Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Dr. Saman

Hujan turun sejak pagi, seperti tirai tipis yang menutupi seluruh Kota Barka. Tidak deras, tapi tidak juga ringan. Hujan itu seperti seseorang yang mengetuk kaca jendela berulang-ulang tanpa henti, memaksa orang-orang mengingat sesuatu yang pernah mereka lupakan.

Aksa membuka mata tepat pukul 6.02.

Ia tidak langsung bangun.

Ia hanya menatap langit-langit kamar kos yang temboknya sudah mulai menguning, mendengarkan irama hujan yang jatuh ke atap seng tipis. Suara itu familiar, sangat familiar—mengingatkannya pada rumah di Rilma. Pada tempat di mana hujan bukan sekadar cuaca, tapi semacam salam hangat dari langit.

Ia menarik selimut, duduk perlahan, dan mengusap wajah. Walaupun hari itu adalah jadwal Praktikum Analisis Struktur, kelas yang paling penting di semester tiga, semangatnya terasa berat. Bukan karena ia malas—tapi karena ada semacam bayangan hitam menempel di dadanya sejak semester lalu. Bayangan bernama takut gagal.

Ia bangkit, mandi cepat, mengenakan kemeja abu-abu rapi khas mahasiswa Teknik Sipil, lalu memakai jaket hitam tebal.

Ketika ia membuka pintu kamar, embusan angin lembap dan dingin langsung menyapa wajahnya.

“Hari yang panjang,” gumamnya pelan.

Ia turun tangga kos, melangkah keluar, dan memayungkan tas ke atas kepala. Hujan membuat aroma tanah dan daun basah menyebar di udara—aroma yang membuat Aksa ingin pulang ke Rilma, meski hanya sebentar.

Namun hari itu ia tidak bisa macam-macam. Ada laporan praktikum yang harus ia presentasikan.

Ada pengukuran ulang beban lentur balok beton. Dan ada tatapan Dr. Saman yang pasti akan menusuk kalau ia salah menjawab.

Trem elektrik sudah penuh ketika Aksa naik. Jendela trem dipenuhi titik-titik air yang bergerak pelan, mengalir mengikuti goyangan kendaraan. Aksa berdiri dekat pintu, menggenggam tiang besi. Matanya memandangi kota yang tertutup warna abu-abu—bangunan tinggi yang biasanya tampak tegas kini terlihat samar, seperti lukisan cat air yang disiram hujan.

Barka kalau sedang hujan selalu tampil lebih jujur. Seolah semua kekerasan, kesibukan, dan arogansinya dicuci sebentar. Aksa menghela napas. Ia membuka ponsel untuk melihat grup kelas.

Harun: Siap-siap ya kawan-kawan, Dr. Saman bad mood kayaknya.

Tadi aku lihat dia keluar dari ruang dosen sambil megang kopi tapi tanpa senyum.

Dali: Wkwk itu biasa Har. Kalau beliau senyum justru bahaya.

Rena: Sudah semua revisi laporan?

Jangan sampai kita diacak-acak lagi.

Aku print ulang punyaku.

Mikhael: Siapa yang bawa alat ukur tambahan?

Kemarin kita kekurangan 1 strain gauge, masa pakai yang rusak lagi?

Aksa membaca cepat.

Kemudian pesan baru masuk.

Rena → Aksa (PM):

Kau sudah siap?

Jangan telat, ya. Dr. Saman benci mahasiswa telat saat hujan.

Aksa mengetik cepat.

Aksa:

Jalan.

Trem sudah dekat kampus.

Balasan muncul lima detik kemudian.

Rena:

Oke. Sampai ketemu di lab.

Aksa menarik napas.

Setidaknya seseorang masih peduli pada keberadaannya.

Universitas Barka seperti kampung besar saat hujan. Halaman luasnya penuh payung warna-warni.

Mahasiswa berlari kecil dari gedung ke gedung. Kantin-kantin kecil di sepanjang lorong menjual kopi panas lebih cepat dari biasanya. Dan aroma roti panggang bercampur aroma tanah basah menjadikan suasana kampus terasa hangat meski langitnya gelap.

Gedung Teknik Sipil berada di sudut timur kompleks kampus—bangunan tua dengan dinding abu-abu dan jendela-jendela besar. Meskipun tidak secanggih gedung fakultas lain, gedung ini dianggap “rumah” bagi mahasiswa teknik sipil. Di sini suara dentuman, gergaji, dan alat ukur adalah musik harian.

Aksa berbelok menuju ruang Laboratorium Struktur—gedung kecil di belakang gedung utama. Dari luar saja, lab itu sudah terasa angker. Bukan karena tempatnya seram, tapi karena reputasinya yang mengerikan.

Tempat di mana mahasiswa teknik sipil diuji. Tempat di mana teori dipaksa melawan kenyataan. Tempat di mana satu kesalahan kecil bisa membuat orang kena omel satu minggu.

Aksa masuk. Udara dingin dari AC campur bau baja, debu beton, dan oli langsung menyergap.

Di ruangan besar itu, beberapa mahasiswa sudah berkumpul. Alat uji lentur balok beton berdiri gagah di tengah ruangan. Mesin Universal Testing Machine (UTM) berada di sudut, seperti monster besi yang sedang tidur.

Di samping mesin, Rena berdiri sambil memeriksa catatan. Rambutnya diikat, kemeja putihnya rapi, dan ia terlihat sangat siap menghadapi apa pun hari itu.

“Aksa,” panggilnya lembut.

“Hmmm.”

“Kau bawa grafik hasil uji kemarin?”

Aksa membuka map, mengeluarkan grafik yang sudah ia revisi setengah malam.

“Ada. Tapi aku nggak yakin ini sempurna.”

Rena menatapnya. Dengan tatapan yang seperti selalu tahu isi hati seseorang.

“Yang penting kau sudah berusaha. Kita lihat nanti.”

Aksa mengangguk. Namun saat itu, pintu lab terbuka keras.

Dr. Saman masuk.

Dosen itu mengenakan jas hitam yang mulai basah, wajahnya masam, rambutnya sedikit berantakan akibat hujan. Suasananya langsung berubah tegang. Matanya melirik seluruh ruangan, lalu berhenti tepat pada Aksa.

“Saudara Aksa,” katanya tanpa basa-basi.

“Saya harap revisi laporanmu sudah jauh lebih baik dari terakhir kali.”

Aksa langsung merasakan perutnya menciut.

“Iya, Pak,” jawabnya pelan.

Dr. Saman mengangguk kecil.

“Baik. Kita mulai.”

Kelompok pertama presentasi kelompok Mikhael. Mereka memaparkan hasil mereka dengan lancar. Meskipun ada beberapa catatan, secara keseluruhan presentasi mereka baik. Kelompok kedua milik mahasiswi cerdas bernama Sena juga berjalan mulus. Kelompok ketiga Dali dan Harun bagus walau sedikit berantakan karena Dali terlalu banyak bercanda.

Kemudian, giliran kelompok Aksa. Aksa, Rena, dan dua anggota lain berdiri di depan.

Sementara Aksa memegang pointer, jantungnya berdetak cepat. Ia memulai dengan pembukaan standar, mulai menjelaskan tahapan pengujian balok beton, parameter yang digunakan, dan tujuan praktikum.

Di awal semuanya berjalan baik. Namun ketika ia masuk ke bagian grafik…

Masalah mulai muncul.

Dr. Saman mengangkat tangan.

“Stop.”

Aksa langsung kaku.

“Grafik lendutan ini tidak akurat,” ujar Dr. Saman tajam. Kurvanya tidak mungkin seperti itu jika Anda menggunakan nilai modulus elastisitas yang benar.”

Aksa menelan ludah.

Ia gugup.

Terjebak.

Lupa apa yang harus ia katakan.

Rena maju sedikit, mencoba membantu.

“Pak, kami—”

“Saya sedang berbicara dengan Aksa,” potong Dr. Saman tanpa menoleh padanya.

Ruangan menjadi senyap.

“Aksa,” kata dosen itu lagi, “bagaimana kau menjelaskan kesalahan ini?”

Aksa membuka mulut. Tidak ada suara yang keluar. Ia menatap grafik, menatap laptop, menatap catatannya. Seakan kalimat yang tadi sudah ia hafal hilang begitu saja. Kakinya gemetar. Tangannya keringat. Kepalanya tiba-tiba kosong. Rena menatapnya cemas.

Dr. Saman menaikkan alis.

“Ada masalah?”

Aksa ingin berkata, “Iya, Pak. Ada.”

Masalahnya adalah: ia takut.

Takut salah.

Takut gagal.

Takut membuat semua orang kecewa.

Takut bahwa dirinya memang tidak sebaik yang orang pikir.

Namun yang keluar justru suara lirih:

“Maaf, Pak… saya… saya kurang paham di bagian itu.”

Seketika hening.

Seluruh ruangan menoleh pada Aksa.

Dr. Saman menghela napas panjang.

“Aksa… kau mahasiswa tahun ke- tiga. Kau sudah pernah belajar analisis struktur dasar, mekanika material, bahkan statika. Bagaimana mungkin kau tidak memahami hal sesederhana ini?”

Aksa tersentak.

