Seorang Anak yang Menyusuri Sungai Ajaib
Hujan turun lagi malam itu. Tidak deras, hanya rintik-rintik kecil yang mengetuk pelan kaca jendela kamar kos Aksa. Malam di Kota Barka beraroma tanah basah dan lampu-lampu neon yang berpendar buram. Di luar, suara trem terakhir lewat perlahan, seperti sedang berhati-hati agar tidak membangunkan siapa pun.
Aksa duduk di tepi ranjang, lutut tertekuk, laptop terbuka tapi ekrannya hitam karena ia tidak menyentuh apa pun selama sepuluh menit terakhir. Hari itu pikirannya lelah. Komentar Dr. Saman masih terngiang di kepala, menyengat seperti listrik tipis di telinga.
“Tentukan apakah kau ingin terus di jurusan ini atau tidak.”
Jantungnya terasa sesak setiap kali ingatan itu muncul. Ia menutup mata, menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun yang ada justru sebuah kesunyian yang membuatnya ingin menghilang.
Dan di tengah kesunyian itu hujan mengetuk lebih keras. Ketukan yang tidak biasa. Ketukan yang terasa seperti memanggil sesuatu dari masa jauh.
Aksa membuka mata.
Lalu, tanpa ia rencanakan, tanpa ia paksa, sebuah kenangan lama terlecut dari sudut kepalanya. Kenangan yang sudah lama tidak ia sentuh. Kenangan yang sangat ia butuhkan saat itu. Kenangan tentang dari ibunya.
Aksa kecil sekitar umur tujuh tahun duduk bersila di ranjang kecilnya. Matanya yang masih besar penuh rasa ingin tahu menatap hujan di luar jendela kamar di rumah Rilma. Kamar itu hangat.
Dindingnya digambar bunga matahari oleh ibunya, dan lampu tidur berbentuk bulan menggantung di sudut.
Ibu masuk ke kamar sambil membawa selimut tipis.
“Aksa, sudah siap dengar cerita malam ini?” tanya Bu Lira sambil tersenyum.
Aksa kecil memekik kecil dan mengangkat kedua tangannya.
“Iyaaa, Bu! Dongeng yang panjang ya! Yang sangat panjang!”
Ibu menggeleng sambil tertawa lembut.
“Akan Ibu buat panjang kalau kau tidak cepat tidur. Duduk manis dulu.”
Aksa kecil cepat-cepat menarik selimut ke kakinya. Ia menggoyangkan bahu, menunggu. Tangannya sibuk memainkan boneka kayu kecil yang dibuat ayahnya.
Ibu duduk di tepi ranjang. Ia menyelipkan rambut Aksa ke belakang telinga anak itu. Lalu mulai berkata:
“Malam ini Ibu mau ceritakan dongeng tentang seorang anak yang menyusuri sungai ajaib.”
Aksa kecil menegakkan badan.
“Sungai apa? Di mana? Ada ikannya? Ada monsternya, Bu?”
Ibu tertawa.
“Ada semuanya. Tapi jangan disela dulu.”
“Baik…”
Aksa kecil menutup mulutnya dengan tangan, walau matanya tetap bulat penuh antisipasi.
Dan dongeng pun dimulai.
“Di sebuah lembah yang sangat jauh, di balik tujuh bukit dan hutan-hutan yang jarang sekali dilalui manusia, ada sebuah sungai yang tidak pernah berhenti berubah bentuk.”
Aksa kecil langsung meletakkan bonekanya dan mencondongkan tubuh.
“Berubah bentuk? Maksudnya apa, Bu?”
Ibu mengusap kepalanya lembut.
“Sungainya bisa berubah-ubah, Nak. Kadang kecil seperti tali, kadang lebar seperti laut. Kadang jernih sekali, kadang gelap seperti malam.”
“Waaah…”
“Dan di tepi sungai itu tinggal seorang anak kecil bernama Ravel.”
Aksa kecil mengulang nama itu.
“Ra-fel…”
“Ravel,” kata Ibu sambil tersenyum. “Anak yang sangat penasaran akan dunia. Ia selalu ingin tahu ke mana sungai itu mengalir.
Setiap hari ia duduk di batu favoritnya, memandangi air yang terus bergerak, membawa daun-daun jatuh dari hulu ke hilir.”
Aksa kecil memandang jendela seakan membayangkan batu dan sungai itu ada di depan matanya.
“Bu, sungainya dingin nggak?”
“Dingin,” jawab Ibu. “Tapi kalau kau berani menyentuhnya, kau akan merasa damai.”
Aksa mengangguk-angguk, matanya setengah terpejam mengikuti suara lembut Ibu.
“Ravel tumbuh besar dengan pertanyaan yang sama setiap hari:
‘Ke mana sungai ini pergi?’
Orang-orang dewasa di desa menjawab, ‘Ke tempat yang jauh.’
Tapi Ravel tidak puas.
Ia ingin melihat sendiri.”
Aksa kecil langsung berseru, “Ya ampun! Itu bahaya kan, Bu? Kalo dia nyasar gimana?”
Ibu menatap Aksa kecil dengan senyum penuh makna.
“Nanti Ibu ceritakan. Tapi sebelum ia pergi menyusuri sungai, sesuatu terjadi.”
“Apa, Bu?”
“Hari itu, hujan turun sangat lama. Sepanjang malam. Dan ketika pagi datang, sungai itu melebar sampai mendekati rumah Ravel. Airnya berputar, memantulkan warna-warna aneh seperti pelangi yang pecah.”
Aksa kecil menutup mulut.
“Waaa… sungainya ajaib banget.”
“Itu sebabnya disebut Sungai Ajaib, Nak.”
Aksa kecil menatap wajah ibunya penuh iman seakan semua itu benar-benar ada.
“Dan di hari itu, Ravel mendengar sesuatu.”
Aksa kecil mengangkat alis.
“Dengar apa?”
Ibu merendahkan suara, penuh misteri.
“Ia mendengar… suara.”
“Suara apa? Suara monster? Suara perut lapar? Suara ayahnya?” tanya Aksa kecil beruntun.
Ibu terkekeh.
“Suara yang tidak pernah ia dengar sebelumnya. Suara dari sungai itu.
Suara yang berkata:
‘Ikuti aku.’”
Aksa kecil langsung menegakkan tubuhnya, deg-degan.
“Bu… itu sungainya ngomong?”
Ibu tersenyum dan mencubit pipinya.
“Tenang saja. Ini dongeng. Tapi bagaimanapun suara itu membuat Ravel bingung.
Ia mendekat ke tepian sungai, menunduk, dan… mendengar lebih jelas.”
Aksa kecil merapatkan selimut ke dada.
“‘Ikuti aku… ikuti arusku…’”
“Bu… serem…”
“Tidak. Justru itu awal petualangan.”
“Terus Ravel ikut?”
“Tidak langsung.”
“Kenapa?”
“Soalnya dia juga takut.”
Aksa kecil mengangguk cepat.
“Ya iyalah, Bu! Aksa juga takut! Sungai ngomong itu serem banget.”
Ibu menatap Aksa kecil lembut.
“Nah, itu dia. Meski takut, Ravel penasaran.
Dalam dongeng ini, Nak, rasa penasaran lebih kuat dari rasa takut.”
Aksa kecil langsung membelalak.
“Kayak Aksa kalau lihat roti baru, Bu?”
“Hmmm… iya, semacam itu,” kata Ibu sambil tertawa.
“Dan akhirnya, Ravel mengambil keputusan.
Ia mengambil tas kecil berisi roti, air minum, dan seutas tali.
Lalu ia melangkah mengikuti aliran sungai itu.”
Aksa kecil menarik napas panjang.
“Dan sejak langkah pertama itu… hidupnya berubah.”
Aksa dewasa membuka mata.
Hujan di luar masih turun, suara jatuhnya sama seperti hujan di jendela masa kecil.
Hening menyelimuti kamar kosnya, tapi hatinya penuh gema suara dongeng itu.
Dongeng yang dulu hanya terdengar seperti permainan, kini terasa sangat relevan.
“Ravel… mengikuti suara sungai…”
Aksa berbisik pada dirinya sendiri.
Ia memejamkan mata.
Dalam hidupnya kini, ia pun sedang berdiri di tepian sungai kehidupannya—
takut, bingung, tidak tahu apakah harus melangkah atau bertahan.
Dan suara-suara di kepalanya saling beradu:
suara Dr. Saman, suara teman-temannya, suara kecemasannya sendiri.
Tapi ada satu suara yang paling lembut.
Suara Ibu.
Suara yang menghidupkan dongeng itu.
Aksa kecil di dalam kenangan kembali muncul.
Ibu melanjutkan dongengnya:
“Saat Ravel berjalan mengikuti sungai, ia sadar satu hal:
arusnya tidak hanya bergerak ke depan, tapi seperti mengajaknya berbicara.”
Aksa kecil bertanya cepat, “Ngajakin ngobrol gimana, Bu?”
“Dengan suara air yang memantul ke batu-batu.
Dengan riak kecil yang menggelitik kakinya.
Dengan dinginnya yang seperti berkata:
‘Jika kau mau tahu jawabannya, jangan berhenti.’”
Aksa kecil memeluk lututnya.
“Bu… Aksa takut kalau Ravel nanti tenggelam.”
Ibu menggeleng lembut.
“Tidak, sayang. Ravel punya satu hal yang membuatnya tetap berdiri meski takut.”
“Apa itu, Bu?”
“Kepingan kecil kepercayaan.”
Aksa kecil miringkan kepala.
“Kepelcayaan itu apa, Bu?”
“Kepercayaan,” Ibu mengelus kepala Aksa,
“adalah perasaan bahwa meskipun kau tidak tahu apa yang akan terjadi, kau akan baik-baik saja.”
Aksa kecil terlihat bingung.
“Tapi kalau nggak tahu, kok bisa baik-baik aja?”
“Karena hatimu sudah mengingat jalan pulang,” ujar Ibu sambil menepuk dada anaknya dengan lembut.
“Rumahmu ada di dalam sini.”
Aksa kecil tersenyum kecil walau belum sepenuhnya mengerti.
Tapi Aksa dewasa yang kini duduk di ranjang kos…
mengerti betul.
Ia menundukkan kepala.
“Rumah… ada di sini…” gumamnya sambil menekan dadanya pelan.
Hujan mengetuk jendela lagi.
Repetitif.
Ritmis.
Tenang.
Aksa menarik napas panjang.
Sesuatu di dalam dirinya bergerak—pelan, tapi pasti.
Seperti arus kecil yang menyentuh batu dan memutuskan untuk mengalir lagi.
Dongeng belum selesai.
Hidupnya juga belum selesai.
Ravel baru mulai melangkah.
Aksa juga baru mulai memahami langkahnya.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Aksa merasa ia tidak benar-benar sendirian.
