, Bella. Hatiku sudah penuh dengan dirimu, tidak ada lagi tempat untuk perempuan itu masuk ke dalam hatiku. Pernikahan ini hanya untuk sementara. Aku hanya memenuhi permintaan Almarhum papa,” janji Mario dengan penuh keyakinan.

Bella memeluk Mario semakin erat. Hatinya masih tidak rela melepaskan kekasihnya pergi ke pelukan perempuan lain. “Berjanjilah padaku, hanya aku satu-satunya yang ada di hatimu,” gumam Bella.

Mario mencium puncak kepala Bella. “Sejak dulu, sekarang hingga selamanya, hanya kamu, Bella yang ada di hatiku. Aku janji, setelah Ana melahirkan seorang anak untukku, aku akan menceraikannya. Hanya sebatas itu, waktunya menjadi istriku.”

“Aku pegang janjimu, Rio.”

“Tentu, Sayang. Istirahatlah di kamar ini. Kamu pasti lelah setelah kegiatan kita sejak pagi tadi.”

Bella menggelengkan kepalanya. “Lebih baik aku pulang saja, Rio. Kamu akan pulang ke rumah bersama istrimu. Untuk apa aku di sini seorang diri?”

“Bagaimana kalau nanti malam aku ke sini lagi?” tanya Mario menggoda kekasihnya.

Wajah Bella seketika berbinar mendengar ucapan kekasihnya. “Benarkah? Kamu akan ke sini lagi, Rio? Kamu tidak bohong?” tanya Bella memastikan.

“Apakah aku pernah berbohong padamu, Sayang?”

Janji-janji manis begitu mudahnya terucap untuk Bella, si kekasih. Sama halnya dengan hinaan dan kalimat ancaman yang meluncur bebas untuk Mariana, sang istri sah. Dunia ternyata berputar ke arah berlawanan, posisi istri sah kalah dibandingkan kekasih gelap.

“Pak, Bu, Ana pergi dulu. Jaga kesehatan, ya,” pamit Mariana. Kesedihan kembali menguasai hatinya, mengingat sebentar lagi akan sulit baginya bertemu dengan kedua orangtuanya.

Susi memeluk putrinya erat. “Jaga dirimu, Ana. Jadilah istri yang baik untuk Pak Mario.”

Perpisahan yang menguras air mata itu berakhir saat Mario melingkarkan tangannya di bahu Mariana dan membawanya masuk ke dalam mobil. Mariana menoleh ke belakang, menatap sosok ibu dan bapaknya yang melambaikan tangan padanya.

“Hapus air matamu! Aku benci melihat perempuan menangis!”

Ucapan sang suami membuat Mariana tersentak kaget. Dengan punggung tangannya, disekanya air mata yang mengalir membasahi pipinya. Mariana memperbaiki posisi duduknya. Dia tidak ingin membuat kesalahan yang bisa membuat kedua orangtuanya celaka.

Mobil yang dikendarai Bram, supir pribadi Mario memasuki halaman sebuah rumah mewah. Mariana terpana melihat betapa megah dan mewahnya rumah yang ada di hadapannya.

Besar sekali rumah ini. Halamannya juga indah, batin Mariana.

“Ayo turun!”

Perintah yang keluar dari bibir Mario membuat Mariana menapakkan kakinya kembali ke dunia nyata. Mariana buru-buru membuka pintu mobil dan menyusul langkah kaki Mario yang sudah meninggalkannya masuk ke dalam rumah.

“Kamu sudah pulang, Rio,” sambut Citra. Perempuan itu nampak cantik dalam gaun rumah yang terlihat mewah dan mahal di mata Mariana. Citra menghampiri Mario, membawa putra sulungnya masuk ke dalam pelukannya.

Mariana berdiri dalam diam di belakang suaminya. Dia masih canggung berhadapan dengan Citra. Sang Ibu mertua pun seakan-akan tidak menganggap kehadirannya.

“Iya, Ma. Mana yang lainnya?”

Belum sempat Citra menjawab pertanyaan Mario, sebuah suara sudah terdengar dari arah dalam rumah.

“Hai, Mas. Bagaimana semalam? Kamu berhasil membobol segel istrimu? Siapa yang kalah duluan?” tanya Marcell ringan. Dengan penampilan casual, Marcell melangkah mendekati kakaknya, seulas senyum mengejek terukir di wajah tampan itu.

“Jaga bicaramu, Marcell!” tegur Mario.

“Memangnya kenapa? Bukankah aku bebas mengatakan apapun dengan mulutku,” kata Marcell cuek. Pria itu berjalan mendekati Mariana, menatap kakak iparnya itu dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Halo, kakak ipar. Ternyata kamu cantik juga kalau dilihat dari dekat. Apa Mas Mario bisa memuaskanmu di atas ranjang? Berapa ronde tadi malam? Apa kamu butuh referensi gaya bercinta yang fenomenal?”

Ucapan sang adik ipar membuat Mariana menundukkan wajahnya yang memerah karena malu. Mariana tidak mampu menatap wajah Marcell yang berdiri di hadapannya.

“Marcell! Jaga bicaramu!” tegur Mario untuk kedua kalinya. Nada suaranya sedikit meninggi daripada sebelumnya.

“Hahahahaha. Santai, Mas. Aku hanya bercanda, lihatlah wajah istrimu yang memerah. Apa kau tidak tergoda untuk menerkamnya lagi?” ejek Marcell sambil berjalan menuju ke pintu depan.

“Marcell, kamu mau ke mana?” tanya Mario saat melihat adiknya berjalan ke pintu depan.

“Bersenang-senang. Aku malas melihat pengantin baru yang sedang kasmaran.”

Mario hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah adiknya. Dalam pandangannya, Marcell terlalu santai menjalani hidup dan hanya tahu bersenang-senang saja.

“Sudahlah, Rio. Biarkan saja anak itu, apapun yang kamu ucapkan hanya dianggap angin lalu olehnya.” Citra menggiring putranya masuk ke ruang keluarga, meninggalkan Mariana seorang diri di ruang tamu.

Mariana mengayunkan langkahnya mengikuti suami dan ibu mertuanya. Namun, saat dia hendak duduk, suara sang ibu mertua membuatnya terlonjak kaget.

“Siapa yang menyuruhmu duduk? Pergi ke dapur dan buatkan minuman untuk kami!”

“I-iya, Ma.”

Dengan menekan perasaannya, Mariana melangkah menuju ke belakang, arah yang diyakininya menuju ke dapur.

“Anda siapa dan mau ke mana? Mengapa masuk ke rumah orang seenaknya?” tanya seorang perempuan yang memakai seragam pelayan.

“Aku istrinya Mas Mario. Tolong tunjukkan di mana dapurnya,” pinta Mariana.

“Anda jangan mengaku-ngaku. Saya sudah bekerja di sini selama tiga tahun. Saya tahu siapa kekasihnya Pak Mario. Tidak mungkin Pak Mario meninggalkan kekasihnya untuk menikah dengan anda,” ejek pelayan itu.

Mariana merasa hatinya semakin sakit. Suaminya terus menerus menghina dan merendahkan dirinya. Ibu mertuanya pun tidak jauh berbeda. Sekarang, pelayan di rumah itu pun memperlakukannya dengan buruk.

“Aku memang istrinya Mas Mario. Kalau kamu tidak percaya, tanya saja sendiri padanya,” tantang Mariana.

“Ayo.” Pelayan itu menarik tangan Mariana, membawanya menuju ke ruang keluarga.

“Selamat sore, Bu Citra dan Pak Mario. Mohon maaf, saya menganggu. Perempuan ini masuk sembarangan ke belakang dan mengaku sebagai istrinya Pak Mario. Apakah benar seperti itu?” tanya pelayan itu dengan suara lembut dan sopan, sangat bertolak belakang dengan saat berbicara dengannya.

Citra melirik Mariana dengan pandangan menghina. “Memang benar, dia adalah istri Mario. Tapi, itu hanya berlaku saat berada di tempat umum.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel