Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 13 Jangan Sampai Suamimu Tahu!

Bab 13 Jangan Sampai Suamimu Tahu!

“Kamu sudah sarapan, Ana?” tanya Susi saat putri kesayangannya datang ke kamarnya.

“Belum, Bu. Ibu sama bapak sudah sarapan?”

“Kami sudah sarapan, Nak. Ayo, ibu temani kamu sarapan di restoran.”

Mariana menggelengkan kepalanya. “Bagaimana kalau kita pesan makanan saja? Ana ingin makan di kamar saja dengan ibu.”

“Baiklah. Ibu pesankan makanan dulu untukmu.”

Mariana memandang punggung sang ibu yang tengah memesankan makanan untuk dirinya. Air matanya menetes saat membayangkan beberapa jam lagi dia akan berpisah dengan wanita yang sangat menyayanginya itu.

“Mengapa menangis, Ana? Apa suamimu menyakitimu? Apa Pak Mario berlaku kasar padamu?” tanya Susi khawatir.

Susi bisa merasakan ada yang tidak beres dengan putrinya. Mariana menjadi jauh lebih pendiam daripada biasanya. Tidak ada rona bahagia di wajah cantiknya, layaknya pengantin baru pada umumnya.

“Tidak, Bu. Ana hanya sedih karena sebentar lagi akan berpisah dengan ibu.” Dengan menggunakan punggung tangannya, Mariana mengusap air mata yang membasahi pipinya.

Susi meraih putrinya ke dalam pelukannya. “Meskipun sudah menikah, kamu tetaplah putri kesayangan ibu. Kalau suamimu berlaku kasar atau menyakitimu, pulanglah ke rumah, Nak. Pintu rumah akan selalu terbuka untukmu.”

Mariana memeluk ibunya erat, menumpahkan kesedihannya dalam pelukan hangat ibunya.

Ana akan berusaha sekuat tenaga untuk menahan penderitaan ini. Ana akan jauh lebih menderita kalau Mas Mario sampai mencelakai Ibu dan Bapak. Hanya kalian berdua yang Ana punya di dunia ini. Doakan Ana supaya bisa bertahan, Bu, kata Ana dalam hatinya.

“Ana sayang sama ibu,” ucap Mariana lirih di antara tangisnya.

Denting bel membuat Mariana akhirnya melepaskan pelukannya. “Sepertinya itu makanan yang ibu pesan. Biar Ana yang membuka pintu.”

Mariana sudah bersiap bangkit dari duduknya, saat Susi menahan tangannya. “Kamu duduk di sini saja. Ibu yang akan membukakan pintu.”

Susi bangkit dari duduknya, melangkah menuju ke pintu untuk melihat siapa yang datang. Beberapa menit kemudian, seorang petugas hotel masuk sambil membawakan makanan yang dipesan Susi.

“Ibu pesan makanan banyak sekali?” Mariana terkejut melihat banyaknya makanan yang dipesan oleh sang ibu. Nasi goreng seafood, gurami asam manis, ayam bakar, kepiting saos padang dan tumis cumi hitam.

“Kamu harus banyak makan, Nak. Lihatlah tubuhmu kurus sekali. Kamu pasti stress memikirkan pernikahanmu. Sekarang, makanlah sepuasnya.”

Makanan yang dipesan Susi, semuanya adalah makanan kesukaan Mariana. Karena keterbatasan materi, mereka tidak bisa menikmati makanan itu setiap saat. Susi akan memasakkan salah satu makanan kesukaan putrinya di hari-hari istimewa.

“Ana makan ya, Bu.”

Mariana bagai melihat oase di padang gurun. Selama beberapa hari ini, Mario begitu ketat menjaga menu makanannya. Alangkah bahagianya Mariana saat bisa makan normal seperti sebelumya.

“Ana sudah tidak sanggup makan lagi, Bu. Ibu pesan makanan banyak sekali. Ana sudah kekenyangan sekarang.”

Susi bahagia melihat putrinya makan dengan lahap. Di atas meja kini hanya tersisa nasi goreng seafood dan ayam bakar saja. Mariana menghabiskan kepiting, ikan, dan cumi-cumi tanpa nasi.

“Tidak apa-apa, Nak. Ibu senang melihatmu makan dengan baik. Kamu harus makan dengan teratur, jaga kesehatanmu, ya.”

Mariana tersenyum bahagia mendengar ucapan ibunya. Dengan cekatan, dia membantu ibunya membereskan piring dan mangkuk kotor. Mereka meletakkannya di sudut meja.

“Bapak ke mana, Bu?” tanya Mariana sambil memandang ke sekelling ruangan. Sedari tadi, dia belum melihat sang bapak.

“Bapak keluar sebentar. Mungkin sebentar lagi kembali.”

Baru saja Susi menutup mulutnya, bell pintu kembali berdenting. “Itu pasti bapakmu.” Susi langsung bangkit dan membukakan pintu untuk suamimya.

“Ana, kamu ada di sini.”

Joko cukup terkejut melihat putrinya ada di kamar mereka. Awalnya, pria itu mengira putri kesayangannya akan bergabung dengan keluarga besar Mario yang tengah berkumpul di restoran hotel.

“Iya, Pak. Ana baru saja selesai sarapan. Bapak dari mana?” tanya Mariana.

“Bapak pergi sebentar tadi, membeli sesuatu untukmu.”

Kening Mariana berkerut mendengar ucapan bapaknya. “Apa itu, Pak?”

Joko menatap istrinya dengan pandangan bertanya. Saat Susi menganggukkan kepalanya, Joko mengeluarkan sebuah botol kecil dari dalam sakunya.

“Ini untukmu, Ana.”

Mariana menerima botol itu dengan tatapan bingung. “Apa isinya, Pak?”

“Biar ibumu yang menjelaskannya, Ana.”

Mariana mengalihkan pandangannya pada Susi. “Ana, dengarkan ibu baik-baik. Kamu harus meminum obat itu setiap hari. Sembunyikan obat itu, jangan sampai suamimu atau keluarga suamimu mengetahui tentang obat itu.”

“Ibu tidak tahu, apakah setelah ini ibu masih bisa sering bertemu denganmu atau tidak. Tapi, ibu dan bapak sudah menyiapkan cukup banyak obat untukmu. Paling tidak, obat ini cukup hingga enam bulan mendatang,” lanjut Susi.

“Memangnya ini obat apa, Bu?” tanya Mariana bingung.

“Itu… itu adalah pil pencegah kehamilan, Ana. Ingat ya, kamu harus meminumnya setiap hari. Obat itu bisa mencegahmu hamil anak Pak Mario,” jawab Susi memperingatkan putrinya.

“Mengapa Ana tidak boleh hamil anaknya Mas Mario? Bukankah wajar kalau Ana hamil? Ana sudah menikah dengan Mas Mario.”

Mariana bingung dengan permintaan ibunya. Memangnya ada yang salah dengan hamil? Bukankah dia sudah menikah? Ada suami yang akan bertanggungjawab dan menjaganya selama hamil. Yah, meskipun Mariana tidak yakin, Mario akan bersedia menjaga dan memanjakannya selama hamil nanti.

“Ceritanya panjang, Ana. Yang pasti, kamu tidak boleh sampai hamil anak Pak Mario.”

Belum sempat Mariana mengajukan pertanyaan lagi, Joko sudah menyela pembicaraan mereka. “Apakah kalian sudah melakukan hubungan suami istri?”

Wajah Mariana memerah mendengar pertanyaan bapaknya. Perempuan itu menganggukkan kepalanya pelan, sebagai jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan bapaknya.

“Kalau begitu, kamu harus minum obat itu, Ana.”

Joko langsung bangkit dari duduknya, mengambil segelas air untuk putrinya. Sementara itu, Susi mengambil botol kecil yang ada di pangkuan putrinya dan mengeluarkan sebutir pil berukuran kecil.

“Minumlah dulu, Nak.”

Mariana menuruti perkataan kedua orangtuanya. Dia masih tidak memahami permintaan kedua orangtuanya. Namun, satu hal yang diyakini oleh Mariana. Kedua orangtuanya menyayanginya dengan tulus. Kedua orangtuanya tidak akan membuatnya celaka.

Mariana melihat jam yang menempel di dinding kamar. Masih ada waktu sebelum jam makan siang. Dia masih bisa mengorek informasi dari kedua orangtuanya.

“Pak, Bu, Ana masih punya waktu sampai makan siang. Ana juga sudah minum obat ini. Sekarang, tolong jelaskan mengapa Ana tidak boleh hamil? Apakah ibu dan bapak tidak ingin menimang cucu?”

Susi dan Joko saling berpandangan. Mereka ragu-ragu untuk menceritakan alasan yang sebenarnya pada Mariana. Namun di sisi lain, Mariana berhak mengetahui kenyataan itu.

Susi mengambil gelas yang ada di atas meja, meneguk air mineral yang ada di dalamnya dalam sekali tegukan. Setelah meletakkan gelas itu, barulah dia membuka mulutnya.

“Ana, dengarkan ibu baik-baik. Sebenarnya…”

Ting tong… Ting tong…

Suara denting bell membuat pembicaraan Mariana dan kedua orangtuanya terputus. Dengan perasaan kesal, Joko mengayunkan langkahnya menuju ke pintu.

“Selamat siang, Pak Joko.”

Wajah Joko pucat pasi melihat kedatangan orang yang tidak diduganya. Dia tahu, waktunya bersama putri kesayangannya sudah berakhir. Mereka akan segera berpisah.

Sepertinya aku harus mencari waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya pada Ana. Setidaknya, sekarang dia sudah memiliki obat itu. Semoga dia tidak ketahuan, batin Joko.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel