Ikan Berbicara
Hujan belum berhenti.
Di luar jendela kamar kos Aksa, titik-titik air makin rapat, membuat kaca seolah dipenuhi garis-garis perak yang turun tiada henti. Lampu jalan menembus tirai hujan, membentuk lingkaran cahaya yang terlihat seperti bulan pecah.
Aksa duduk bersandar di tembok, kaki diluruskan, dan selimut tipis menutupi lututnya.
Hatinya belum pulih dari kejadian siang tadi—nilai praktikum yang buruk, tatapan kecewa Dr. Saman, dan ketakutannya bahwa jurusan ini mungkin terlalu besar untuknya.
Namun kenangan dongeng dari Ibu membuka sesuatu di dalam dirinya, seperti pintu kecil yang selama ini tertutup. Dan sebelum ia sadar, dirinya sudah kembali masuk ke kenangan itu.
Ke kamar kecilnya di Rilma. Ke masa ketika hidup sederhana dan segala hal terasa mungkin.
Aksa kecil menarik selimut lebih tinggi dan memandangi langit-langit kamarnya yang ditutupi stiker bintang-bintang kecil. Lampu tidur berbentuk bulan memantulkan cahaya lembut ke dinding.
Ibu duduk di sampingnya, kembali mengusap kepala Aksa.
“Ravel melangkah mengikuti sungai sampai ia mencapai bagian hutan yang belum pernah ia masuki sebelumnya,” ujar Ibu sambil memperbaiki posisi duduk Aksa.
Aksa kecil mengangkat tangan.
“Bu, hutan itu ada binatang buas?”
“Ada,” jawab Ibu.
“Serigala?”
“Ada.”
“Beruang?”
“Ada.”
“Tyrannosaurus—”
“Tidak ada dinosaurus, Nak,” kata Ibu tertawa.
Aksa kecil mengembungkan pipinya.
“Tapi Ravel kan anak pemberani! Harusnya ada dinosaurus kecil lah Bu, yang imut, gitu… tapi bisa gigit kalau nakal!”
Ibu mencubit hidungnya.
“Ya sudah, anggap saja ada dinosaurus kecil yang lucu di hutan itu.”
Aksa kecil langsung berseru, “Yes!”
Ibu melanjutkan ceritanya.
“Sesampainya di hutan, hujan mulai turun. Tidak deras, hanya gerimis. Daun-daun mengeluarkan aroma yang sangat segar. Ravel menengadah, merasakan tetesan air hujan menyentuh wajahnya.”
Aksa kecil ikut menengadah seakan merasakan hal yang sama.
“Dan di tengah gerimis itu,” lanjut Ibu,
“Ravel kembali mendengar suara sungai itu memanggil…”
Aksa kecil memeluk selimut.
“Suara sungainya ngomong lagi?”
Ibu mengangguk.
“‘Ikuti aku…
kau akan temukan jawabannya…
tapi jangan berhenti.’”
Aksa kecil menggigit bibirnya.
“Bu, kok sungainya ngajak jalan tapi nggak kasih tahu jawabannya langsung?”
“Karena kalau semua diberitahu di awal,” Ibu tersenyum,
“orang tidak akan belajar apa pun.”
Aksa kecil menatap ibunya lama, seakan mencoba memahami kedalaman makna itu—lalu akhirnya hanya mengangguk tanpa benar-benar paham.
“Ravel terus berjalan sampai ia tiba di tepi sungai yang berbeda dari biasanya. Sungainya lebih sempit, airnya mengalir lebih cepat, dan warnanya berubah—”
“Berubah jadi apa?” tanya Aksa kecil cepat.
“Jadi biru tua.
Birunya sangat dalam, seperti malam.”
Aksa kecil membuka mulut.
“Birunya kayak laut?”
“Lebih biru. Lebih hidup. Seperti ada cahaya dari dalamnya.”
“Waaaah…”
“Dan Ravel melihat sesuatu bergerak di bawah permukaan air.”
Aksa kecil mencengkeram selimut.
“Bu… ada monster air?”
“Bukan monster. Itu ikan.
Tapi bukan ikan biasa. Warnanya perak, matanya bulat, dan tubuhnya panjang seperti pita.”
“Seram nggak, Bu?”
“Tidak. Ikan itu cantik. Dan ikan itu…
melihat Ravel.”
Aksa kecil merinding.
“Ikannya… ngeliat dia? Ihhh…”
“Iya. Ikan itu berhenti mengikuti arus, lalu menatap ke arah Ravel.
Seolah sedang ingin bicara.”
Aksa kecil berbisik,
“Bu… kalau ikan bisa ngomong, Aksa nggak mau makan ikan lagi.”
Ibu tertawa.
“Tidak apa-apa. Ini dongeng.”
Aksa dewasa tersenyum tipis mendengar gema ucapan masa kecilnya sendiri. Di tengah hujan Kota Barka, ia merasa seperti kembali menjadi anak kecil yang duduk di pangkuan ibunya. Hatinya yang awalnya sesak mulai melunak sedikit.
Ia mengambil segelas air, meneguk sedikit, lalu kembali bersandar. Dalam kepalanya, dongeng berlanjut.
“Ikan itu mendekat ke tepi sungai perlahan. Matanya seperti dua lampu kecil yang berpendar di air.
Ravel menunduk, memperhatikan ikan itu.”
Ibu mencondongkan wajahnya ke Aksa kecil.
“Andaikan Aksa jadi Ravel, apa Aksa akan menyentuh ikannya?” tanya Ibu.
Aksa kecil langsung menggeleng keras.
“Nggak, Bu! Nanti digigit!”
“Kalau ikannya baik?”
“Kalau baik… mungkin… boleh. Tapi Aksa harus pakai sarung tangan robot.”
“Dia tidak punya sarung tangan robot.”
“Yah, kasihan banget.”
Ibu mengacak rambut Aksa.
“Ravel akhirnya memberanikan diri. Ia menurunkan tangannya perlahan…
perlahan…
dan menyentuh air.”
Aksa kecil menahan napas.
“Begitu tangannya menyentuh air, sesuatu terjadi.”
“Apa yang terjadi Bu?!”
“Ravel merasakan getaran,” jawab Ibu.
“Getaran apa?”
“Getaran seperti suara.”
“Seperti suara perut lapar?”
“Tidak.”
“Seperti suara Ibu kalau marah?”
“Tidak juga!” Ibu tertawa.
Getaran, katanya,
“yang seperti sedang memanggil.”
“Lalu ikan itu bergerak mendekat.
Ia mengangkat ujung tubuhnya sedikit dari air, dan untuk pertama kalinya, Ravel mendengar sebuah kata.”
Aksa kecil menelan ludah.
“Kata apa Bu?”
Ibu membungkuk mendekat seolah membisikkan rahasia besar.
“‘Percaya.’”
Aksa kecil terdiam lama.
“Bu… itu artinya apa?”
“Ravel tidak tahu,“ kata Ibu.
“Dan Aksa juga tidak harus tahu sekarang.”
Aksa kecil cemberut.
“Pelan-pelan, Nak. Dongeng itu bukan matematika. Kadang kita baru paham kalau sudah besar nanti.”
Aksa kecil hanya mengangguk kecil meski jelas tidak terima.
Ibu melanjutkan:
“Setelah ikan itu berkata ‘percaya’, ia kembali masuk ke dalam air dan menghilang mengikuti arus.
Dan Ravel pun memutuskan melangkah mengikuti sungai itu lebih jauh lagi.”
Aksa kecil bertanya,
“Kenapa dia percaya sih, Bu? Dia nggak takut?”
Ibu menjawab sambil mengelus kepala anaknya,
“Ravel takut.
Tapi dia tetap jalan.”
Aksa kecil menatap ibunya bingung.
“Gimana caranya orang tetap jalan kalau takut?”
Ibu mengambil jari Aksa, menggenggamnya.
“Dengan meyakini bahwa langkah kecil lebih kuat daripada rasa takut.”
Aksa kecil mencoba meresapi.
Tapi seperti biasa, ia hanya menjawab:
“Hmm… agak ngerti… agak nggak.”
Ibu tersenyum lembut.
“Nanti kau mengerti, Nak. Nanti.”
Aksa dewasa memejamkan mata.
“Nanti kau mengerti,” gumamnya mengulang suara Ibunya.
Dan kini, banyak tahun setelah malam itu, Aksa mulai benar-benar mengerti:
Keberanian bukan berarti tidak takut.
Keberanian berarti tetap melangkah meski takut.
Seperti Ravel.
Seperti hidup.
Seperti sungai yang tak pernah berhenti mengalir meskipun jalannya tidak pasti.
Aksa menarik napas panjang, meletakkan gelas di samping ranjang, dan kembali menatap jendela.
Hujan semakin rapat.
Arus air di kaca seperti sungai kecil yang berlari tanpa henti.
Dan dalam hatinya, Aksa mulai merasa sesuatu:
sebuah kesadaran kecil bahwa hidupnya mungkin tidak benar-benar macet,
barangkali ia hanya berada di salah satu bagian sungai yang berkelok.
Suara Ibu kembali berdengung dalam kenangan.
“Aksa…”
Aksa kecil mengangkat wajah.
“Besok ibu lanjutin ya? Ravel belum sampai ke tempat paling ajaib.”
“Tempat apa Bu?”
“Tunggu besok.”
“Kasih bocoran dikit lah Bu…”
Ibu pura-pura berpikir lama.
“Tempat itu… adalah tempat di mana sungai bermimpi.”
Aksa kecil ternganga.
“Sungai bisa mimpi? Ihh lucu banget!”
Ibu terkekeh.
“Iya. Tapi kita cerita besok malam, ya. Sudah malam sekali.”
Aksa kecil langsung memeluk ibunya erat-erat.
Ibu membalas pelukan itu sambil bertanya lembut,
“Aksa suka dongeng hari ini?”
Aksa kecil mengangguk semangat.
“Suka buanget!”
Ibu mengecup kening anak itu.
“Kalau begitu, simpan baik-baik cerita ini.
Sungai dan Ravel akan menuntunmu suatu hari nanti.”
“Suatu hari nanti itu kapan, Bu?”
“Kapan pun kau tersesat.”
Aksa kecil mengangguk.
Lalu memejamkan mata.
Aksa dewasa membuka mata.
Hidungnya terasa panas, tapi ia tersenyum kecil.
“Bu… aku lagi tersesat sekarang,” katanya lirih.
“Terima kasih sudah ngasih petanya sejak dulu.”
Ia menatap hujan lagi.
Sungai kecil di kaca jendela itu seperti memberikan isyarat:
“Ikuti arusmu, Aksa.”
Dan malam itu, setelah begitu lama tertekan, Aksa akhirnya merasa:
Ia siap melangkah lagi.
Meski pelan.
Meski takut.
Namun yang penting—
ia tidak berhenti.