Ia ingin membela diri, tapi suaranya tertahan di tenggorokan.

Merasa hancur.

Merasa kecil.

Merasa tidak berguna.

Rena mencoba melangkah maju.

“Pak, mungkin kami bisa jelaskan ulang—”

Dr. Saman mengangkat tangan.

“Tidak perlu. Saya sudah cukup.”

Ia meletakkan papan penunjuk di meja dengan suara keras.

“Praktikum kelompok ini saya nilai C– untuk sementara.

Jika Aksa tidak memperbaiki bagian yang ia buat, nilai final kalian bisa terancam.”

Aksa merasakan dunia runtuh.

Rena menahan napas.

Dua anggota lain terlihat panik.

Namun Dr. Saman belum selesai.

“Dan Aksa,” katanya sambil menatap langsung ke matanya, “sebaiknya kau tentukan apakah kau ingin terus di jurusan ini atau tidak. Teknik Sipil bukan tempat untuk orang yang mudah goyah.”

Kalimat itu menusuk lebih dalam dari pisau manapun.

Aksa diam.

Tidak bisa bergerak.

Tidak bisa berpikir.

Hanya bisa menelan perasaan nyeri yang membesar di dadanya.

Praktikum selesai.

Mahasiswa lain keluar sambil menggerutu, tapi tidak ada yang seburuk Aksa.

Ia berjalan keluar lab tanpa bicara, tanpa menatap siapa pun.

Rena mengejar dari belakang.

“Aksa! Tunggu!”

Aksa berhenti, tapi tidak menoleh.

“Aksa…”

Suara Rena turun, lembut.

“Kita bisa perbaiki ini. Beneran. Jangan dipikir—”

“Bukan cuma grafiknya yang salah, Ren,” potong Aksa lirih.

“Semuanya salah.”

“Aksa…”

“Aku nggak tahu aku masih bisa atau nggak.”

Hujan masih turun.

Rena menatap Aksa lama.

“Kau cuma butuh waktu. Dan… butuh percaya sama dirimu sendiri.”

Aksa tersenyum pahit.

“Percaya diri sendiri? Dari mana?”

Rena mendekat selangkah.

“Kau pernah percaya, Aksa. Waktu tahun pertama, tahun kedua… Kau cuma jatuh. Itu saja.”

Aksa mengangguk kecil.

Tapi ia tetap berjalan pergi.

Rena tidak mengejar lagi.

Ia tahu Aksa butuh ruang.

Aksa berjalan dalam hujan tanpa payung. Ia melewati halaman besar kampus, melewati gedung perpustakaan, melewati bangku yang biasa ia duduki bersama Dali dan Harun. Semua terasa jauh.

Semua terasa tidak penting.

Ia sampai di halte trem.

Hujan bertambah deras. Air mengalir di pinggir jalan, membentuk sungai kecil yang membawa dedaunan jatuh. Aksa duduk di bangku halte. Diam.

Mata tertuju pada genangan air yang memantulkan lampu-lampu kampus.

“Hancur…” gumamnya.

“Kenapa aku harus seburuk ini?”

Hujan turun lebih deras.

Dan di titik paling rapuh itu…

ia mendengar suara lembut dalam ingatannya.

Suara Ibu.

“Nak…

sungai itu bukan kuat.

Sungai hanya tidak berhenti.

Batu bisa menahannya sebentar,

tapi sungai akan menemukan jalan lain.”

Aksa memejamkan mata.

Ingatan masa kecil datang:

Ia berumur tujuh tahun.

Duduk di pangkuan Ibu.

Hujan deras di luar jendela rumah.

Ibunya bercerita tentang sungai kecil yang tetap mengalir meski dihalangi batu.

Ibunya berkata:

“Kalau suatu hari kau terjebak,

ingat cerita sungai itu.

Kau tidak harus kuat.

Kau hanya harus terus bergerak.”

Aksa membuka mata.

Hujan terus turun.

Air mengalir.

Dan di dalam dirinya, sesuatu yang patah tadi mulai pelan-pelan terpasang kembali, meski belum sempurna.

Ia masih sedih.

Masih malu.

Masih takut.

Tapi ia tahu satu hal:

Ia belum selesai.

Ia masih bisa memperbaiki.

Ia masih bisa belajar.

Ia masih bisa bergerak—meski pelan.

Dan sungai tidak akan pernah berhenti, bukan?

Aksa mengusap wajahnya.

Trem datang dengan suara lembut.

Ia berdiri.

Mengambil napas.

Dan naik ke dalam.

Hujan terus membasahi Kota Barka.

Namun di dalam hati Aksa,

suara dongeng Ibu masih menyala pelan—

seperti lentera kecil yang menolak padam.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel