Bab 12 Cinta, Obsesi atau Hasrat?
Bab 12 Cinta, Obsesi atau Hasrat?
Beberapa menit yang lalu, Mariana meninggalkan kamarnya dalam keadaan yang mengerikan. Guling dan bantal yang sudah tidak berada di tempatnya, belum lagi sisa pergulatan semalam yang tersebar di seluruh penjuru kamar.
“Ini benar kamarku? Baru ditinggal mandi sebentar sudah rapi sekali,” gumam Mariana terkejut. Perempuan itu masih berdiri di depan pintu kamar mandi, mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Kamar yang semula seperti kapal pecah kini sudah berubah rapi, sama seperti saat pertama kali Mariana masuk ke kamar itu.
Gadis itu melangkah menuju ke tepi ranjang. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya di sana. Tubuhnya sudah terasa lebih baik saat ini. Nyatanya, berendam air hangat bisa meringankan pegal dan nyeri yang dirasakannya. Meskipun bagian bawah tubuhnya masih terasa nyeri, saat ini Mariana sudah bisa berjalan tegak.
“Gaun yang cantik,” gumam Mariana. Tangannya menyentuh gaun yang ada di atas ranjangnya. Seulas senyum terukir di wajah cantiknya. Tangannya menarik tali bathrobe, membiarkan penutup tubuhnya itu meluncur bebas hingga teronggok di kakinya.
Mariana sudah tidak sabar mencoba gaun yang indah itu. Tangannya meraih pakaian dalam yang ada di sisi gaun. Gerakannya terhenti saat ada sesuatu yang mengagetkannya.
“Argh.”
“Kenapa berteriak, sayang? Ini aku, suamimu. Aku hanya ingin membantumu berpakaian,” bisik Mario mesra. Kedua tangannya sudah melingkar dengan posesif di pinggang ramping Mariana.
Nafas Mariana memburu. Hembusan nafas Mario di leher dan telinganya membuat tubuhnya meremang. Darahnya berdesir, menyalakan alarm tanda bahaya di otaknya.
“Aku… aku bisa berpakaian sendiri, Mas,” jawab Mariana dengan suara bergetar.
Nafasnya tertahan saat bibir Mario mendarat mulus di bahunya. Pria itu mendaratkan kecupan-kecupan kecil di bahu dan juga leher jenjang Mariana. Perempuan itu tidak mampu menolak godaan yang diberikan suaminya.
Tanpa dapat ditahan, desahan kenikmatan meluncur bebas dari bibir merah jambu itu. Mario tersenyum puas. Detik berikutnya, tubuh sang istri kembali terbaring tidak berdaya di atas ranjang. Mario masih asyik menelusuri tubuh sang istri dengan bibirnya.
“Kamu memang perempuan nakal,” desis Mario di sela-sela ciumannya.
“Hmmm.” Mariana tidak mampu berkata-kata. Sentuhan bibir Mario di sekujur tubuhnya membuat otaknya tidak bisa diajak bekerja sama.
“Bisa-bisanya kamu telanjang tanpa menutup pintu kamar. Sekarang, rasakan hukuman dariku.”
Detik berikutnya, Mario sudah menyatukan tubuh mereka. Tangan Mariana mencengkeram sprei, menahan gelombang gairah yang melanda.
Sama seperti percintaan mereka sebelumnya, Mario langsung berlalu begitu saja saat dia sudah mendapatkan kepuasannya. Pria itu membiarkan istrinya tergeletak di atas ranjang. Tidak dipedulikannya sang istri yang bersimbah peluh dan cairan sisa percintaan mereka.
Mariana bangkit dengan susah payah dari ranjang. Dengan langkah tertatih-tatih, perempuan itu melangkah kembali ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Air mata mengalir deras di pipinya.
“Dasar pria kurang ajar! Dia hanya memikirkan kepuasannya saja. Dia sama sekali tidak memperdulikan kondisiku,” gumam Mariana di sela isak tangisnya.
Mariana memandang bayangan tubuhnya dengan jijik. Tidak terhitung banyaknya jejak percintaan yang ditinggalkan Mario di tubuhnya. Sisa semalam saja masih belum hilang, sekarang pria itu sudah menambahkannya lagi. Mariana menggosok dengan kuat bercak merah yang memenuhi sekujur tubuhnya.
“Argh, mengapa bekasnya tidak mau hilang? Sungguh menyebalkan! Bekas merah ini membuatku jijik dengan tubuhku sendiri,” gerutu Mariana putus asa.
Usaha Mariana sia-sia. Sekuat apapun dia menggosoknya, jejak percintaan itu tidak juga hilang dari tubuhnya. Tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, Mariana mengunci pintu kamarnya saat berganti pakaian.
“Tidak ada kesempatan kedua! Cukup sekali aku bertindak ceroboh seperti tadi,” geram Mariana.
Mariana keluar dari kamar dengan pakaian lengkap. Dia melihat Mario tengah berbincang dengan Jimmy.
“Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan, Ana. Jimmy akan mengantarmu ke kamar kedua orangtuamu. Kamu bisa menghabiskan waktu bersama mereka. Saat jam makan siang, aku akan menjemputmu.”
Mariana menganggukkan kepalanya. Meskipun hanya beberapa jam, dia bersyukur bisa terlepas dari Mario. Dengan langkah perlahan, perempuan itu melangkah mengikuti Jimmy.
Ting tong… Ting tong…
“Halo, Sayang. Aku sudah menunggu kedatanganmu,” sapa Mario hangat. Mario merentangkan kedua tangannya, menunggu perempuan di hadapannya berlari masuk ke dalam pelukannya.
“Untuk apa menungguku? Bukannya kamu sudah punya penggantiku?” tanya perempuan itu ketus. Tatapannya tajam, tidak ada niatan sedikitpun untuk memeluk pria yang tersenyum lebar di hadapannya.
Perempuan itu mendorong bahu Mario kasar. Dia tidak ingin dituduh menggoda suami orang karena terlihat mengunjungi kamar seorang pria beristri. Mario membiarkan perempuan itu masuk ke dalam kamarnya. Tangannya bergerak cepat, mencekal pergelangan tangan perempuan itu dan mendorongnya ke dinding. Dengan menggunakan kakinya, Mario menutup pintu kamarnya.
“Aku merindukanmu, Sayang,” bisik Mario mesra.
“Sayangnya, aku tidak merindukanmu.”
Salah satu sudut bibir Mario tertarik ke atas. “Dengan kamu datang kemari, sudah bisa dipastikan kalau kamu juga merindukanku. Jangan menyembunyikan kenyataan, Sayang.”
Perempuan itu sudah membuka mulutnya, hendak membantah ucapan Mario, namun bibir Mario sudah terlebih dahulu membungkamnya. Perempuan itu berusaha memberontak, namun tangan Mario jauh lebih terampil.
Mario sudah sangat mengenal perempuan di hadapannya. Mereka berhubungan bukan hanya satu atau dua bulan saja. Tangan nakalnya menelusup ke balik blouse yang dikenakan perempuan itu, menyentuh titik sensitive yang menjadi kelemahan perempuan itu.
“Aku merindukanmu, Sayang,” gumam Mario di sela ciumannya.
Desahan demi desahan yang meluncur bebas dari bibir perempuan itu membuat Mario semakin bersemangat. Digiringnya sang kekasih menuju ke kamar tidur pribadinya, kamar yang ada di sebelah kamar Mariana. Pakaian mereka berserakan sepanjang jalan menuju ke kamar.
Laki-laki dan perempuan tanpa busana, bergelut di atas ranjang. Bertukar peluh, berbagi kehangatan, melampiaskan kerinduan yang tertahan. Mereka sadar, hubungan mereka kini terlarang. Entah itu cinta, obsesi atau sekedar hasrat yang membuat mereka terus berjalan melewati batas.
“Aku datang ke sini untuk mengucapkan selamat padamu, Rio,” kata perempuan itu lirih. Setelah mereguk kepuasan berulang kali, mereka kini berbaring di ranjang yang sama. Berbagi selimut untuk menutupi tubuh mereka yang tidak tertutup sehelai benang pun.
“Aku tidak butuh ucapan selamat darimu,” jawab Mario datar. Pria itu mengusap sayang rambut perempuan yang kini berbaring di atas lengannya.
Perempuan itu melepaskan diri dari pelukan Mario, mengubah posisi berbaringnya menjadi posisi duduk. Tangannya mencengkeram selimut untuk menutupi tubuhnya.
“Kamu sudah menikah, Rio. Sebaiknya kita akhiri saja hubungan ini. Aku tidak mau menjadi perusak rumah tangga orang.”
Cairan bening perlahan mengalir di wajah perempuan itu. “Aku harus mulai merelakanmu. Kamu sekarang sudah menjadi milik perempuan lain.”
Isak tangis perempuan yang masih menjadi kekasihnya itu membuat hati Mario trenyuh. Ya, meskipun Mario sudah menikah, dia masih tidak mau melepaskan kekasihnya. Pria itu terlalu mencintai perempuan yang ada di hadapannya.
Mario mengubah posisinya, tangannya terulur, membawa perempuan yang tengah menagis itu ke dalam pelukannya. “Kamu tahu alasanku menikahi Mariana. Semua ini bukan kehendakku. Aku hanya menuruti kemauan almarhum papa. Hanya kamu, perempuan yang aku cintai.”
“Aku takut, Rio. Aku takut kamu akan jatuh cinta padanya. Aku mencintaimu, Rio. Aku takut kehilangan kamu.” Perempuan itu masih menangis di dada bidang Mario. Hatinya terasa sakit saat menyaksikan pria yang dicintainya bersanding dengan perempuan lain di pelaminan.
Mario mengecup puncak kepala sang kekasih. “Aku tidak akan pernah jatuh cinta padanya. Kamu bisa pegang kata-kataku. Bersabarlah sebentar lagi. Hanya satu tahun, setelah itu kita bisa bersama selamanya. Aku akan menceraikannya dan menikahimu.”
Perempuan itu mendongakkan kepalanya, menatap Mario heran. “Satu tahun? Mengapa harus satu tahun?”
“Karena dia harus melahirkan seorang anak untukku. Aku harus mendapatkan anak darinya, sebelum melenyapkan perempuan itu.”
